Demokrasi Kian Ugal-ugalan

Budiman Tanuredjo

Beberapa pesan WhatsApp masuk ke telepon genggam saya di akhir pekan. “Tekanan tambah kencang. Doakan kami, Pak!” Seorang calon gubernur mengirimkan pesan kepada saya.
Segala cara digunakan begitu massif, tulisnya lagi.

Netralitas aparat di sejumlah daerah menjelang Pemilihan Kepala Daerah, Rabu 27 November 2024 menjadi sorotan. Aparat penegak hukum dikeluhkan menjadi operator politik pemenangan calon pemilihan kepala daerah. Mereka dimanfaatkan untuk menekan kepala daerah untuk mengarahkan pilihan pada sosok yang dikehendaki.

Jelang Pilkada banyak orang resah dan gelisah. Praktik demokrasi jelang pilkada dipraktikkan secara ugal-ugalan. Mahkamah Konstitusi (MK) mencoba berbuat sesuatu untuk menolong situasi sosial politik yang hampir berjalan tanpa nilai. Dalam putusan yang dibacakan di Gedung MK, Kamis 14 November 2024, mengatur norma baru terkait masuknya frasa anggota TNI/Polri yang dilarang terlibat dalam politik praktis di pilkada.

Dalam pasal itu ditetapkan aturan pidana yang mengatur hukuman bagi pelanggarnya dengan kurungan paling lama 6 bulan maupun denda yang nominalnya paling banyak Rp6 juta.

“Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat Aparatur Sipil Negara, anggota TNI/POLRI, dan Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah),” kata Suhartoyo.

Penambahan frasa TNI/Polri oleh MK menyampaikan sebuah pesan bahwa sangat mungkin terjadi TNI/Polri berbuat tidak netral dalam pilkada. Kata netralitas memang banyak ditemukan dalam poster-poster, spanduk-spanduk, jelang pilkada. Namun masalahnya, tidak ada lembaga yang menegakkannya. Putusan MK hanyalah kertas. Kultur elite bangsa ini kerap direspons secara sinis, seperti sign kiri tapi belok kanan. Hampir tak ada walk the talk. Kemunafikan yang ditengarai Mochtar Lubis 1970-an masih kuat berakar.

Sahabat saya, pemikir kebhinekaan Sukidi Mulyadi PhD beberapa kali mengatakan kerusakan bangsa ini sudah demikian parah. “Prinsip negara hukum sebagai intangible asset telah dirusak dengan segala cara,” ujarnya dalam diskusi buku Theology of Hope di Kantor Nasdem beberapa waktu lalu. Hilangnya keteladanan pemimpin membuat bangsa berada di simpang jalan: negara hukum atau negara kekuasaan.

Berbagai aturan, putusan Mahkamah Konstitusi, undang-undang atau surat edaran diterobos. Ketika aturan hukum saja diterobos, apalagi yang tidak diatur secara formal. Landasan etik, kepantasan, fatsun, moralitas, netralitas hanya ada di buku teks atau di kelas-kelas filsafat. Namun, dalam praktik semua ditabrak demi mempertontonkan: siapa lebih kuat, saya atau mereka?

Komaruddin Hidayat dalam Back to BDM.

Komaruddin Hidayat dalam obrolan dengan saya di kanal Youtube, menyebut demokrasi ini di negeri ini adalah pseudo demokrasi. Demokrasi seolah-olah. Seolah-olah demokratis, padahal perilaku politiknya sangat jauh dari nilai demokrasi. Demokrasi sulit tumbuh di negeri di tengah kuatnya budaya feodal. Rekan saya menyebut: demokrasi ugal-ugalan.

Seorang jurnalis senior misalnya dalam percakapan di Grup WhatsApp menceritakan bagaimana ugal-ugalannya demokrasi dipraktikkan di negeri ini. Ia menyebut seorang komisaris BUMN bisa leluasa ikut dalam panggung kampanye pemilihan gubernur. Sang komisaris membawa calon gubernur ke pelbagai kelompok masyarakat dan ikut menjadi saksi dan menandatangani kontrak politik. Padahal, pada dirinya melekat jabatan komisaris BUMN. Padahal, UU BUMN jelas-jelas melarang seorang komisaris BUMN dilarang untuk ikut kampanye: pemilu presiden maupun kepala daerah. Tapi, semuanya dibiarkan. Itulah praktik menormalisasi penyimpangan.

Padahal, jelang pemilu Presiden, kepatuhan itu telah ditunjukkan oleh Basuki Tjahaja Purnama yang mundur sebagai Komisaris Pertamina dan Abdee yang mundur sebagai Komisaris Telkom. Langkah itu adalah bentuk ketataan pada aturan, etik dan kepatutan. Namun, pada masa pilkada, hampir tak ada yang mengawasi. Hampir tak ada yang memperingatkan. Badan Pengawas Pemilu pun menjadi badan seakan-akan. Pers pun sibuk dengan urusan domestiknya sendiri.

Saya sejenak retret dari rutinitas keseharian dan memasuki perziarahan baru untuk kembali menekuni buku teks klasik maupun kontemporer. Keluar masuk kampus untuk menangkap suasana kebatinan kampus yang sebenarnya gundah gulana. Namun, mereka juga tidak tahu harus berbuat apa.

Di perpustakaan kampus, saya menemukan buku “Democratic Civilization” yang ditulis Leslie Lipson. Dalam salah satu bagian buku tersebut, Lipson menulis bahwa politik ibaratnya adalah “pertempuran.” Adu gagasan, adu ide untuk memperbaiki negeri. Namun, “pertempuran” melalui jalan demokrasi, dijinakkan agar berjalan sesuai aturan. Sesuai konstitusi. Sesuai undang-undang. Bukan asal tabrak.

Memang ada sedikit adu gagasan dalam persaingan pilkada. Namun banyak pula “sampah politik kampungan” dalam panggung kampanye. Mengekploitasi sentimen personal atau menjadikan status individu sebagai obyek menarik simpati elektoral. Namun pertanyaannya: siapa yang mengoreksi itu semua? Komnas Perempuan diam saja ketika status janda diangkat di panggung kampanye secara serampangan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pun sibuk dengan urusannya sendiri.

“Itulah cermin pemimpin kita,” ujar rekan saya.

Bangsa ini sedang defisit negarawan. Tapi surplus politisi pemburu kekuasaan. Kekuasaan untuk golongannya, kekuasaan untuk kelompoknya, ataupun kekuasaan untuk keluarganya. Situasi itu jauh dari apa yang dikatakan James Clarke. “Seorang politisi berpikir tentang pemilihan dan kekuasaan ketika seorang negarawan berpikir tentang masa depan sebuah bangsa.”

Namun bangsa ini patut berbangga dengan kiprah anak bangsa: Retno Marsudi. Menteri luar negeri dua periode (2014-2024) setelah pensiun dari jabatan Menteri Luar Negeri diangkat sebagai Utusan Khusus Sekjen PBB Urusan Air. Menyusul kemudian Retno, diangkat menjadi direktur non-eksekutif di perusahaan energi Singapura, Gurin Energy. Dalam pernyataannya, Gurin mengatakan bahwa sebagai direktur non-eksekutif yang independen, Retno akan memberikan arahan strategis kepada tim manajemen Gurin Energy dan berkontribusi pada kekokohan dan efektivitas tata kelola perusahaan. “Penunjukan Ibu Marsudi mengikuti kariernya yang sangat terhormat di bidang layanan luar negeri Indonesia yang telah berlangsung selama empat dekade, di mana ia merintis jalan sebagai Menteri Luar Negeri perempuan pertama Indonesia di Kabinet mantan Presiden Joko Widodo,” tulis perusahaan itu dalam keterangan resminya.

Kiprah itu membanggakan.

Jumat pagi saya ngobrol dengan Retno di kawasan SCBD. Dia datang seorang diri. Berjalan kaki. Tanpa ajudan. Ia membayar sendiri kopi. Ia tak bercerita soal posisi barunya sebagai Direktur di Perusahaan Singapura. “Nggak ada yang Istimewa, Mas. Aku mencoba pensiun dengan baik dengan caraku,” tulisnya melalui WhatsApp.

Presiden Prabowo Subianto di KTT G-20 2024. Foto: Instagram/ Presiden Republik Indonesia.

Situasi terasa begitu pengab. Beban rakyat bertambah karena PPN menjadi naik menjadi 12 persen tahun depan. Sementara di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20, Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan bahwa kelaparan dan kemiskinan adalah masalah nyata bagi Indonesia. “Kelaparan dan kemiskinan merupakan masalah nyata bagi kami setiap hari. Kami masih memiliki persentase yang cukup besar dari orang-orang yang berada di bawah garis kemiskinan. Kami juga memiliki 25 persen anak-anak kami yang kelaparan setiap hari,” kata Prabowo, dikutip dari YouTube Sekretariat Presiden.

Di tengah situasi pengab dan “Republic of Fear”, wawancara Hasto Kristianto dan Conny Rahakundini Bakrie di Podcast Akbar Faizal menjadi relevan. Hasto sebagaimana disampaikan dalam podcast tersebut sudah sangat siap dengan risiko yang bakal dihadapinya, termasuk menjadi tersangka dan ditahan. Situasi sekarang ini memang harus dikoreksi, agar negara ini kembali ke rel konstitusi sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan, agar masalah kelaparan yang dipidatokan Presiden Prabowo di KTT bisa segera diatasi, agar beking-bekingan dalam urusan tambang dan judi online sebagaimana diceritakan Hasto bisa diakhiri. ***


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *