“Bang Hakim telah pergi. Namun pesannya soal HAM, demokrasi dan negara hukum adalah pesan abadi yang harus diteriakkan di era yang mungkin berubah. Perlu ada Bang Hakim muda yang berteriak lantang soal penghormatan HAM dan tegaknya negara hukum…”
Budiman Tanuredjo
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) meluncurkan dua buku soal hak asasi manusia. Buku itu didedikasikan untuk mengenang Abdul Garuda Nusantara, mantan Ketua Yayasan LBH Indonesia, mantan Pendiri Elsam, dan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (2002-2007).
Buku pertama berjudul “Suara Keadilan” yang berisi sejumlah esai yang ditulis oleh sejumlah orang yang mengenal Abdul Hakim. Buku kedua berjudul “Negara Pelindung Hak Asasi Manusia”. Buku kedua berisi pemikirian Abdul Hakim mengenai sejumlah isu hak asasi manusia, isu negara hukum, dan isu demokrasi dan konstitusi.
Abdul Hakim meninggal dunia 4 Mei 2018. Sudah enam tahun berlalu. Namun, pikiran dan gagasan Hakim, terasa masih relevan sampai sekarang ini. Peluncuran buku baru dilangsungkan 17 Desember 2024 dan dikemas dengan tema “Hak Asasi Manusia di Era Turbulensi Demokrasi.”
Meski peluncuran buku sudah agak terlambat, tetapi suasana kebatinan negeri ini, terasa lebih kontekstual.
Demokrasi Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Sejumlah ahli menyebut, “democracy backsliding”, “democracy regression”, “democracy U-Turn”. Gagasan itu disampaikan David Ziblatt dan Steven Levitsky dalam buku “How Democracy Die” serta Nancy Bermeo dalam jurnal “Democracy backsliding.”
Bermeo mendefinisikan kemunduran demokrasi sebagai “pelemahan atau penghapusan institusi politik yang menopang demokrasi yang ada oleh negara.” Dia juga mengidentifikasi bentuk baru dari kemunduran demokrasi yang muncul setelah Perang Dingin, seperti kudeta promisorik, aggrandizement eksekutif atau pemusatan kekuasaan pada eksekutif, dan manipulasi strategis pemilu.
Saya diminta berbicara dalam talk show tersebut oleh Direktur Eksekutif Elsam Wahyudi Djafar bersama Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro, mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman, dan Sosiolog Meutia Ghani Rochman, dan Amiruddin Al Rahab dari Elsam.
Saya beberapa kali mengikuti dan ngobrol dengan Hakim. Bagi saya, Hakim adalah pribadi yang gelisah dengan kondisi negeri pada saat-saat Orde Baru. Ia termasuk sosok aktivis LSM yang berani, berintegritas, dan tetap membersamai masyarakat sipil. Posisi tertinggi dalam struktur kekuasaan negara adalah sebagai Ketua Komnas HAM (2002-2007).
Di bulan Agustus 1998, saya mewawancarai Hakim di Kantor Elsam. Wawancara itu dimuat Harian Kompas, 16 Agustus 1998. Wawancara itu terjadi 26 tahun lalu dan saya petik kembali untuk masa kini. Gagasan dan pikiran Hakim masih relevan dengan situasi kekinian. Atau, masa kini sedang menjemput masa lalu melalui lorong waktu bernama “demokrasi”.
Relevansi pandangan Hakim 26 tahun lalu dengan situasi sekarang bisa punya tiga makna. Pertama, pandangan Hakim menembus horison waktu. Kedua elemen masyarakat sipil memang belum menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Atau ketiga bangsa ini tengah bergerak mundur sehingga isu yang diperjuangkan 26 tahun lalu belum selesai juga. Pada tataran global, gejala ini jamak terjadi. Samuel Huntington pernah menulis: gelombang balik demokrasi.
Bagaimana Anda melihat Peristiwa 13-15 Mei 1998?
Peristiwa 13-15 Mei 1998 adalah persoalan human being (manusia). Saya tidak melihat siapa korbannya, tetapi memperjuangkan mereka yang menjadi korban dari tindak kekerasan. Kalau kerusuhan itu merupakan kesalahan pemerintah, maka pemerintah harus bertanggung jawab. TGPF akan memberikan rekomendasi. Jika tak dijalankan, akan saya tekan.
(Jika saya merefleksi dengan kondisi sekarang? Peristiwa 13-15 Mei 1998 tetaplah gelap. Tak ada pertanggungjawaban hukum atas terjadinya kekerasan politik pada aksi massa yang berhasil memaksa Presiden Soeharto berhenti sebagai Presiden. Korban tetaplah menjadi korban. Namun, elite politik yang seharusnya memikul tanggung jawab, tetap bertahan sebagai elite yang berkuasa. Ada beberapa aktivis yang kemudian menikmati kekuasaan. Namun, ada juga yang tetap sebagai penonton).
Bagaimana transformasi LSM menjadi parpol?
LSM sebaiknya tidak mentransformasi diri menjadi partai politik. Bahwa ada aktivis LSM yang terjun ke parpol itu hak mereka. LSM berfungsi tetap sebagai gerakan masyarakat untuk memperkuat civil society (masyarakat madani). LSM harus bisa mengkritisi parpol. Parpol memang instrumen di negara demokratik bagi orang untuk menyalurkan aspirasinya dalam proses politik. Parpol menjadi instrumen untuk mempengaruhi proses bernegara, tetapi parpol belum tentu merupakan instrumen untuk memperkuat kedudukan masyarakat sipil. Parpol juga mengandung potensi menjadi kendaraan bagi para elite partai untuk masuk ke dalam kekuasaan. Atas dasar itu, parpol butuh kontrol. Butuh masyarakat yang mengkritisi fungsi kepartaian. Itu peran LSM. LSM harus tetap berpihak pada rakyat. LSM tetap akan berperan menjadi watch dog (penjaga) dari human rights (hak asasi manusia) dan demokrasi.
(Bagainana refleksinya? Partai politik menjadi semacam korporatisasi. Parpol sudah menjadi seperti korporasi. CEO partai menempatkan para politisi dalam posisi-posisi tertentu. Menyatunya oligarki partai dan oligarki kapitalis menjadikan semacam sebagai “shadow state”. Istilah “shadow state” saya ambil dari penelitian Prof Dr Syarief Hidayat saat presentasi Deliar Noer Memorial Lecture di Kampus Universitas Nasional).
Bagaimana Anda melihat kondisi pasca-Soeharto?
Belum ada perubahan, kecuali turunnya orang yang bernama Soeharto. Habibie harus mau belajar dari kesalahan Orde Baru, dan menggunakan hasil kajian itu untuk membangun di era reformasi. Pada zaman Orde Baru, Soeharto menggunakan institusi hukum dan institusi yang bertanggung jawab di bidang keamanan untuk kepentingan politiknya. Untuk kepentingan pelestarian politik, Soeharto menggunakan kejaksaan untuk menuntut lawan politik. Jadilah peradilan rekayasa. Polisi pun ikut dicampuri. Akibatnya, pranata hukum menjadi tidak independen, karena diperalat kekuasaan politik. ABRI pun ternyata menjadi korban permainan kekuasaan. ABRI yang seharusnya penjaga keamanan dicampuri Soeharto dengan kepentingan politiknya misalnya kasus penculikan.
Lalu pada era reformasi, bagaimana?
Habibie harus bersikap lebih tegas untuk memperbaiki kekeliruan Orde Baru. Law enforcement (penegakan hukum) dan rule of law harus jadi prioritas. Kejaksaan harus mandiri dari pengaruh eksekutif. Dia betul-betul menjadi penuntut yang independen dan punya kemampuan untuk menuntut pejabat tinggi pemerintah, sekalipun yang terlibat korupsi, misalnya.
Prinsip berpemerintahan yang baik?
Sumber kehancuran ekonomi Indonesia adalah karena asas berpemerintahan yang baik tidak ditaati. Kedaulatan hukum tidak ada. Kepastian hukum tidak dijalankan. Transparansi tidak ada. Publik akuntabilitas nggak ada.
Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu di era Habibie?
Ada kecenderungan lupakan saja masa lalu dan menatap masa depan. Itu betul, tetapi itu menjadi salah ketika masa lalunya tidak diperjelas. Kita bisa tersesat ke masa depan kalau pemahaman kita ke masa lalu salah. Dalam arti di masa lalu, yang salah apa dan siapa. Lalu, kita harus memberikan sanksi apa terhadap yang salah. Itu perlu agar kita tidak menjadi seperti keledai. Masuk ke jebakan yang kedua kali.
***
Situasi yang digambarkan Hakim pada Agustus 1998, sejalan dengan yang digambarkan Sukidi di Harian Kompas, 13 Juni 2024. ”For my friends, everything. For my enemies, the law.” Untuk teman-teman saya, segalanya. Untuk musuhku, hukum. Ucapan itu dipetik dari diktator Peru, Óscar Benavides, 1933–1939, seratus tahun silam.
Membaca wawancara dengan Hakim yang dimuat Kompas, 16 Agustus 1998, seakan membaca masa kini. Hukum digunakan sebagai alat kekuasaan. Bukankah ini dan kini sedang terjadi. Penegakan hukum dipilih dan dipilah. Orang yang terlibat masalah hukum telah dijadikan sandera politik untuk bisa bertahan dan dipaksa melepaskan jabatan politiknya.
Perusakan dan pembunuhan demokrasi ditempuh, antara lain, melalui ”penggunaan hukum sebagai senjata politik”. Ide brilian profesor Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt di Harvard ini dituangkan dalam karya terbarunya, Tyranny of the Minority (2023: 50), yang menempati rak buku-buku karya para profesor Harvard di Harvard Coop, Harvard Square.
Zaman memang sedang berbalik menuju titik nol. Nepotisme yang pada saat reformasi 1998 dikonstruksikan sebagai kejahatan, kini mulai dinormalisasi. Nepotisme dianggap sebagai capaian politik atas nama demokrasi. Dinasti politik kian menjadi-jadi. Korupsi atau para perampok uang rakyat yang oleh Ketetapan MPR diperintahkan untuk ditindak tegas, kini mulai dilempar wacana akan dimaafkan jika mau mengembalikan kekayaannya pada negara. Kemewahan rakyat memilih sendiri pemimpinnya, mulai dilirik untuk diambil alih oleh elite politik. Hak rakyat memilih Gubernur akan diambil alih oleh DPRD dengan alasan biaya yang mahal.
Pada tempat berbeda, masyarakat sipil tak terkonsolidasi. Berserakan. Sejumlah aktivis memilih masuk dalam struktur kekuasaan dan meninggalkan dunia pergerakan. Siapa tahu di dalam kekuasaan, bisa menggerakkan perubahan. Meski untuk itu, sejumlah elite masyarakat sipil, harus bersilat lidah mempertanggungjawabkan pernyataan-pernyataannya dahulu dan kini yang sangat bertolak belakang.
Dulu memaki kini memuji. Dulu mencela, kini membela. Tak ada ada lagi perjuangan berbasiskan nilai. Satu hal yang diperjuangkan Abdul Hakim.
Saya menutup talk show itu dengan membaca kaliman penutup buku Suara Keadilan. “Bang Hakim telah pergi. Namun pesannya soal HAM, demokrasi dan negara hukum adalah pesan abadi yang harus diteriakkan di era yang mungkin berubah. Perlu ada Bang Hakim muda yang berteriak lantang soal penghormatan HAM dan tegaknya negara hukum…”
Leave a Reply