“Saya tidak melihat ada kejanggalan, karena transfer of prisoners itu hal lazim dilakukan di seluruh dunia, oleh semua negara. Motifnya itu kan selalu dua: kemanusiaan dan hubungan baik kedua negara,”
Hamid Awaluddin, Menteri Hukum dan HAM 2004-2007
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan telah membuat kesepakatan dengan pemerintah Filipina untuk memulangkan Mary Jane Feloso, narapidana berkewarganegaraan Filipina yang divonis hukuman mati di Indonesua atas kasus narkotika.
Pemulangan Mary Jane diketahui akan dilangsungkan dalam waktu dekat, sebelum Natal 2025. Sayangnya, pemindahan narapidana atau transfer of prisoners ini dilakukan tanpa adanya undang-undang yang mendasari sehingga menimbulkan pro dan kontra.
Sejumlah nasumber hadir dan menyampaikan pandangannya dalam Satu Meja The Forum Kompas TV (11/12/2024) yang mengangkat tema Di Balik Pemindahan Mary Jane dan “Bali Nine”.
Duta Besar Indonesia untuk Filipina, Agus Widjojo menyatakan pihaknya tidak mempersiapkan apapun terkait rencana pemulangan Mary Jane ke Filipina. Hal itu lantaran pihak KBRI sama sekali tidak mendapatkan informasi maupun arahan dari pemerintah terkait hal itu.
Tak hanya itu, Agus juga mengatakan pihak KBRI tidak dilibatkan dalam proses negosiasi transfer of prisoners ini.
“Sama sekali tidak, karena itu adalah langsung antara Department of Justice di Filipina dengan Kemenkumham atau menteri terkait yang ada di Indonesia,” kata Agus yang terhubung melalui komunikasi video.
Dikembalikannya Mary Jane ke Filipina menurut Agus bukan dilakukan atas dasar pertukaran narapidana. Pasalnya, tidak ada WNI yang menjadi narapidana di Filipina, terlebih dengan kasus dan vonis seberat Mary Jane.
Jika pun ada, itu hanya masalah yang relatif ringan atau kecil. Dengan begitu, keputusan memulangkan Mary Jane bukan atas dasar barter atau pertukaran tahanan asing.
“Karena sepanjang pengetahuan saya di Filipina tidak ada warga negara Indonesia yang tersangkut masalah hukum seberat Mary Jane tersangkut masalah hukum di Indonesia,” sebut Agus.
Sebagai pengamat Hubungan Internasional, Suzie Sudarman menilai keputusan Pemerintah Indonesia memulangkan Mary Jane sebagai “side payments” yang dilakukan oleh Presiden Prabowo.
Suzie menilai, Indonesia harus “membayar” atau memberikan sesuatu pada Filipina setelah Presiden Prabowo menyepakati Joint Statement dengan Presiden China Xi Jin Ping yang salah satunya menyoal Laut China Selatan.
“Ini sebagai side payments untuk inovasi Prabowo dengan China dengan joint statement itu, karena apa yang dilakukan dalam joint statement itu melanggar kesepakatan antar negara ASEAN. Jadi Prabowo harus berpikir untuk memberikan side payment kepada Filipina supaya tidak marah,” jelas Suzie.
Dan menurutnya, side payment adalah hal yang sah-sah saja dilakukan dalam hubungan diplomasi antar negara, meski bentuk kebijakannya terkadang mengagetkan.
Dengan kata lain ada barter yang tengah dilakukan antara Indonesia dan Filipina, meskipun yang dipertukarkan adalah dua hal yang berbeda.
“Semacam barter untuk memuaskan kalangan ASEAN yang bingung melihat Indonesia kenapa tiba-tiba berkompromi dengan China, padahal semua sepakat bahwa Filipina harus dilindungi karena dia diambil wilayahnya oleh PRC (People’s Republic of China),” ujar akademisi dari Universitas Indonesia itu.
Suzie menilai kesepakatan antara Indonesia dan Filipina itu diambil secara sepihak, tanpa ada negosiasi. Satu pihak meminta sesuatu, pihak lain bersedia memenuhi.
Di pihak lain, Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI dari Fraksi PDIP Andreas Hugo Pareira menyebut keputusan pemulangan Mary Jane ini penuh dengan aspek politik.
“Kita di Indonesia justru tahunya dari ketika presiden Bongbong melemparkan itu ke media. Di Indonesia tidak diketahui, bahkan dubesnya sendiri juga tidak tahu kan dalam proses ini,” kata Andreas.
Dari situ, ia menyimpulkan bahwa ada kecenderungan pemerintah Filipina membutuhkan dukungan publik sehingga mengumumkan kesepakatan ini. Sementara pemerintahan Indonesia justru terkesan ingin menyembunyikan dari publik sehingga mengerjakannya dalam diam.
“Yang saya lihat dari peristiwa ini, ini lebih peristiwa politik, bukan peristiwa hukum. Sementara masalah ini adalah masalah hukum,” sebut Andreas.
Respons keberatan soal Mary Jane dipulangkan ke Filipina secara terang-terangan pun disampaikan oleh Andreas. Ia melihat pemulangan ini dilakukan tanpa didasari adanya landasan hukum atau undang-undang. Padahal, mengacu UU Pemasyarakatan Nomor 2 Tahun 2022, pemindahan narapidana ke negara lain bisa dilakukan dengan diatur oleh undang-undang.
“Undang-undangnya itu yang belum ada. Oleh karena itu saya kira sebaiknya kita membuat undang-undangnya dulu, baru kemudian kita melakukan itu (pemindahan). Sehingga ketika kebijakan itu dibuat, pelaksana di tingkat bawah di sini Dirjen Imigrasi dan Lapas dan perangkat-perangkatnya mempunyai dasar untuk melakukan pemindahan itu,” terang Andreas.
Pada 2014, Presiden Jokowi sempat menolak permohonan grasi yang diajukan oleh Mary Jane, namun saat ini Presiden Prabowo justru membuka jalan untuk terpidana mati itu pulang ke negaranya.
Mary Jane berkasus di Indonesia dan pengadilan telah menjatuhkan vonis kepadanya, sehingga statusnya sebagai terpidana mati sudah berkekuatan hukum.
Andreas berpegang pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyebut siapa saja, WNA atau WNI, yang melanggar hukum di Indonesia harus diperkarakan, diproses, dan dipidanakan di Indonesia. Jika Mary Jane benar dipulangkan.
“Jadi kalau kita melakukan ini ya kita melanggar hukum kita sendiri. Meskipun berkaitan dengan ini ada dasar, ada pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan itu sangat memungkinkan, kemudian pertimbangan diplomasi antar negara,” sebut Andreas.
Ia merasa heran, mengapa harus terburu-buru memulangkan Mary Jane meski tanpa undang-undang. Mengapa tidak mau sedikit bersabar, menunggu undang-undang dibahas dan disahkan.
“Katakanlah pertengahan tahun depan, itu bisa dilakukan kalau kita sepakati bahwa ada kepentingan-kepentingan diplomasi, kepentingan menjaga hubungan bilateral, hubungan baik di antara negara-negara. Itu bisa dipayungi dengan dasar hukum yang kita punya. Ini kan menyangkut wibawa kita dengan hukum kita sendiri,” ungkap Andreas.
Menteri Hukum dan HAM 2004-2007 Hamid Awaluddin justru menilai sebaliknya. Menurutnya, tidak ada yang aneh dengan keputusan Pemerintah Indonesia untuk mengembalikan Mary Jane ke Filipina. Itu adalah hal yang lazim, sekalipun belum ada undang-undang yang melandasinya.
“Saya tidak melihat ada kejanggalan, karena transfer of prisoners itu hal lazim dilakukan di seluruh dunia, oleh semua negara. Motifnya itu kan selalu dua: kemanusiaan dan hubungan baik kedua negara,” jelas Hamid.
Dari segi kemanusiaan, Hamid melihat kondisi fisik Mary Jane yang sering sakit-sakitan, bahkan organ reproduksinya sudah diangkat, menjadi salah satu aspek yang harus diperhatikan. Dari sisi hubungan diplomatik, Indonesia memiliki hutang budi dengan Filipina ketika pemerintah Negeri Lumbung Padi itu berhasil membantu menyelamatkan sejumlah WNI yang disandera kelompok ekstrem Abu Sayyaf di negara itu.
“Jadi hubungan timbal balik sebenarnya. Tidak harus head to head, tidak harus kasus per kasus,” kata Hamid.
Terkait alfanya undang-undang yang mendasari kebijakan pemulangan narapidana asing ini, Hamid beranggapan bahwa dalam kondisi ini bisa diberlakukan diskresi Presiden sebagai kepala negara. Dan ke depannya, undang-undang bisa dirumuskan. Karena jika harus menunggu undang-undang terbentuk, tidak ada yang bisa menjamin DPR dan pemerintah dapat merampungkannya dalam waktu cepat.
“Saya kira begini, membuat undang-undang di Republik Indonesia tidak mudah. (Jika ada UU yang rampung dalam waktu kilat) Itu kepentingan politik domestik, itu untuk orang per orang, kalau ini konteksnya kan tidak terlampau menarik para anggota DPR,” ujar mantan Duta Besar RI untuk Rusia itu.
Perundingan diam-diam
Informasi mengenai kesepakatan pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Filipina untuk memulangkan Mary Jane muncul secara tiba-tiba. Tidak banyak yang tahu bagaimana proses perundingan atau negosiasi yang terjalin. Tiba-tiba, informasi itu dilemparkan ke publik oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Indonesia Yusril Ihza Mahendra.
Demikian pula yang dialami oleh Dubes Agus di Filipina. Masyarakat Filipina yang menginginkan Mary Jane tidak dihukum mati di Indonesia pun tidak mendapat informasi yang jelas hingga secara tiba-tiba Presiden Filipina Bongbong Marcos mengumumkannya di muka publik, Mary Jane akan segera kembali ke negaranya.
“Proses itu tidak pernah keluar ke publik dan bisa ditanggapi oleh media ataupun publik Filipina. Berita pertama tentang pengembalian Mary jane ini ke Filipina itu sudah berupa pernyataan Presiden Bongbong Marcos dan Presiden Bongbong Marcos menyatakan terima kasih kepada Pemerintah Indonesia,” ujar Agus.
Setelah informasi itu disampaikan, publik dan media Filipina pun menyambut kabar rencana kepulangan Mary Jane itu dengan sangat positif dan baik.
Agus mengaku tidak mengetahui adanya kesepakatan-kesepakatan tertentu antara Indonesia dan Filipina terkait pemulangan narapidana ini.
Namun, ia menyebut hukum di Filipina tidak mengakui hukuman mati sebagaimana berlaku di Indonesia. Akibatnya, Mary Jane yang merupakan terpidana mati di Indonesia tidak akan dieksekusi mati ketika kembali ke negaranya.
“Iya betul di sini tidak ada hukum kapital atau hukuman mati. Itu tidak ada di Filipina,” sebut Agus.
Menyikapi adanya komunikasi diam-diam antar dua negara tanpa memberitahukan duta besar yang bertugas, menurut Suzie adalah hal yang biasa terjadi. Bisa saja, kepala-kepala pemerintahan atau menteri-menteri saling berkomunikasi secara langsung tanpa ada perwakilan atau pihak lain yang dilibatkan.
“Sendiri, menteri luar negerinya berbicara dengan menteri luar negeri Indonesia atau presidennya langsung. Biasanya bisa karena perwakilan itu kan bisa juga appointy, bukan karir,” kata Suzie.
Leave a Reply