“Ersatz Democracy”

Budiman Tanuredjo

Pada tahun 1988, Kunio Yoshihara, seorang ekonom menulis buku berjudul: “The Rise of Ersatz Capitalism in South-East Asia”. Dalam buku ini, Kunio memperkenalkan konsep “ersatz capitalism” atau “kapitalisme semu” untuk menggambarkan bentuk kapitalisme yang berkembang di Asia Tenggara.

Saya mencoba mencari kembali buku itu namun belum sempat saya temukan. Saat saya ngobrol di podcast saya, dengan mantan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat menyinggung soal “ersatz democrary” atau “pseudo-democracy.” Istilah pseudo-democracy ditulis dalam buku Theology of Hope. “Erzats-democracy” atau “pseudo-democracy” bisa diartikan sebagai “seolah-olah demokrasi” atau “demokrasi seolah-olah” atau “demokrasi semu”.

Menanggapi hasil pemilihan kepala daerah serentak 2024, Rabu 27 November 2024 malam, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri bersuara keras dan lantang bahwa demokrasi Indonesia terancam mati. Mungkin “ersatz democracy” atau “pseudo democracy” inilah yang dimaksud Megawati. Ada pilkada sebagai platform demokrasi prosedural. Namun, di beberapa wilayah, tiada kebebasan untuk memberikan pilihan.

Pernyataan Megawati ditanggapi beragam. Ada yang menganggap pernyataan Megawati sebagai reaksi dari pihak yang kalah atau dikalahkan. Pilkada serentak 2024 berlangsung tanpa gejolak apapun. Pilkada serentak tanpa gejolak berarti adalah sebuah fakta. Namun, bahwa demokrasi Indonesia sedang dalam masalah besar tentunya butuh mata batin untuk melihatnya secara jujur.

Dalam Economist Intelligence Unit (EIU), Indonesia berada di peringkat ke-56 dengan skor 6,53, turun dua tingkat dari tahun 2022 (skor 6,71). Pengukuran Indeks Demokrasi EIU meliputi lima dimensi, yakni proses pemilu dan pluralisme, keberfungsian pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil. Dengan skor tersebut, demokrasi Indonesia masuk dalam kategori cacat (flawed democracy).

Kondisi yang sama ditunjukkan Freedom House. Menurut Freedom House, nilai indeks demokrasi Indonesia turun dari 62 pada tahun 2019 menjadi 57 pada tahun 2024. Lembaga yang berbasis di AS tersebut mencatat sejumlah isu kunci, salah satunya terkait politik dinasti yang dilancarkan melalui “penyiasatan” demokrasi.

Jika mau ditelusuri sedikit jauh ke belakang sudah terjadi “pertarungan” antar lembaga negara, Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung, dan DPR bersama Pemerintah, untuk menyesuaikan aturan-aturan hukum melalui prosedur-prosedur demokrasi. “Rekayasa” aturan pertama dilakukan oleh MK. Sebagian besar hakim konstiusi terkondisikan untuk mengubah syarat pasal dan menambahkan norma baru pencalonan presiden dan wakil presiden untuk Pemilu Presiden 2024. Dan, operasi itu sukses meskipun memakan korban, Ketua MK Anwar Usman diturunkan sebagai Ketua MK. Namun, oleh PTUN Jakarta dipulihkan sebagai hakim konstitusi.

Operasi kedua dilakukan Mahkamah Agung. MA dikondisikan untuk mengubah Peraturan KPU agar bisa meloloskan seorang yang belum memenuhi syarat untuk ikut dalam pemilu kepala daerah atau pemilihan gubernur. Operasi itu buyar saat Mahkamah Konstitusi (MK) mengambil putusan fenomenal membatalkan ambang batas pencalonan kepala daerah sama dengan syarat pencalonan calon perseorangan, beberapa hari menjelang pendaftaran calon.

Badan Legislasi DPR bersama menteri-menteri Jokowi mencoba merevisi UU Pilkada untuk membatalkan putusan MK dan mengadopsikan putusan MA. Ketua Baleg waktu itu mengatakan: “Kita pilih putusan MA atau putusan MK.” Dan, Baleg memutuskan mengadopsi putusan MA. Operasi Baleg DPR itu gagal menyusul terjadi perlawanan kelas menengah di sejumlah kota melalui tagar “Peringatan Darurat”. Putusan Baleg gagal diparipurnakan karena protes massif kelas menengah di Jakarta, Yogyakarta, dan sejumlah kota lain.

Lanskap sosial-politik itulah yang menjadi latar pelaksanaan pilkada serentak 2024, 27 November 2024. KIM Plus menang besar dan menguasai sejumlah provinsi. Hanya Jakarta yang belum bisa ditaklukan KIM Plus. Pasangan Ridwal Kamil – Suswono yang di-endorse Presiden (2014-2024) Jokowi dan Presiden Prabobo Subianto belum berhasil merebut Jakarta. Kelompok kelas menengah kritis menjadi penopang wajah Jakarta. Pasangan Pramono Anung-Rano Karno mengklaim menang satu putaran dengan 50,07 persen. Namun, hasil resmi masih harus menunggu hasil rekapitulasi manual. Dan, pasangan Ridwan Kamil-Suswono masih berjuang untuk menjadi dua putaran.

Partisipasi politik Jakarta dalam ancaman. Tingkat partisipasi menurut prediksi quick count hanya sekitar 53-55 persen. Tingkat patisipasi politik terendah sepanjang sejarah pilkada di Jakarta. Bisa saja voters fatigue. Bisa saja ada sikap apatis dan masa bodoh karena arogansi partai politik. Itu alarm bagi demokrasi.

Jawa Tengah yang selama beberapa tahun dikuasai PDI Perjuangan harus lepas. Pasangan Ahmad Luthfi dan Gus Yasin yang di-endorse Jokowi dan Praboowo memenangkan kontestasi. Persaingan Banten juga mengejutkan. Airin Rachmi Diany yang sangat popular kalah telak dari pasangan Andra Soni-Dimyati Natakusumah. Jawa Timur dimenangkan Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak, Jawa Barat dikuasai Deddy Mulyadi.

Satu Meja The Forum edisi spesial Pilkada, 27 November 2024.

Pemungutan suara telah dilakukan. Namun kian santer terdengar, adanya pengerahan aparat kepolisian untuk memenangkan calon tertentu. Bahkan, politisi PDI Perjuangan Deddy Sitorus di acara Satu Meja menyebutkan, pilkada serentak ini dimenangkan oleh alat negara, melalui pejabat gubernur, pejabat bupati, ASN, polisi untuk sebagai kontestan ilegal. “Yang menjadi pemenang adalah Jenderal Sigit dan Jenderal Tito,” kata Deddy Sitorus.

Diskusus demokrasi terancam mati yang disampaikan Megawati memang layak didiskusikan. Demokrasi Indonesia yang transaksional bisa membahayakan masa depan negeri ini. Suara rakyat bisa dibeli dengan uang. Dan, pada akhirnya pemilik modallah yang akan menjadi pemenang dan pemilik Indonesia. Mantan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin dalam obrolan di podcast bersama saya mengatakan, politik uang sudah sampai ke penjara-penjara. “Para napi kini juga minta dibayar sesuai dengan harga pasar,” ujarnya.

Memilih karena uang, memilih karena perintah adalah penyimpangan dari prinsip demokrasi. Saya teringat pada apa yang ditulis Jean Jack Rousseau dalam “kitab suci” politik, “Kontrak Sosial (1762). Rosseau mengkritik demokrasi di Inggris. “The English people believe themselves to be free; they are greatly mistaken; they are free only during the election of members of parliament. As soon as they are elected, they are enslaved; they are nothing.”

Rousseau menyoroti bahwa kebebasan sejati tidak hanya berasal dari hak untuk memilih perwakilan, tetapi dari partisipasi langsung dalam pengambilan keputusan. Dalam demokrasi parlementer seperti di Inggris pada masanya, rakyat menyerahkan kekuasaan mereka kepada anggota parlemen setelah pemilu, yang menurutnya membuat mereka kehilangan kendali atas pemerintahan.

Rousseau membedakan antara kebebasan sejati (liberté réelle) dan kebebasan semu (liberté illusoire). Menurutnya, kebebasan sejati hanya dapat dicapai melalui kedaulatan rakyat yang aktif, di mana masyarakat secara kolektif membuat keputusan dalam volonté générale (kehendak umum). Dalam sistem perwakilan seperti di Inggris, kebebasan menjadi semu karena rakyat hanya memiliki suara dalam memilih wakil mereka, bukan dalam menentukan kebijakan.

Jika di Inggris, kebebasan sejati masih ada saat memilih lembaga perwakilan, di negeri ini, boleh jadi kondisinya lebih parah dari yang dibayangkan Rousseau. Di negeri ini, memilih didasarkan pada kekuatan uang atau arahan kepala desa di sejumlah wilayah. Jalan demokrasi negeri ini masih terjal karena elite politik yang menggerus nilai-nilai demokrasi.

Ilustrasi pseudo demokrasi. Image by Freepik.

Ciri-ciri Ersatz Democracy bisa dilihat dari berbagai variabel. Pertama, pemilu tidak bebas dan adil. Pemilu tetap dilakukan, tetapi sering kali diatur sedemikian rupa agar menguntungkan kelompok tertentu, misalnya melalui manipulasi, intimidasi, atau pembatasan terhadap oposisi. Kedua, adanya dominasi kekuasaan oleh elite. Kekuasaan biasanya terkonsentrasi di tangan elite tertentu, baik itu kelompok politik, ekonomi, atau militer, yang mengendalikan proses pengambilan keputusan.Ketiga, kelemahan Institusi demokrasi. Institusi seperti parlemen, pengadilan, atau media massa ada secara formal, tetapi tidak independen dan cenderung mengikuti arah kekuasaan. Keempat, hukum sering digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan, bukan sebagai sarana untuk menegakkan keadilan.

Bagaimana di Indonesia? Bisa didiskusikan dengan mata hati kejujuran.

Buku “How Democracy Die” oleh David Ziblat dan Steven Levitsky memberikan gambaran bagaimana demokrasi dibunuh secara perlahan oleh pemimpin yang naik melalui jalan demokrasi. Demokrasi kini ditantang oleh populisme. Bagaimana aparat pemerintahan diarahkan untuk mendukung calon kepala daerah tertentu yang didukung penguasa.

Sejumlah ilmuwan politik seperti Robert Dahl, Seymour Martin Lipset, Samuel Huntington, Larry Diamond mencoba memberikan rumusan atau ciri-ciri negara dengan demokrasi matang. Demokrasi yang matang adalah sistem politik di mana prinsip, nilai, dan mekanisme demokrasi tidak hanya diterapkan secara formal, tetapi juga telah berakar kuat dalam budaya politik masyarakat dan institusi negara. Demokrasi yang matang sering dicirikan oleh stabilitas politik, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dan keberlanjutan dalam mekanisme demokrasi. Ciri demokrasi matang antara lain, pemilu yang bbas, adil, dan kompetitif, dengan partisipasi luas, tidak ada kecurangan dan semua calon punya kesempatan yang sama. Ciri kedua, kelembagaan demokrasi yang kuat seperti Institusi seperti parlemen, pengadilan, dan komisi pemilu bekerja secara independen dan sesuai dengan fungsinya. Tidak ada dominasi kekuasaan oleh satu cabang pemerintahan atau individu tertentu (checks and balances), hukum berlaku sama untuk semua warga negara, termasuk penguasa serta sistem peradilan independen dan dipercaya oleh masyarakat. Ciri lain adanya kebebasan sipil yang Terjamin. Kebebasan berpendapat, berkumpul, beragama, dan pers dilindungi tanpa ancaman atau pembatasan. Media berfungsi sebagai pengawas kekuasaan (watchdog) dan menyuarakan kepentingan publik. Penegakan etika politik. Pemimpin politik menjunjung tinggi etika dan moralitas, menghindari korupsi, dan memprioritaskan kepentingan publik.

Beberapa negara yang sering dianggap memiliki demokrasi matang adalah: Norwegia, Swedia, Denmark. Negara-negara Nordik yang dikenal dengan stabilitas politik, kesejahteraan tinggi, dan institusi yang kuat. Bangsa ini tampaknya masih harus berjuang untuk mematangkan demokrasi di negeri ini. Karena, ada gejala-gejala, bangsa ini justru masuk dalam perangkap transisi demokrasi berkepanjangan (democratic transition trap). ***


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *