“Sandyakalaning” KPK

Budiman Tanuredjo, Jurnalis

Untuk pertama kalinya dalam sejarah Pimpinan KPK, Pimpinan KPK (2024-2029) dikuasai aparat penegak hukum yakni polisi, jaksa, hakim, dan auditor. Tidak ada representasi masyarakat sipil dalam Pimpinan KPK kali ini. Padahal dalam sejarah KPK, selalu muncul representasi unsur masyarakat sipil, seperti Erry Riyana Hardjapamekas (periode 1), Busyro Muqodas dan Chandra Hamzah (periode 2), Abraham Samad dan Bambang Widjojanto (periode 3), Laode Mohamamd Syarief (periode 4), lalu Lili Pintauli Siregar dan Nurul Gufron (periode 5).

Dalam periode 2024-2029, Komisi III DPR Kamis 20 November 2024, memilih Komisaris Jenderal (Pol/Purn) Setyo Budianto sebagai Ketua KPK (2024-2029) dengan Wakil Ketua Fitroh Rohcahyanto (jaksa), Johannes Tanak (jaksa/wakil ketua KPK), Agus Djoko Pramono (BPK), dan Ibnu Basuki Widodo (hakim). Beberapa capim dari masyarakat tersingkir, seperti Alamsyah Saragih, Poengki Indarti, dan Idha Budhiati tidak mendapat dukungan cukup dari anggota Komisi III DPR.

Bahkan dua capim KPK Johannes Tanak dan Fitroh Rohcayanto mendapat suara penuh dari anggota Komisi III DPR. Keduanya mendapat 48 suara. Tanak masuk ke Pimpinan KPK menggantikan Lili Pintauli Siregar yang mengundurkan diri. Nama Tanak menonjol saat dia meminta maaf kepada Pimpinan TNI dan mengambinghitamkan anak buahnya di KPK, saat KPK menangani dugaan korupsi di Basarnas.

Saat menjalani uji kelayakan di Komisi III DPR, Tanak pun mengatakan, akan menghentikan operasi tangkap tangan oleh KPK. Pernyataan Tanak itu mendapat tepuk tangan anggota Komisi III DPR. Tanak pun mendapat dukungan penuh dari 48 anggota Komisi III DPR. Bahkan, suara yang diperoleh Tanak sebagai Pimpinan KPK melebihi suara dari yang didapat Setyo Budianto yang mendapatkan 45 suara.

Tantangan bagi Pimpinan KPK baru sungguh tidak mudah. Selain mengembalikan kepercayaan publik pada KPK dan meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang terperosok pada skor 34, Pimpinan KPK juga dihadapkan pada tantangan struktural kelembagaan dan lanskap politik yang sangat berbeda.

Jon ST Quah (2011) dalam buku Curbing Corruption in Asian Countries: An Impossible Dream? telah meneliti praktik dan strategi pemberantasan korupsi di Asia. Sepuluh negara menjadi obyek penelian Quah adalah Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Mongolia, Filipina, Singapura, Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand. Dari penelitian yang dilakukannya, Quah menyimpulkan tiga kunci keberhasilan agenda pemberantasan korupsi.

Pertama, kemauan dan kepemimpinan politik. Kedua, adanya badan antikorupsi indendepen. Dan ketiga hukuman yang tegas terhadap pelaku korupsi. Tiga faktor itulah yang akan menentukan keberhasilan pemerintah memberantas korupsi atau sebaliknya gagal memberantas korupsi.

Soal kepemimpinan politik dalam pemberantasan korupsi juga ditegaskan Michael Johnston (2013). Pemberantasan korupsi adalah perlawanan terhadap pemegang kekuasaan yang korup dan tidak akuntabel. Akuntabilitas dan transparansi bukan pemberian gratis seorang penguasa yang baik. Tetapi hasil dari perlawanan tiada henti terhadap kekuasaan. Kepemimpinan politik menjadi satu faktor penting dalam agenda reformasi tata kelola dan pemberantasan korupsi.

Presiden terpilih Prabowo Subianto, janji kejar koruptor sampai Antartika.

Transisi kekuasaan dari Presiden Jokowi ke Presiden Prabowo Subianto memberikan harapan baru. Retorika Presiden Prabowo memberi angin segar soal agenda pemberantasan korupsi. Pernyataan Presiden Prabowo akan mengejar koruptor sampai ke Antartika, peringatan kepada menteri Kabinet Merah Putih untuk tidak mengambil uang APBN, dan mempersilakan anggota Kabinet untuk minggir jika tidak sejalan dengan tekad Presiden Prabowo menciptakan pemerintah yang bersih, harus bisa dibaca sebagai komitmen serius dari Presiden Prabowo.

Konsistensi retorika Prabowo dengan dukungan kekuatan politik mayoritas di DPR seharusnya tidak memunculkan gangguan politik. Masalahnya adalah bagaimana retorika politik Presiden Prabowo itu ditransformasikan menjadi tindakan politik sesuai dengan kewenangannya. Karena retorika saja belum mencukupi untuk memberantas korupsi. Tidak masuknya RUU Perampasan Aset dalam Program Legislasi Nasional 2025 menyampaikan pesan bahwa jalan pemberantasan korupsi tidak mudah. Selalu akan ada hambatan. Gagalnya RUU Perampasan Aset masuk dalam Prolegnas memberikan pesan bahwa hukum adalah untuk kepentingan yang berkuasa bukan untuk masyarakat. Ini tantangan pertama dari Presiden Prabowo Subianto.

Seperti dikatakan Quah, negara seperti Singapura dan Hong Kong menggunakan satu lembaga anti-korupsi yang independen dan kuat untuk mengatasi korupsi. Pendekatan ini lebih efektif karena fokus dan koordinasi akan lebih baik. Inilah model lembaga tunggal yang direkomendasikan Quah. Jalan ini pernah dilalui Indonesia saat KPK diberikan otoritas sebagai dirigen pemberantasan korupsi di Tanah Air. Namun agresivitas KPK dalam memberantas korupsi memicu resistensi dari elite politik di Senayan.

Serangan politik politisi Senayan terhadap KPK bisa dibendung pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun serangan politik DPR itu tak bisa dibendung Presiden Jokowi pada akhir periode pertama pemerintahannya tahun 2019. Presiden Jokowi menyetujui revisi UU KPK dan menjadikan KPK tidak lagi lembaga independen dan berada di bawah kekuasaan eksekutif. Sejak saat itu pulalah, IPK Indonesia yang pernah mencapai skor 40 anjlok kembali ke skor 34.

Revisi UU KPK telah membuat KPK kehilangan independensinya. Menurut Quah, Indonesia memasuki model pemberantasan korupsi multi lembaga. Seperti Filipina memiliki beberapa lembaga anti-korupsi. Namun, koordinasi yang buruk dan tumpang tindih fungsi sering mengurangi efektivitasnya. Model ketiga, menurut Quah, adalah Model Tanpa Lembaga Khusus. Beberapa negara bergantung pada lembaga penegak hukum umum, seperti polisi atau kejaksaan. Model ini kurang efektif karena lembaga tersebut sering terjebak dalam korupsi itu sendiri.

Indonesia kini memasuki pemberantasan korupsi multi lembaga. Kejaksaan dan Kepolisian mendapat angin politik untuk melakukan pemberantasan korupsi. Sejumlah kasus besar dibongkar Kejaksaan Agung setelah beberapa kasus diumpan oleh anggota kabinet, seperti proram bersih-bersih di BUMN yang menjerat sejumlah petinggi BUMN dan korporasi besar, seperti Jiwasraya dan Asabri.

Pada masa akhir kepresidenannya, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden No 122/2024 tentang Pembentukan Korps Tindak Pidana Korupsi di Mabes Polri yang dipimpin seorang Inspektur Jenderal Cahyono Wibowo sebagai Kepala Korps Tipikor Mabes Polri. Cahyono pernah menjadi penyidik di KPK. Korps Tindak Pidana Korupsi Mabes Polri itu punya tugas membina dan menyelenggarakan pencegahan, penyelidikan dan penyidikan dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana korupsi serta melaksanakan penelusuran dan pengamanan aset dari tindak pidana korupsi.

Bangsa ini memasuki era dualisme atau trialisme dalam pemberantasan korupsi. Ada KPK, ada kepolisian, dan ada Kejaksaan Agung. Kewenangan yang dimiliki Korps Tindak Pidana Korupsi Mabes Polri sama dengan kewenangan KPK untuk mendidik, mencegah, menyelidiki, memberantas termasuk pidana pencucian uang dan mengamankan asset hasil korupsi. Dengan memasuki strategi baru, multilembaga siapa yang akan menjadi “jenderal” yang akan memimpin perang melawan korupsi. Apakah Jaksa Agung, apakah Kapolri, apakah Ketua KPK? Sebaiknya, Presiden Prabowo sendiri menjadi “jenderal” pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi yang betul-betul lugas dan tidak mengenal bendera politik. Janganlah agenda pemberantasan korupsi dijadikan alat sandera politik.

Dengan perubahan latar sosial-politik kelembagaan, KPK justru dalam posisi yang lemah. Selain karena kecelakaan sejarah dalam merekrut Pimpinan KPK yang tidak menghiraukan masukan publik, dan kecelakaan sejarah revisi UU KPK yang hanya bertumpu kepentingan oligark, sebagian SDM KPK adalah SDM “pinjaman”. Sebagian penyidik KPK adalah pinjaman dari Polri, sebagian jaksa KPK adalah pinjaman dari kejaksaan. Publik kerap mendengar hubungan tidak sehat antar-lembaga hukum. Mengembalikan pegawai atau menarik pegawai pegawai KPK ke Polri dan Kejaksaan Agung adalah ciri hubungan tidak sehat. Hubungan antar-lembaga penegak hukum kerap dihinggapi situasi saling sandera, sebuah persaingan tidak sehat yang justru menguntungkan koruptor.

Faktor lain yang diajukan Quah adalah beratnya hukuman pada koruptor. Melihat tren yang ada justru terjadi pelemahan terhadap perang melawan korupsi. Hukuman yang dijatuhkan hakim untuk kasus korupsi justru kian melemah. Praktik “justice buying” terjadi di kekuasaan kehakiman sebagaimana bisa dilihat dari Kasus Zarof Rizar, bekas pejabat di Mahkamah Agung yang bisa mengumpulkan uang Rp1 triliun dan 51 kg emas di rumahnya. Ada hakim agung Gazalba Saleh, Hakim Agung Sudrajat Dimyati, dan bekas Sekjen MA Nurhadi dan Hasbi Hasan. Masalah jual beli perkara dalam kasus Zarof Ricar adalah pintu masuk untuk melakukan Reformasi II di kekuasaan kehakiman. Namun, prakarsa untuk itu sangat minimal. Padahal, reformasi di kekuasaan kehakiman sangat dibutuhkan untuk memperkuat pemberantasan korupsi.

Perubahan lanskap politik kelembagaan akan menjadi tantangan tersendiri bagi Ketua KPK terpilih Setyo Budianto. Namun, Pimpinan KPK tidak akan bisa berbuat apa-apa tanpa dukungan politik dari Presiden dan dukungan dari publik. Dukungan publik telah begitu lemah karena perilaku pimpinan KPK sendiri dan juga tiadanya contoh dari pemimpin tertinggi.

Ilustrasi penanganan korupsi. Designed by Freepik.

Situasi yang dihadapi KPK saat ini, mirip dengan sejarah pemberantasan korupsi pada awal reformasi. Ada Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) di era Presiden Megawati Soekarnoputri yang kemudian dilebur secara politik ke dalam KPK. Ada Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi di era Presiden Abdurrahman Wahid. TGPTK yang dipimpin mantan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto “dibunuh” oleh Mahkamah Agung melalui uji materi. Sejarah mengajarkan bahwa telah terjadi banalisasi korupsi melalui jalan kanibalisasi badan antikorupsi.

Pengulangan sejarah tentunya sangat tidak diharapkan. Bangsa ini sedang memasuki “transition democratic trap” atau transisi demokrasi berkepanjangan dan mengarah pada personalized government. Bahkan, melihat tren yang ada bangsa ini tampaknya mengarah pada “democratic rent-seeking” sebagaimana dikatakan Mancur Olson. Rent-seeking demokrasi adalah pembajakan demokrasi oleh kelompok kecil untuk mengekploitasi alam untuk kepentingan kelompok kecil tertentu. Transisi demokrasi berkepanjangan jangan sampai ditambah dengan “continuing corruption” yang akan kian memiskinkan negeri ini.

Namun harapan tetap harus dinyalakan. Ada 4M (man, momentum, money, dan media) akan menjadi kunci. Man atau manusia. Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menunjukkan konsistensi retorika yang memberikan harapan. Retorika harus dilengkapi dengan apa yang dikatakan Presiden Prabowo sendiri, anggota Kabinet yang tidak sejalan dengan pembentukan Pemerintahan Bersih silakan minggir. Tidak mungkin membersihkan lantai kotor dengan sapu yang kotor. Melacak jauh makna korupsi berasal dari bahasa Latin. Corruptio (kata benda) yang berarti merusak, membuat busuk. Corrumpere (kata kerja) berarti membuat rusak, membuat busuk. Corruptor (pelaku): perusak atau pembusuk. Jadi, corrumpere atau membusukkan, bukan hanya sekadar merugikan dan keuangan negara dan menguntungkan orang lain. Koruptor adalah pembusuk segala lini kehidupan yang dilakukan melalui tindak yang jauh dari nilai-nilai etika dan moral.

Pimpinan KPK yang baru, Presiden yang baru adalah momentum untuk menggelorakan kembali perang melawan pembusuk negeri. Negeri ini tidak boleh kalah dengan para pembusuk negeri yang menghalalkan segala cara untuk menggapai tujuan politiknya. Dukungan money dan media bukanlah hal sulit dan bisa diupayakan oleh Presiden Prabowo.

Kombinasi semua faktor itu akan menentukan arah KPK ke depan. Apakah akan mengarah pada sandyakalaning KPK atau KPK bertahan namun hanya sebagai ornamen atau penghias wajah kekuasaan dan pseudo-demokrasi Indonesia? Presiden Prabowo akan menentukan nasib KPK ke depan. ***


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *