“Bongkar semua siapa-siapa saja hakim yang terlibat. Termasuk ketika dia (ZR) menjabat, menempatkan (orang) di daerah-daerah, itu siapa saja yang ditempatkan dia, kemudian lihat latar belakangnya. Yang pada enggak benar itu copot semua…”
– Yenti Garnasih, Pakar TPPU
Menjelang penghujung 2024, publik Indonesia dikejutkan dengan temuan uang dan emas senilai Rp1 triliun rupiah di kediaman Zarof Ricar, mantan pejabat Mahkamah Agung (MA). Setelah dilakukan pemeriksaan, ZR mengaku uang itu ia dapat dari kegiatan mengurus perkara sejak 10 tahun yang lalu. Dengan temuan sebesar itu, kira-kira ada berapa banyak kasus yang ia “tangani” sejak 2014?
Sayangnya, penanganan kasus ZR terkesan biasa-biasa saja, bahkan hari ini kabar soal kasus ZR cenderung tertutup dengan pemberitaan lain. Padahal, jika ini merupakan momentum besar bagi Indonesia untuk mengungkap siapa saja oknum yang selama ini terlibat dalam jual-beli perkara dan mencoreng muka peradilan di Indonesia.
Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang, Yenti Garnasih menyebut ini sebagai kasus besar yang mengagetkan, namun setelah digeledah dan ditetapkan sebagai tersangka, tidak ada kabar kelanjutan bagaimana penanganan kasus ini bergulir.
“Kok kayaknya hanya kaget di media, mungkin kita-kita ya, tapi kelanjutannya kan tragis dan ironis sekali itu,” kata Yenti dalam siniar Back to BDM di kanal Youtube Budiman Tanuredjo.
Ironis, pasalnya Zarof Ricar mengaku lupa dari siapa saja uang itu ia terima selama 10 tahun ke belakang. Sementara penyidik tidak mencoba untuk mengejar jawaban lebih jauh. Padahal, menurut Yenti ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mendapatkan jawaban dari mana uang-uang itu berasal tanpa harus menunggu pengakuan dari ZR.
“Itu kan kan ada datanya semua, kalau dia lupa ya jangan mengharapkan orang yang sudah mau menjadi pesakitan untuk mengaku. Apalagi 184 KUHAP itu pengakuan (menjadi bukti) paling bawah. Kerjakan dong, cari, karena ini adalah pentolannya, ini kan bahan terbesarnya, yang merusak itu dari dia ini, dari Mahkamah Agung,” seru wanita bergelar Doktor itu.
“Bongkar semua siapa-siapa saja hakim yang terlibat. Termasuk ketika dia (ZR) menjabat, menempatkan (orang) di daerah-daerah, itu siapa saja yang ditempatkan dia, kemudian lihat latar belakangnya. Yang pada enggak benar itu copot semua. Mestinya kan gitu,” ia melanjutkan.
Jika hal itu dilakukan dan sebagai konsekuensinya ada keputusan-keputusan pidana yang tidak tepat sehingga harus diulang, maka kita harus siap, sekalipun akan memakan banyak waktu dan tenaga ekstra. Misalnya seseorang yang telah dipidana padahal seharusnya tidak, maka harus dilakukan pengadilan ulang.
Sekalipun mengadili perkara yang sama dengan orang yang sama itu bertentangan dengan asas Ne Bis In Idem, namun dalam kondisi abnormal seperti ini bisa saja dilakukan.
“Nanti kita bongkar semua, enggak apa-apa. Menurut saya bukan buang-buang waktu, kita konsentrasi agak banyak waktunya untuk kasus ini, nanti memang agak banyak dan berat, tapi nanti hasilnya luar biasa,” ujar Yenti.
Kasus ZR terbongkar akibat ketidaksengajaan, karena putusan PN Surabaya yang dinilai begitu nyeleneh terkait Ronald Tannur, yang divonis bebas dan dinyatakan tidak terbukti membunuh kekasihnya, Dini Sera Afrianti. Padahal, ada rekaman CCTV yang jelas-jelas menunjukkan Ronald melindas Dini menggunakan mobilnya di sebuah basement di Surabaya.
Mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan itu menyebut sangat perlu dibentuk sebuah satuan tugas (satgas) khusus atau tim pencari fakta (TPF) untuk mengungkap kasus Zarof Ricar. Pasalnya, banyak kejanggalan yang selama ini didiamkan, salah satunya soal rumah mewah milik ZR yang berada di kawasan elite Jakarta. Belum lagi di dalamnya ditemukan uang dan emas yang nilainya fantastis, Rp1 triliun.
Uang yang ditemukan adalah uang yang tersisa di rumahnya, bagaimana jika ada uang-uang yang sudah ia gunakan, sudah ia kirimkan ke pihak lain, dan sebagainya. Semua itu harus didalami, karena masuk dalam TPPU.
