“Terowongan penghubung adalah makna simbolik. Terowongan dan bukan tembok yang dibangun untuk memisahkan tapi justru menghubungkan. Terowongan adalah jalur komunikasi antar umat beragama.”
Budiman Tanuredjo
Natal 2024 terasa berbeda bagi saya. Untuk pertama kalinya, saya masuk dan keluar kawasan Gereja Katedral melalui terowongan silaturahmi. Terowongan yang menghubungkan Gereja Katedral dan Masjid Istiqlal. Terowongan itu memang pendek. Namun sarat dengan makna simbolis. Toleransi. Dialog. Terowongan itu disebut “wot ati” (jembatan hati).
Sabtu 24 Desember 2024, usai misa saya meninggalkan kawasan Katedral melalui terowongan penghubung. Sebelumnya, terowongan itu baru saja dilalui rombongan pejabat yang datang ke Katedral. Tampak Menko Polkam Budi Gunawan, Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, Menko PMK Pratikno, Menteri Agama Nazaruddin Umar, dan Penjabat Gubernur Jakarta Teguh Setyabudi. Mereka menyampaikan selamat Natal.
Terowongan silaturahmi itu terang. Dari mulut masuk ke kawasan Gereja Katedral dan ujung terowongan di Masjid Istiqlal – dan juga sebaliknya – terowongan itu menawarkan keteduhan, menawarkan terang, menawarkan kedamaian. Menelusuri dari ujung ke ujung terowongan selaksa menelusuri harapan-harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Di ujung terowongan di Masjid Istiqlal, saya dicegat wartawan dan ditanya pandangan saya tentang terowongan itu. Wartawan itu mengaku dari Kompas. Saya tidak bertanya dari Harian Kompas, Kompas.com atau KompasTV. Saya menjelaskan. “Ini pertama kalinya saya menggunakan terowongan penghubung Katedral-Istiqlal”.
Seperti biasa, setiap Natal dan Paskah atau hari besar keagamaan saya selalu misa di Katedral dan parkir di kawasan Masjid Istiqlal. Sedang pada hari-hari biasa, saya parkir di jalanan. Kebetulan saya mengenal tukang parkirnya dengan baik. Saya ke Katedral dengan alasan praktis: ibadat tidak terlalu lama.
Menjawab wartawan, saya mengatakan, “Terowongan penghubung adalah makna simbolik. Terowongan dan bukan tembok yang dibangun untuk memisahkan tapi justru menghubungkan. Terowongan adalah jalur komunikasi antar umat beragama.” Pekerjaan rumah berikutnya adalah bagaimana pesan perdamaian, pesan toleransi, pesan dialog itu bisa mewujud di akar rumput.”
Terowongan penghubung
Terowongan penghubung yang panjangnya 28,3 meter itu dibangun Kementerian Pekerjaan Umum. Diresmikan Presiden Prabowo Subianto 12 Desember 2024. Saat Paus Fransiskus datang ke Jakarta, September 2024, Paus mengunjungi terowongan silaturahmi. Menurut Paus sebagaimana dikutip Harian Kompas, 6 September 2024, terowongan ini simbol yang bermakna karena memperkenankan dua tempat ibadah agung yang tidak hanya berada berhadapan satu sama lain, tetapi juga terhubung satu sama lain.
Paus kagum sebab terowongan ini sangat terang dan damai. ”Ketika kita berpikir tentang sebuah terowongan, dengan mudah kita membayangkan lorong gelap, dan ketika kita sendirian, membuat kita takut. Namun, di sini berbeda. Sebab, semuanya terang,” kata Paus.
Terowongan Silaturahim dibangun dari satu sisi ke sisi lain untuk menciptakan hubungan antara dua tempat yang berbeda dan berjauhan. Inilah yang dilakukan lorong bawah tanah: menghubungkan dan menciptakan ikatan. ”Kadang kita berpikir perjumpaan di antara agama-agama adalah soal mencari titik temu doktrin dan pengakuan agama yang berbeda dengan segala cara. Kenyataannya, pendekatan semacam itu bisa berakhir dengan memecah belah kita karena doktrin dan dogma masing-masing pengalaman keagamaan berbeda,” ujar Paus.
Paus merasa bahagia telah mengunjungi Masjid Istiqlal, masjid terbesar di Asia. Ia menyapa Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar dan berterima kasih atas sambutan yang diberikan. ”Istiqlal bukan saja tempat ibadah bagi umat Islam, melainkan juga rumah besar bagi kemanusiaan,” kata Nasaruddin dalam pidatonya kala itu.
Pada 5 September 2024 itu, Paus Fransiskus dan Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, kini menjadi Menteri Agama, meneken Deklarasi Bersama Istiqlal 2024 Meneguhkan Kerukunan Umat Beragama untuk Kemanusiaan di Masjid Istiqlal, Jakarta. Deklarasi itu menyoroti dua persoalan krusial dunia saat ini, yaitu dehumanisasi dan perubahan iklim.
Dalam deklarasi disebutkan, fenomena global dehumanisasi ditandai meluasnya kekerasan dan konflik yang sering mengakibatkan jumlah korban yang mengkhawatirkan. Sayangnya, hal itu juga dipicu oleh eksploitasi agama serta krisis lingkungan yang menghambat pertumbuhan bersama. Paus, dalam pidatonya, mengatakan, meneguhkan kerukunan umat beragama untuk kemanusiaan adalah inspirasi. ”Guna menghadapi skenario ini, penting memajukan dan memperkuat nilai-nilai yang sama bagi semua tradisi agama, yakni membantu masyarakat mengalahkan budaya kekerasan dan ketidakpedulian,” kata Paus.
Dalam situasi perasaan politik yang saya sebut “tintrim” perasaan penuh ketidakpastian, kekhawatiran, kecemasan, namun tetap ada harapan, saya teringat pidato Paus Fransiskus yang mengatakan, Indonesia adalah negara besar dengan aneka mosaik budaya, suku bangsa, adat istiadat, dan keberagaman yang sangat kaya. Keberagaman tecermin pula dalam keanekaragaman ekosistem dan lingkungan sekitarnya. ”Jika benar kalian tuan rumah tambang emas terbesar di dunia, ketahuilah, harta yang paling berharga adalah kemauan agar perbedaan tidak menjadi alasan untuk bertikai, tetapi diselaraskan dalam kerukunan dan rasa saling menghormati,” kata Paus.
Di ujung terowongan silaturahmi terngiang Pidato Paus, “…perbedaan tidak menjadi alasan untuk bertikai….” Bangsa dan beban berat rakyat akan terasa kian berat, ketika pertikaian elite kian menjadi-jadi akibat krisis eksistensial. Pada sisi lain, bangsa ini belum menemukan kembali “muazin” bangsa yang bisa menjadi jembatan. Pimpinan organisasi keagamaan yang seharusnya bisa menjadi penjaga moral bangsa dan menjadi payung kemajemukan seakan lupa peran hakikinya…
Leave a Reply