“It’s very simple, persoalan korupsi atau tidak itu adalah soal-soal karakter. Jadi jangan hanya kita katakan oh pengawasan kurang, ini kurang. It’s about human character, individual character, karena itu saya mengharapkan KPK menyentuh ini,”
– Hamid Awaluddin, Mantan Menteri Hukum dan HAM
Korupsi merupakan kejahatan pidana sekaligus kebejatan moral seseorang yang tak hanya merugikan keuangan negara, tapi juga merusak moral etika bangsa.
Menilik sejarah Indonesia, tindak kejahatan korupsi sudah ada sejak zaman VOC, medio abad ke-17. Ratusan tahun berlalu, korupsi masih kita jumpai di Tanah Air, bahkan hari ini korupsi nampaknya sudah menjadi hal lumrah dalam budaya Indonesia. Tak hanya di balik meja kekuasaan, tapi juga di dalam saku-saku rakyat tingkat bawah.
Bukan hanya pejabat pemerintahan yang menilap uang negara dalam jumlah milyaran rupiah, masyarakat juga melakukan hal yang sama hanya saja dalam skala yang lebih kecil. Memberi uang damai saat terkena razia kepolisian di jalan, menitip mahar pada oknum untuk mendapatkan jabatan/posisi tertentu di dunia akademik/karier, menyelipkan amplop pada aparat negara agar urusan admisnistratifnya dipermudah. Demikian sedikit contohnya.
Lantas apa yang membuat korupsi tak kunjung enyah dari Ibu Pertiwi? Tak cukupkah segala bentuk penindakan yang selama ini diupayakan negara untuk mematikan koruptor dan segala sifat koruptif di masyarakat?
Menteri Hukum dan HAM 2004-2007 era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Hamid Awaluddin melihat ada yang kurang optimal dalam penanganan korupsi di Indonesia. Baginya, korupsi tidak akan bisa ditangani hanya dengan mengandalkan penindakan secara hukum.
Penindakan tetap dibutuhkan untuk memberikan efek jera, namun ada yang jauh lebih penting dari itu. Membentuk generasi dengan karakter bersih dan berintegritas.
“Oh perlu sangat perlu. Tetap harus ada deterrent effect. Tapi menurut saya dalam level korupsi seperti ini yang kita butuhkan ini adalah formulasi metode pembangunan karakter,” sebut Hamid dalam siniar Back to BDM kanal YouTube Budiman Tanuredjo.
Pendidikan anti korupsi yang ia maksud bukan sekadar ceramah pejabat yang lantas menguap setelah sesi materi berakhir. Harus dicari metode yang lebih efektif sehingga generasi penerus bisa memiliki karakter yang lebih baik dalam hal antikorupsi.
Pernyataan itu ia sampaikan menanggapi wacana akan dikuranginya intensitas Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia sama sekali tidak keberatan jika kegiatan OTT dikurangi di waktu yang akan datang.
Menurutnya, KPK selama ini hanya membuat kehebohan publik dengan OTT-nya. Setelah selesai dari OTT tidak ada upaya lanjutan yang optimal untuk ranah pencegahan berupa pendidikan antikorupsi. Dan ini akan membutuhkan waktu, tidak mungkin akan selesai hanya dalam 1, 2 tahun atau 1 periode KPK.
“Selama ini hanya sampai taraf membuat kehebohan, buktinya rentetan kejadian tetap terjadi,” ujar mantan Duta Besar Indonesia untuk Rusia itu.
“Semua dilakukan dengan formalitas kan, undang pejabat, undang pers, kita berhasil menangkap sekian. Pertanyaannya, apakah penangkapan itu membawa dampak kepada keseluruhan? kan tidak juga. Jadi yang memang harus diubah character integrity,” imbuhnya.
Pendidikan antikorupsi
Penanaman nilai-nilai anti korupsi untuk membentuk karakter generasi yang bersih perlu dilakukan sejak sedini mungkin. Karena karakter adalah akar utama dari korup atau tidaknya seseorang.
“It’s very simple, persoalan korupsi atau tidak itu adalah soal-soal karakter. Jadi jangan hanya kita katakan oh pengawasan kurang, ini kurang. It’s about human character, individual character, karena itu saya mengharapkan KPK menyentuh ini,” kata Hamid.
Anak-anak melalui bangku-bangku sekolah dasar sudah semestinya dijejali tak sekadar ilmu pengetahuan, tapi juga adab, moral, dan etika.
Tenaga pendidik pun semestinya tidak dibebani dengan urusan administratif sehingga mereka kehabisan energi untuk melakukan tugas utamanya, mendidik generasi.
“Terutama pendidikan dasar SMP ke bawah, ini harus dibangun. Guru jangan dibebani urusan kertas tapi urusan mendekati muridnya, supaya murid dengan guru adalah sahabat yang baik. Kalau pendidikan kita yang dijejali adalah hafalan, bukan perubahan karakter,” ungkap pria asal Parepare, Sulawesi Selatan itu.
Jika pendidikan karakter antikorupsi baru diberikan ketika seseorang sudah menduduki jabatan tertentu, artinya ia sudah dewasa, maka itu sungguh sangat terlambat. Karakter pribadinya mungkin sudah terlanjur terbentuk. Jika sudah demikian, jangan heran jika korupsi terjadi di semua lini. Hukum tidak ditaati.
“Yang salah bukan persoalan hukumnya, persoalannya kita tidak menyentuh karakter dari awal, baru kita sentuh mereka kalau jadi pejabat, it’s too late,” kata lulusan Universitas Hasanuddin itu.
Karakter korup, karakter orang Indonesia?
Jika karakter orang Jepang adalah cinta terhadap kebersihan, maka karakter orang Indonesia adalah korup. Setidaknya hal itu diiyakan oleh Hamid, melihat bagaimana korupsi begitu mengakar dan membudaya di masyarakat kita, hingga di kelas masyarakat bawah.
“Ya bisa dikatakan begitu, bisa dikatan. semua level (melakukan korupsi),” ujar dia.
Menurutnya, hukum yang tegas dan ketat sekalipun tidak akan berjalan dengan baik apabila karakter masyarakatnya belum terbentuk.
“Bangun karakternya sehingga sistem hukum yang kita bangun itu bisa match dengan karakter. Bangun sistem hukum betapa pun baiknya, indahnya, kalau karakter awal tidak cocok, enggak bisa,” sebut Hamid.
Selain karakter yang belum terbentuk, masyarakat Indonesia hari ini juga bisa dikatakan krisis keteladanan dari tokoh-tokoh besar yang menjabat.
“Itu variabel kedua, karena kebetulan bentuk masyarakat kita adalah masyarakat atas bawah, hierarchy, patronage, sehingga apa yang dilakukan pak ketua, pemimpin, kita ikut. Itu adalah elemen kedua dari pembangunan karakter bangsa,” pungkasnya.
Leave a Reply