“Siapa, keluarganya, siapa-siapa, kenakan (pasal TPPU) semua. Termasuk kalau itu dibongkar ngasih siapa supaya dia (ZR) aman, supaya sekian lama baru terbongkar,” ujar perempuan 65 tahun itu.
Dissenting Opinion Hakim Agung di Kasasi Ronald Tannur
Kasus Ronald Tannur akhirnya diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dan MA mengakui ketua majelis yang mengadili kasasi tersebut, Soesilo, sempat bertemu dengan Zarof Ricar di Makassar. Di sanalah diduga terjadi jual beli keputusan, ZR melancarkan tugasnya sebagai makelar kasus.
Benar saja, saat sidang kasasi diputuskan, Soesilo selaku Ketua Majelis Kasasi untuk kasus Ronald Tannur memberikan dissenting opinion dan meminta agar Ronald Tannur dibebaskan. Padahal dua Hakim Agung yang lain memberikan hukuman 5 tahun untuk Ronald Tannur.
Anehnya, pertemuan Soesilo dan Zarof Ricar itu tidak ditindaklanjuti dan tidak dianggap sebagai sesuatu patut dicurigai.
“Ya berarti rasa melanggar etiknya antara Mahkamah Agung dan rakyat biasa beda. Yang namanya melanggar etik, melanggar hukum, berhukum dan sebagainya itu sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Wird Mit Dem Volke. Perasaannya itu perasaan masyarakat yang banyak, bukan perasaan masyarakat hakim-hakim saja, kan lebih banyak kita yang enggak setuju,” ungkap Yenti.
Oleh karena itu, kita harus melakukan melakukan eksaminasi atau pengujian keputusan dissenting opinion hakim Soesilo, melihat apa sesungguhnya latar belakang yang ia miliki sehingga opini berbeda itu bisa muncul.
Dalam putusan kasasi itu, dissenting opinion dikeluarkan Soesilo karena tidak ada bukti bahwa Ronald Tannur sebagai pelaku pembunuhan Dini Sera Afrianti, meski dalam kejadian itu Dini meninggal dunia. Dan kasus ini pun sudah dinyatakan ditutup.
“Ya buka lagi aja lah. Enggak ada bukti-bukti itu apa yang dimaksudkan dia bukti? (Pasal) 184 kan banyak: alat bukti, barang bukti, saksi-saksi, saksi ahli, keterangan ahli, itu kan bukti. Yang mana yang enggak ada bukti?” Yenti merasa aneh.
Dini memang tidak meninggal di tempat pelindasan terjadi, namun ia sempat dibawa Ronald Tannur ke IGD Rumah Sakit National Hospital untuk mendapatkan pertolongan. Padahal, dalam ilmu hukum jika ada pelanggaran pidana yang menyebabkan seseorang kehilangan nyawa, matinya korban tidak harus seketika di tempat kejadian. Matinya bisa terjadi di locus delicti yang lain.
“Di S1 pun diajarin, harusnya setingkat hakim paham betul. Ada juga suara-suara toh yang bersangkutan ini kemudian menolong, menolong itu kan sudah etika baik. Ya enggak gitulah, nanti orang juga bunuh, di lukai, habis itu bawa ke rumah sakit, bebas kita,” kata Yenti.
Sayangnya, putusan kasasi itu baru dimuat di laman Mahkamah Agung setelah kasus ditutup.
Sayangnya, semua kekuatan politik dan lembaga negara memilih untuk mendiamkan pelanggaran etika dan makelar kasus yang terjadi di tubuh MA ini.
Namun, dengan terus diberitakannya kasus Zarof Ricar ini Yenti berharap akan mendatangkan rasa risih bagi para pemangku kebijakan. Mudah-mudahan akan ada langkah konkret yang mereka perbuat setelah menyadari ada yang tidak beres dalam MA.
“Semoga ini masih menjadi bahan membuat mereka risih, mereka mudah-mudahan tercerahkan bahwa bahaya sekali, syukur-syukur aduh malu ya ada yang menyatakan begini,” ujar Yenti.
Namun, ia sendiri tidak yakin bahwa rasa malu itu masih dimiliki para aparat penegak hukum dan penguasa di negeri ini.
“Kita provoke Pak Prabowo, tolong budaya malu, tolong yang benar adalah benar itu disuarakan, tolong sekarang ini bukan waktunya lagi Pak Prabowo untuk campaign. Sekarang ini adalah to do it, action, bukan hanya janji-janji. Apa yang dikatakan Pak Prabowo sebagai presiden itu adalah sesuatu yang sudah dipikirkan. Lakukan, pertanggungjawabkan, dan sudah dipikirkan bahwa hasilnya memang positif untuk masyarakat,” pungkas dia.
Leave a Reply