“Kontroversi posisi polisi dalam kancah politik maupun kemasyarakatan membutuhkan introspeksi mendalam dan butuh penyelesaian. Kekuatan politik juga harus ikut menjaga agar polisi tak terbawa arus politik. Segala opsi perlu dibuka untuk mendapatkan polisi yang betul-betul mengayomi dan melindungi masyarakat, karena operasional polisi juga dibiayai oleh pajak rakyat.”
Tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam beberapa tahun terakhir terus didera permasalahan yang menimpa para anggotanya. Mulai dari kasus penembakan terhadap ajudan yang dilakukan mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo, pengedaran narkoba oleh mantan Kapolda Sumatera Barat Teddy Minahasa, hingga sejumlah kasus lain terkait polisi tembak polisi dan polisi tembak sipil yang terjadi belakangan ini.
Apa yang terjadi dengan Polri? Mengapa aparat yang semestinya menciptakan ketertiban dan keamanan di masyarakat justru menjadi pihak penyebab keonaran dan tindak kejahatan itu sendiri? Di mana mana letak kesalahan yang harus diperbaiki?
Sejumlah narasumber hadir di forum Satu Meja The Forum Kompas TV (4/12/2024) yang mengangkat tema “Polri di Bawah Presiden atau Kemendagri?” untuk membahas persoalan ini.
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto melihat adanya kesalahan sistem di balik permasalahan yang menimpa Polri secara terus-menerus beberapa waktu terakhir. Sistem untuk menjaga integritas dan moral anggota dinilai masih lemah, sehingga kasus-kasus yang melibatkan internal kepolisian pun bermunculan.
Selain itu, Bambang juga menyebut leadership atau kepemimpinan di Polri lemah, tidak ada ketegasan dari pemimpin dalam hal inin Kapolri.
“Ini menjadi keprihatinan kita semua. Terkait dengan itu, apa yang terjadi di kepolisian saya melihat lemahnya leadership. Saya melihat tidak adanya ketegasan kepemimpinan di kepolisian saat ini sehingga muncul banyak kasus,” kata Bambang.
Jika hal ini terus dibiarkan, maka kasus-kasus serupa disebut Bambang akan terus terulang di waktu yang akan datang, bahkan semakin marak. Permasalahan sistemik juga begitu nampak pada penanganan kasus polisi yang menembak seorang siswa di Semarang. Pihak kepolisian menyampaikan kepada masyarakat bahwa siswa yang menjadi korban penembakan adalah anak nakal atau terlibat dalam geng, tapi ternyata informasi itu tidak benar.
Ketua Umum Lingkar Nusantara, Hendarsam Marantoko melihat masalah beruntun di yang melibatkan anggota kepolisian ini sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Setidaknya, sepanjang 22 tahun kariernya menjadi seorang advokat, kasus yang melibatkan kepolisian memang sudah kerap ia temui. Hanya saja, di zaman ini arus informasi begitu cepat mengalir tersebar luas melalui media sosial. Suatu kejadian akan sangat cepat tersampaikan ke masyarakat dan menjadi viral. Hal ini membuat kasus-kasus lebih mudah diketahui oleh publik hari-hari ini.
Meski masih terbilang banyak, namun kasus-kasus polisi yang terjadi saat ini menurutnya sudah lebih baik dari yang sebelumnya.
“Dari sisi itu sudah banyak sekali perbaikan sebenarnya. Untuk kasus-kasus yang umum, saya tidak bicara yang politis, polisi itu memang sudah bekerja based on fakta, bukti, dan alat bukti yang lain. Tetapi masalahnya, ini yang saya mungkin sarankan fungsi pengawasan itu yang penting sekali,” papar Hendarsam.
Pengawasan yang ia maksud bisa dilakukan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) atau Biro Pengawasan Penyidikan. Pengawasan penting dilakukan untuk memastikan “balance of power” dari kepolisian itu sendiri.
Komisioner Kompolnas, Gufron Mabruri sependapat dengan Hendarsam bahwa sisi akuntabilitas, pengawasan, dan kontrol kepolisian harus diperbaiki. Hal-hal itu menjadi pekerjaan rumah bagi internal maupun eksternal kepolisian. Pihak eksternal misalnya ada Kompolnas dan Komisi iII DPR yang menjadi mitra kerja Polri. Termasuk juga media massa, aktivis, dan masyarakat sipil. Semua bisa melakukan pengawasan sesuai dengan posisi masing-masing.
“Menurut saya ini satu agenda yang sangat urgen dan bukan tugas dari internal kepolisian saja dalam konteks menegakkan pengawasan, tetapi juga mendorong bagaimana pengawas-pengawas eksternal ini berfungsi secara efektif dan optimal,” ujar Gufron.
Soal pengawasan ini menurut Gufron lebih penting untuk dibahas ketimbang harus mempermasalahkan di mana Polri harus diposisikan, apakah di bawah Presiden atau kementerian.
Lebih jauh berbicara soal pengawasan terhadap Polri, Guru Besar Ilmu Politik dan Keamanan Universitas Padjajaran, Muradi berpendapat seharusnya ada penambahan wewenang kepada Kompolnas sebagai pihak pengawas, bukan sebatas memberi rekomendasi tindakan tertentu pada Presiden terkait Polri, namun juga memberikan rekomendasi nama untuk menggantikan kapolres, kapolda, bahkan kapolri.
Ada hal lain yang perlu diperhatikan oleh Polri agar kasus-kasus yang mencoreng nama baik institusi tidak terus terulang. Selain pengawasan, perlu juga dioptimalkan sisi pembinaan anggota.
“Polri ini sudah baik, problem yang disampaikan ada banyak kasus, lebih pada soal bukan cuma pengawasan tapi juga pembinaan. Katakan gini soal penggunaan senpi, sudah ada perpolnya kok, bahwa pasal 8 disebutkan harus izin atasan, harus sudah psikotes, harus mendapatkan surat dokter dari Polri, 3 ini jelas. Kalau tiba-tiba ada yang aneh-aneh ya diselesaikan di level itu,” jelas Muradi.
Dengan masalah yang banyak terjadi hari ini, apa langkah terbaik yang harus dilakukan Polri?
Adian pun menganggap, seperti apa kondisi dan penilaian masyarakat terhadap Polri ke depannya sangat tergantung dari bagaimana Polri bersikap. Posisi Polri di bawah Presiden atau kementerian tidak akan berpengaruh apapun selama Polri tidak bisa membawa dirinya dengan baik.
“Tergantung polisinya. Rakyat akan menuntut apa tergantung bagaimana kepolisiannya bersikap, kemudian nanti ke situ rakyat akan bermuara,” kata Adian.
Adapun saran yang diberikan oleh Kompolnas adalah agar kita mendudukkan semua persoalan yang ada dengan jelas. Apakah kasus-kasus itu terkait dengan masalah personil Polri, atau justru Polri itu sendiri sebagai sebuah institusi.
“Di polisi ini ada polisi yg baik, ada yg buruk, terhadap anggota-anggota yang melakukan penyimpangan perlu ada penindakan-penindakan terkait dengan dugaan-dugaan pelanggaran yang ada,” ujar Gufron.
Dan yang terpenting adalah memastikan kontrol, pengawasan, juga akuntabilitas Polri bisa dijalankan dengan lebih optimal. Tidak perlu meributkan soal reposisi Polri.
Terakhir, Bambang Rukminto menyarankan agar ada perbaikan bahkan perubahan sistem di tubuh Polri. Perhatian pada soalan personal saja ia rasa tidak akan bisa cukup untuk memperbaiki kondisi Polri saat ini yang terkesan kerap berkasus.
“Kalau tidak ada perubahan sistem tetap saja seperti ini,” kata Bambang.
Leave a Reply