Dugaan Keterlibatan Polisi dalam Pilkada dan Wacana Reposisi Polri dari Presiden ke Kemendagri

“Analogi kalau misalnya polisi di bawah Kemdagri, itu kaya macan dikasih sayap. Bayangin, punya alat politik juga punya alat keamanan, ngeri sekali kalau di bawah Kemdagri. Artinya apa, sesungguhnya hari ini sudah clear (Polri di bawah Presiden),”

– Bambang Rukminto, Pengamat Kepolisian ISESS

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengusulkan wacana pemindahan posisi Kepolisian yang saat ini ada di bawah Presiden menjadi di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Usulan itu disampaikan oleh Ketua DPP PDIP Deddy Sitorus dengan alasan banyak permasalah di internal Polri. Selain itu, di beberapa daerah, Kepolisian juga disebut tidak menunjukkan netralitasnya dalam gelaran pesta demokrasi seperti Pilkada Serentak kemarin, sehingga muncul istilah “Partai Coklat” atau “Parcok”.

Namun, wacana reposisi Polri tersebut tidak mendapat dukungan dari Senayan. Mayoritas, 7 dari 8 fraksi di Komisi III DPR menolak usulan tersebut dengan alasan reposisi bukan solusi, di bawah kementerian Polri rentan dipolitisasi, keterlibatan dalam Pilkada masih sebatas dugaan, dan tak ada jaminan Polri akan semakin independen jika ada di bawah Kemendagri.

Sejumlah tokoh hadir dan membahas hal tersebur dalam Satu Meja The Forum Kompas TV (4/12/2024) yang mengangkat tema “Polri di Bawah Presiden atau Kemendagri?”.

Dugaan Polisi Terlibat di Pilkada

Politisi dari PDIP, Adian Napitupulu menyebut keterlibatan kepolisian dalam ranah politik elektoral begitu mudah ditemukan di mesin pencari. Begitu banyak artikel berita yang menunjukkan bagaimana aparat kepolisian ahkan kejaksaan terlibat dalam pemanggilan-pemanggilan kepala desa saat tahapan Pilkada berjalan.

“Dalam momentum tahapan pemilu, jadi politis enggak? Jadi politis dong orang melihatnya. Semua tindakan apapun yang dilakukan oleh ASN dan kepolisian dan siapapun dalam tahapan pemilu baik Pilpres maupun Pilkada kemarin akan sangat rentan ditafsirkan secara politik ada intervensi. Untuk itu butuh penjelasan, penjelasan itu harus logis, masuk akal, dan bisa diperdebatkan, bisa dibuka, bisa didiskusikan,” kata Adian.

Jika negara atau pemerintah membantah keterlibatan instrumen negara dalam praktik demokrasi namun dengan jawaban singkat tanpa penjelasan, maka itu tidak mampu menjawab kecurigaan publi akan keberadaan Parcok dalam pemilu kita. Adian menyebut, rakyat butuh jawaban lebih dan logis.

Meski PDIP menyebut ada banyak pemberitsan kejadian polisi terlibat dalam pemanggilan kepala desa di tengah masa pilkada, namun Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengaku sama sekali tidak menerima satupun aduan atau laporan dari pihak manapun.

“Sejauh ini kita belum menerima aduan laporan terkait dengan dugaan-dugaan yang hari ini dipersoalkan di publik. Jadi kita terbuka untuk misalnya ada laporan aduan dari masyarakat, tentu saja kompolnas akan menindaklanjuti itu,” sebut Komisioner Kompolnas, Gufron Mabruri.

Gufron memastikan, jika ada laporan yang masuk maka pihaknya pasti akan memberi atensi dan menindaklanjutinya, karena Kompolnas bertugas untuk mendorong kepolisian bekerja secara profesional dan akuntabel.

Suasana di belakang panggung Satu Meja (4/12/2024).

Adian pun merasa heran jika Kompolnas sebagai institusi negara tidak menerima laporan sama sekali terkait keterlibatan kepolisian dalam pilkada yang masif terjadi di lapangan. Padahal, tanpa adanya orang melapor pun isu tersebut sudah diberitakan berbagai media massa. Selain itu, Indonesian Police Watch (IPW) yang merupakan organisasi nonprofit (NGO) menyatakan sepanjang November 2024 ada pemanggilan terhadap 176 kepala desa, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan ada 1.500 pelanggaran pemilu termasuk di dalamnya pelanggaran asas netralitas kepolisian.

“Kalau dia bilang tidak ada pengaduan, mungkin ada beberapa kemungkinan: dia berharap orang datang ke kantornya, bawa surat-menyurat, dan sebagainya; atau dia tidak mau mencari peristiwa di luar dari apa yang diantarkan (ke Kompolnas),” ujar Adian.

Ia pun heran apakah Kompolnas tidak melakukan komunikasi dengan Bawaslu sebagai sesama lembaga atau badan negara.

Menanggapi hal itu, Gufron berdalih Kompolnas bekerja berdasarkan aduan. Dan sampai hari ini memang tidak ada aduan yang masuk ke pihaknya melalui saluran-saluran yang disediakan.

“Sejauh yang saya tahu, berbicara soal aduan yang masuk lewat saluran-saluran yang ada di Kompolnas sampai hari ini kita belum terima. Kita berdasarkan laporan aduan,” jawab Gufron.

Jika pun banyak isu yang beredar di luar sana, Kompolnas menuritnya tidak bisa merespons begitu saja. Harus ada laporan yang masuk, kemudian didukung bukti-bukti kuat, mereka akan membaca, menganalisis, dan mengaji semua bukti tersebut. Jika benar terbukti, barulah Kompolnas akan bersuara.

Gufron menegaskan Kompolnas berbicara di ranah pembuktian, bukan narasi yang berkembang di media massa.

“Ini bukan narasi, ini bukan analisis, peristiwanya ada. Tinggal kita mau aktif bertanya, mendatangi, investigasi, atau duduk sebagai tuan di belakang meja, tinggal itu pilihan kita. Kenapa, ini bawaslu sudah bicara. IPW sudah bicara, IPW itu NGO tidak dibayar oleh negara, dia lebih aktiif, ini melanggar undang-undang. Kenapa Kompolnas tidak?” Adian menimpali penjelasan Gufron.

Terkait dugaan ketidaknetralan Polri dalam Pilkada maupun Pilpres melalui pemanggilan-pemanggilan kepala desa, Ketua Umum Lingkar Nusantara Hendarsam Marantoko selaku seorang advokat melihat setiap lembaga pasti memiliki catatan di sisi positif dan negatif, termasuk kepolisian. Itu sudah menjadi fitrahnya.

Namun, jika mendapati keburukan suatu institusi tidak lantas mengambil opsi yang terlalu jauh mengubah aturan, sebagaimana mengusulkan Polri dipindahkan dari kekuasaan Presiden ke Kemendagri.

“Harus ada landasan, bukan dari satu dua peristiwa saja. Saya ambil analogi yang gampang, ‘wah DPR enggak beres, DPR bubarkan’, kan enggak seperti itu juga. Jadi kita harus dewasa melihatnya. Satu dua peristiwa tidak harus mengubah banyak konstitusi yang tentunya (lihat dulu) manfaatnya apa, mudaratnya apa,” demikian pendapatnya.

BDM bersama narasumber Satu Meja (4/12/2024).

Sementara itu, Guru Besar Ilmu Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran, Muradi melihat ada perubahan keterlibatan Polri dalam pilkada hari ini jika dibandingkan dengan bebedapa tahun sebelumnya.

Saat ini, polisi ikut intervensi pilkada untuk mendorong pihak lenguasa, sementara 5-10 tahun yang lalu intervensi dilakukan untuk mereka bisa berkuasa.

“Dulu di depan, sekarang dia di belakang. Ini menarik, karena kalau itu dilakukan, pertanyaan berikutnya adalah untuk apa? Karena secara prinsipil, Polri itu sangat diuntungkan dengan fase reformasi ini, akhirnya ketika kemudian masuk politik praktis, pertanyaan banyak orang kemudian adalah untuk apa?” ujar Muradi.

Dan terkait adanya pemanggilan-pemanggilan kepala desa yang dilakukan oleh aparat kepolisian di masa Pilkada, menurut Muradi adalah sesuatu yang tidak elok dan tidak etis. Tindakan aparat yang semestinya Netral itu, justru dianggap menguntungkan pasangan tertentu yang secara tidak langsung sedang didukungnya, biasanya adalah pasangan yang terasosiasi dengan kekuasaan di pusat.

Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto semakin hari godaan dari politisi terhadap polisi kian masif dan terbuka sehingga polisi menduakan integritas yang semestinya untuk negara dan masyarakat.

“Kalau melihat selama ini pasca reformasi, godaan-godaan itu terus ada, 2024 yang lalu juga pernah ada salah satu polres mendukung salah satu capres. Dan itu terus bergulir 2019, 2024 bahkan pilkada ini itu terakumulasi, semakin massif, dan semakin terbuka. Saya prihatin dengan munculnya Parcok ini, karena ini mendegradasi moral kawan-kawan di kepolisian yang masih memiliki integritas profesionalisme,” ungkap Bambang.

Polri Pindah di Bawah Kemendagri atau Tetap di Bawah Presiden?

Dari sudut pandang Hendarsam, memindahkan Polri ke bawah Kemendagri memiliki keburukan atau mudarat yang lebih banyak ketimbang manfaatnya. Terutama, baginya ini berlawanan dengan semangat reformasi. Di era Presiden Megawati, TNI (ABRI) dipisahkan dengan Polri sebagai Mandat reformasi, karena di zaman Orde Baru terjadi dwifungsi ABRI yang kekuatannya begitu dominan.

“Ini yang berusaha untuk diluruskan. Apakah kita harus kembali ke belakang lagi? Apakah kita harus seperti itu lagi?” tanya Hendarsam yang juga merupakan Ketua DPP Partai Gerindra.

Adian pun menampik penjelasan Hendarsam terkait melawan semangat reformasi. Ia menjelaskan reformasi tidak mengurus soal di bawah siapa Polri berada. Salah satu tuntutan reformasi adalah menghapuskan dwifungsi ABRI, dan itu sudah dipenuhi. Namun, apakah Polri harus di bawah lembaga A, B, atau C, reformasi tidak menyentuh ranah itu. Sehingga keliru jika wacana ini dianggap kemunduran atau melawan reformasi.

“Sekarang orang bilang, kalau polisi di bawah TNI itu tidak sesuai dengan cita-cita reformasi, tapi kalau di bawah Kemendagri juga tidak sesuai dengan reformasi, reformasi mana yang dimaksudkan? Karena tidak ada dalam seluruh tuntutan reformasi itu terkait dengan penempatan polisi. Jadi kalau orang bilang itu melanggar reformasi, reformasi yang mana, saya bingung,” jelas Adian.

Adapun Bambang Rukminto justru berpendapat wacana tersebut harus terus dibuka. Di beberapa negara dunia pun Kepolisian ada di bawah kementerian, baik Kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Keamanan Publik.

Terlepas dari itu, ia sendiri tidak setuju apabila Polri dipindahkan ke bawah Kemendagri dengan alasan tertentu.

“Terkait dengan wacana dikembalikan ke Kementerian dalam negeri, saya sebenarnya enggak setuju, apalagi dikembalikan ke bawah panglima TNI itu adalah kemunduran dari reformasi. Saya melihat selama ini pasca reformasi, kepolisian seperti yang disampaikan Mas Muradi adalah lembaga yang paling diuntungkan,” kata Bambang.

BDM bersama penonton di studio Kompas TV.

Menurutnya, akan terjadi resistensi dari internal kepolisian apabila institusi itu direposisi menjadi di bawah kementerian, karena kondisi kepolisian saat ini sudah sangat nyaman bagi institusi dan seluruh anggota di dalamnya.

Muradi juga kurang setuju dengan penempatan Polri di bawah Kemendagri dengan alasan tersendiri.

“Analogi kalau misalnya polisi di bawah Kemdagri, itu kaya macan dikasih sayap. Bayangin, punya alat politik juga punya alat keamanan, ngeri sekali kalau di bawah Kemdagri. Artinya apa, sesungguhnya hari ini sudah clear (Polri di bawah Presiden),” ujar dia.

Muradi menjelaskan ada 3 hal yang membuat Polri tepat berada di bawah Presiden. Pertama, birth right (hak lahir). Hak lahir polisi adalah kombatan, dia ikut berjuang melahirkan NKRI. Kedua, kontribusi 3 pilar. Polri berkaitan dengan pilar harkamtibmas (harmoni, keamanan, dan ketertiban masyarakat), pilar kamdagri (keamanan dalam negeri), dan pilar gakkum (penegakan hukum). Terakhir atau yang ketiga adalah posisi Polri hari ini hasil dari proses panjang perjalanan institusi itu sendiri, misalnya kepolisian berkali-kali mencoba menjadi kementerian.

“Ternyata dari berbagai fase itu yang pas berkaitan dengan 3 (pilar) tadi adalah di bawah presiden dengan asumsi bahwa posisi ini yang paling ideal,” Muradi menjelaskan.

Hanya saja, Muradi berpesan agar Polri harus membatasi diri agar tidak terlampau jauh sebagaimana Kemendagri yang dalam tanda kutip melayani hingga orang per orang atau elit per elit.

Wacana Pemindahan Polri Bukan Gagasan PDIP

Terkait wacana reposisi Polri ini, Adian meluruskan bahwa awal gagasan bukan datang dari PDIP Maupin Deddy Sitorus yang merupakan Ketua DPP partai banteng tersebut.

Reposisi Polri dari bawah Presiden ke kementerian sebelumnya sudah digulirkan oleh sejumlah pihak, misalnya oleh Menteri Pertahanan 2014-2019 Ryamizard Ryacudu, juga oleh Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) 2016-2022 Agus Widjojo.

“Pak Agus Widjojo dia katakan begini, baiknya kepolisian di bawah kementerian, karena TNI di bawah Kemenhan. Masa TNI di bawah Kemenhan, kepolisian di bawah Presiden?” Ujar Adian mencoba mencuplik pernyataan Agus.

Tak hanya Menhan dan Gubernur Lemhannas, Adian juga menyebut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga pernah menyatakan hal serupa.

“Lalu kenapa sekarang salah salah enggak boleh. Loh Menhan ngomong begitu, Lemhannas ngomong seperti itu, lalu ketika yang ngomong Deddy Sitorus seolah-olah tidak boleh, salah, jangan. Ini tidak fair,” kata Adian.

“Ini bukan persoalan setuju tidak setuju, tapi kita bicara latar belakangnya dulu. Bahwa itu tidak ujuk-ujuk begitu, ada sekian banyak perdebatan tentang itu,” lanjut dia.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *