“…kita enggak mungkin lagi pasrah atau mengatakan dari mana (memperbaikinya), sudah susah. Ya enggaklah, tetap ada (cara). Sesusah apapun pasti ada,”
Yenti Garnasih, Pakar Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
Penilaian soal rusaknya hukum di Indonesia sudah banyak dikemukakan oleh para ahli. Pemberitaan yang menunjukkan hal itu juga gamblang ditampilkan media-media. Bagaimana hukum diperjualbelikan, hakim dan jaksa bisa disuap demi memenangkan perkara, Mahkamah Agung bisa “diintervensi” kekuasaan sehingga mudah saja mengubah suatu aturan, kejahatan bisa terus dijalankan selama memiliki bekingan dari orang dalam di lembaga hukum, dan sebagainya.
Kepastian akan hukum menjadi hal yang mahal untuk didapatkan, begitu juga dengan keadilan dari proses hukum yang berjalan. Jika sudah demkian, lantas bisakah kerusakan ini diperbaiki? Jika bisa, dari mana langkah perbaikan itu mesti dimulai?
Pakar Hukum Pencucian Uang, Yenti Garnasih menyebut kerusakan hukum itu terjadi sudah di hampir semua lini, bukan hanya satu atau dua aspek hukum saja.
“Bukan berarti hukum pidana itu paling parah loh, perdata juga. (Semua hukum saat ini rusak) Iya, itu luar biasa. Bahkan tata negara bisa mengubah umur dan sebagainya,” kata Yenti saat menjadi narasumber siniar Back to BDM di kanal YouTube Budiman Tanuredjo.
Meski rusak di semua lini, meski terkesan benang ini begitu kusut, namun sebagai anak bangsa Yenti merasa semua wajib bergerak dan mulai mencari jalan untuk memperbaikinya, mencari cara untuk mengurainya.
Hal pertama yang perlu dilakukan jika kerusakan sudah mendominasi penegakan hukum adalah memperbaiki Mahkamah Agung beserta hakim-hakim yang ada di dalamnya.
“Harusnya dari sana, kita enggak mungkin lagi pasrah atau mengatakan dari mana (memperbaikinya), sudah susah. Ya enggaklah, tetap ada (cara). Sesusah apapun pasti ada,” kata mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Pakuan itu.
Presiden dalam hal ini sebagai Kepala Negara bisa berkomunikasi dengan hakim-hakim MA dan membuka ruang dialog tentang bagaimana MA bekerja, dinamika profesi yang para hakim alami, dan sebagainya.
Di negara-negara lain, kerusakan pada aspek hukum negara hanya terjadi di satu atau dua bagian saja. Misalnya Australia terdapat permasalahan pada penyidik, Georgia pada hakim, beberapa negara pada jaksa. Namun tidak demikian dengan Indonesia, kerusakan di sini sudah terjadi di segala lini, sehingga tidak ada lagi pihak yang bisa menjadi pemfilter jika terjadi kesalahan di salah satu variabel hukum kita.
Jika harus dimulai dari Mahkamah Agung, apa tindakan konkret yang harus segera dilakukan untuk mencicil pembenahan hukum itu?
“Mungkin rekrutmen SDM penting. Mereka tidak punya waktu untuk belajar something very important, something new gitu. Artinya ini ada masalah, walaupun mereka punya pendidikan yang di sana (pendidikan tinggi ilmu hukum), tapi jangan-jangan memang mereka terlalu capek (urusan pekerjaan),” ujar Yenti.
Ia mengalami sendiri bagaimana jam kerja seorang hakim begitu panjang dan melelahkan. Misalnya di hari ini seorang hakim melakukan pemeriksaan hingga dini hari pukul 00.30, esoknya ia sudah kembali bekerja di pukul 9.00 pagi.
Masalah lain di lingkungan Mahkamah Agung adalah soal marwah para hakim agung yang tidak diletakkan di posisi yang tinggi atau pantas.
“Sering kita melihat hakim-hakim cari makan sendiri, artinya negara memang enggak menghargai mereka seperti di dihargai harusnya. Kan ada anggaran, mereka punya ruangan, mereka disiapkanlah makanannya itu, paling tidak menjaga dignity-nya mereka,” ujar dia.
Selanjutnya, masalah juga terlihat dari masa pendidikan hakim yang begitu singkat. Hanya 4-6 bulan saja hingga akhirnya seseorang bisa menjadi seorang hakim.
Padahal, di negara-negara lain, Jepang misalnya, pendidikan untuk menjadi seorang hakim cukup panjang. Setelah lulus S1, yang bersangkutan masih harus menjalani pelatihan selama 5 tahun lamanya. Karena sudah menjalani pelatihan khusus itu, maka tidak perlu gelar akademik lulus S2, S3 dan sebagainya. Dengan demikian, hakim-hakim di sana memiliki pemahaman terhadap ilmu juga filosofi yang mendalam mengenai hukum dan profesi hakim.
Menurut Yenti, ke depan Presiden Prabowo sebagai Kepala Negara perlu menciptakan ruang khusus agar bisa berkomunikasi dengan Ketua MA membicarakan terkait dengan keputusan-keputusan besar yang melibatkan keduanya. Misalnya dalam merespons permohonan grasi.
“Terus caranya gimana, ya cari cara. Mereka itu kan jadi pejabat, mereka itu sudah ada anggarannya, mereka digaji, dan sebagainya. Mereka harus mencari cara mempersembahkan kepada masyarakat, ini loh hasil pemikiran kami,” jelas Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (HIMAHUPIKI) periode 2018-2022 itu.
Namun, untuk memperbaiki kualitas MA apakah sudah cukup dengan memperlama masa pendidikan hakim dan membuka ruang dialog antara Presiden dan Ketua MA? Ternyata ada satu lagi, memperhatikan catatan-catatan yang dimiliki oleh seorang calon hakim MA. Jika ada catatan negatif, jangan ragu untuk menyingkirkannya sejak awal.
Jangan sampai kualitas seorang Ketua MA menjadi rusak hanya karena calon-calon dengan catatan baik tersingkir, sementara calon dengan karakter sebaliknya terus melaju akibat memiliki unsur kedekatan dengan DPR sebagai lembaga yang terlibat dalam pemilihan Ketua MA.
“Saya yakin masih ada hakim yang bagus ya, tapi jangan sampai yang bagus-bagus itu, mungkin yang jauh di sana itu juga tidak pernah tersentuh jadi tidak ada kesempatan untuk mereka naik. Jangan sampai seperti itu,” ujar peraih Doktor Hukum pertama di Indonesia di bidang Tindak Pidana pencucian Uang (TPPU) itu.
Upaya perbaikan tentu sudah dicoba, ada istilah habis sudah teori di gudang, tapi sistem hukum di Indonesia masih begini-begini saja, apa yang salah dengan kekuasaan peradilan di negeri ini?
Perempuan bergelar Dr. Yenti Garnasih, SH., MH menyebut, Indonesia sudah sama dengan negara lain jika berbicara soal keberadaan lembaga, misalnya sama-sama memiliki Komisi Yudisial. Yang membedakan adalah, kita tidak memiliki sumber daya manusia yang tepat yang mengisi posisi di lembaga tersebut.
“Di beberapa tempat, Ketua KY-nya itu Ketua Mahkamah Agung juga, harusnya malah gitu, karena memang ketua Mahkamah Agungnya bagus, karena kalau bukan Ketua Mahkamah Agung nyatanya kan enggak bisa apa-apa juga (tidak bisa mengeluarkan keputusan), hanya (bisa memberi) rekomendasi,” ujar Yenti.
“Orang lain punya KY, kita juga punya KY. Tapi orang lain ketua KY-nya itu dari Mahkamah Agung, syukur-syukur ketua MA-nya,” imbuh dia.
Menghadirkan pakar hukum dari luar negeri menjadi hakim ad hok di kasus-kasus dalam negeri juga bisa menjadi opsi. “Naturalisasi hakim”. Yenti menyebut, selama kasus-kasus yang ditangani adalah kasus hukum yang sifatnya umum, seperti pencurian, pembunuhan, korupsi, dan sebagainya, itu bisa saja ditangani oleh hakim dari negara manapun karena hukum bersifat universal.
“Kecuali mereka mungkin tidak boleh menangani kasus-kasus yang bersifat domestik, itu berkaitan dengan budaya dan living law Indonesia. Itu yang tidak mungkin, karena rasa itu harusnya tetap hakim Indonesia yang memang ngakarnya dari bangsa Indonesia yang filsafatnya living law-nya adalah living law bangsa Indonesia yang mungkin agak berbeda,” sebut Yenti.
Dengan menghadirkan pihak asing dalam proses peradilan, diharapkan dapat membuat suatu perkara ditangani dengan adil, tidak terikat kepentingan, kedekatan, dan sebagainya.
Leave a Reply