Oase Kesejukan Menteri Nasaruddin Umar

“Jangan memberikan apapun kepada Pak Menteri. Apapun yang bukan haknya, saya akan serahkan ke KPK,”

– Menteri Agama Nasaruddin Umar

Budiman Tanuredjo

Dalam pekan ini, paling tidak ada dua potongan video yang menarik perhatian saya. Video pertama adalah potongan video Menteri Agama Nasaruddin Umar. Video itu menyejukkan. Ia mengajak semua penyelenggara negara, khususnya Kementerian Agama untuk menghentikan praktik pemberian amplop kepada atasan.

Video kedua adalah potongan video dari Gus Miftah dalam sebuah acara di Magelang. Dalam video itu, Miftah Maulana Habiburahman—demikian nama aslinya — menertawakan penjual es teh dengan kata-kata merendahkan. Warganet bereaksi dan mengecam. Sekretaris Kabinet Mayor Teddy Indra Wijaya menegur Utusan Khusus Presiden untuk Urusan Kerukukan Beragama. Miftah pun kemudian meminta maaf atas candaannya dan menemui penjual es untuk meminta maaf.

Dalam pengamatan sepintas, dua video itu berbeda. Video pendek Nasaruddin mendapat pujian dari warganet. Meskipun video itu tidak terlalu viral. Nasaruddin mengajak kepada aparat Kementerian Agama untuk menghentikan budaya amplop. “Jangan memberikan kepada pimpinan yang bukan haknya. Kanwil pergi ke daerah. Cuma numpang lewat mendapatkan amplop. Janganlah memberatkan Kandep. Dan Kandep janganlah memberatkan Kantor Urusan Agama. Uang kita lebih banyak dari uang mereka.”

Pidato Nasaruddin ini semacam oase di tengah miskinnya keteladanan. Pendekatan moral dilakukan untuk menyentuh hati penyelenggara negara. “Jangan memberikan apapun kepada Pak Menteri. Apapun yang bukan haknya, saya akan serahkan ke KPK,” ucapnya. Potongan video Imam Besar Masjid Istiqlal itu saya unggah di Instagram saya karena pesannya penting. Responnya positif. Ahli hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Zaenal Arifin Muchtar berkomentar. “Setuju ini bagus banget. Dalam maknanya.” Seorang komentator lain bereaksi. “Sangat baik. Lebih baik lagi dituangkan dalam Surat Keputusan yang mengikat tidak sekadar mengimbau.”

Saya teringat pada apa yang terjadi pada Kapolri (1968-1971) Hoegeng Iman Santoso. Ketika Hoegeng menyelesaikan tugasnya sebagai Kapolri, ia pulang ke rumah dan berbicara dengan ibunya. Dalam percakapan itu, Hoegeng mengungkapkan bahwa ia telah menjalankan tugasnya dengan kejujuran, meskipun sering kali ia harus menghadapi berbagai tekanan dari pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi atau politik. Sang ibu, yang menjadi inspirasi utama dalam kehidupan Hoegeng, kemudian memberikan nasihat yang sederhana namun mendalam: “Selesaikan tugas dengan kejujuran, karena kita bisa makan dengan nasi garam.” Kalimat ini mencerminkan nilai hidup yang mengutamakan kesederhanaan dan integritas seseorang.

Nasaruddin Umar, Menteri Agama asal Bone, Sulawesi Selatan itu, menjadi oase di tengah keringnya mata air keteladanan. Pemberantasan korupsi memang membutuhkan keteladanan. Retorika Presiden Prabowo Subianto soal anti korupsi, harus terus digemakan. Nasarudddin telah memulainya. Semoga diikuti menteri-menteri lain yang memimpin partai seperti Zulkifli Hasan, Muhaimin Iskandar, Bahlil Lahadalia, Raja Juli Antoni atau yang tak memimpin partai seperti Airlangga Hartarto, Praktikno, Yusril Ihza Mahendra, dan menteri lainnya.

Tangkapan layar video saat Gus Miftah merendahkan pedagang es teh di acara yang diselenggarakan di Magelang.

Potongan video Miftah lebih banyak dibahas di dunia digital. Namun, isinya lebih banyak kecaman padanya. Sebagai utusan khusus Presiden bidang Kerukuman Beragama selayaknya menyampaikan pesan toleransi antara umat beragama karena kebebasan beragama masih menjadi masalah. Tapi kali ini kepleset malah mencela dan mentertawakan penjual es teh.

Padahal, jika mengutip sastrawan Pramoedya Ananta Toer, “Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena pengalamannya sendiri.” Penjual es yang dijadikan bahan candaan telah berupaya hidup dengan keringatnya sendiri.

Dalam video lainnya, Presiden Prabowo Subianto justru menghormati orang-orang kecil yang berjuang untuk menafkahi keluarganya dengan cara halal. “Saya menghormati tukang ojol, tukang penjual es. Mereka berjuang menghidupi keluarganya.” Demikian Presiden Prabowo Subianto.

Kabinet Merah Putih masih muda. Dilantik 20 Oktober 2024 kemudian mengikuti retret tiga hari di Magelang untuk menyamakan persepsi terhadap visi Presiden Prabowo. Dalam urusan korupsi, Presiden Prabowo begitu konsisten untuk mengenyahkan korupsi di negeri ini. Retorika untuk mengejar koruptor sampai ke Antarktika, peringatan kepada para menteri untuk tidak mengambil uang APBN, komitmen untuk membangun pemerintahan bersih, beberapa kali disampaikan Prabowo.

Baru, Menteri Agama Nasaruddin adalah salah seorang menteri yang menggemakan isu “perang melawan korupsi” kepada jajarannya dengan bahasa “hentikan budaya amplop di Kementerian Agama.” “Jangan memberikan apapun kepada atasan yang bukan haknya.”

Beberapa pernyataan pembantu Presiden Prabowo sedikit banyak akan memengaruhi persepsi publik pada kepemimpinan Prabowo yang belum menginjak seratus hari. Pidato Menteri Agama Nasaruddin memberi legitimasi semangat anti-korupsi Presiden Prabowo. Tinggal menunggu aksi konkret. Sementara candaan soal penjual es dari Utusan Khusus Presiden cenderung merendahkan orang-orang kecil yang justru mau diayomi oleh Presiden Prabowo.

Gejala demikian mengingatkan apa yang dikatakan Abraham Lincoln, Presiden ke-16 Amerika Serikat. “Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man’s character, give him power.” (Hampir semua orang dapat menghadapi kesulitan, tetapi jika Anda ingin menguji karakter seseorang, berilah dia kekuasaan.)

Seseorang mungkin tampak baik dan jujur dalam kondisi biasa atau saat menghadapi kesulitan, tetapi ketika diberi kekuasaan, karakter aslinya sering kali muncul. Ungkapan dalam bahasa “Honores mutant mores, sed raro in meliores” diterjemahkan sebagai “Kehormatan mengubah perilaku, tetapi jarang menjadi lebih baik.” Peribahasa ini mengandung makna bahwa memeroleh kehormatan atau kekuasaan sering kali mengubah karakter seseorang, namun perubahan tersebut jarang mengarah pada perbaikan moral atau etika. Dengan kata lain, kekuasaan cenderung memperburuk sifat seseorang daripada memperbaikinya.

Itulah karakter kekuasaan yang memabukkan yang bisa membuat orang lupa diri. ***


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *