“Saya punya impian dan keyakinan kalau organisasi advokat benar, saya bayangkan peradilan kita bisa benar,”
– Saor Siagian, Advokat
Dalam upaya menegakkan hukum, peran sejumlah pihak begitu dibutuhkan dan akan menentukan bagaimana hasil dari sebuah perkara. Peran-peran itu misalnya mulai dari polisi, hakim, jaksa, hingga advokat atau pengacara.
Meski masing-masing memiliki peran dan kewenangan yang berbeda-beda, namun pada akhirnya mereka akan bekerja demi tujuan yang satu, tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Untuk itu, semua pihak semestinya dapat bekerja secara profesional dan tidak melakukan praktik yang menyimpang jika tidak ingin merusak dunia peradilan di Indonesia.
Advokat senior Saor Siagian menyebut kelompok advokat atau pengacara menjadi salah satu faktor penentu baik atau buruknya praktik peradilan di Indonesia. Hal itu ia sampaikan kepada Budiman Tanuredjo saat menjadi narasumber untuk podcast Back to BDM.
“Saya punya impian dan keyakinan kalau organisasi advokat benar, saya bayangkan peradilan kita bisa benar,” kata Saor yang merupakan inisiator Tim Advokat Penegak Hukum dan Keadilan (Tampak).
Ia berkaca pada kasus Lisa Rachma, pengacara Ronald Tannur yang ditetapkan sebagai salah satu tersangka pelaku suap terhadap 3 hakim PN Surabaya yang membuahkan vonis bebas bagi kliennya.
Saor melihat, Lisa sebagai pengacara adalah pihak yang ditengarai paling aktif melakukan upaya atau lobi-lobi demi menyelamatkan kliennya dari jerat hukum.
“Kasus Lisa, kita lihat yang aktif kan dia ketemu dengan keluarganya di rumah dari ibunya Ronald. Pertanyaannya, sebelum terjadi suap-menyuap, siapa yang bermain pertama? Kita harus jujurlah, berarti yang aktif itu adalah lawyer. Ini kita harus (akui), karena kita lihat dari bukti-bukti yang diberikan oleh Jaksa kemudian waktu kronologis itu dia juga mengontak ZR,” Saor memaparkan.
Pria 62 tahun itu menceritakan pengalamannya selama ini sebagai seorang advokat, ajakan atau tawaran untuk terlibat dalam hal suap-menyuap adalah hal yang sudah lama ada. Ini bukan hal baru. Ia pun memiliki pengalaman terkait hal itu saat diajak teman untuk menangani sebuah perkara pembobolan bank.
“Saya bilang saya profesional ya. Maksud saya seperti tukang becak, sudah janji sekian untuk narik ke sana, sudah, berhenti di sana tidak lebih dari itu. Mungkin bagi dia itu satu yang klise,” kisah dia.
Satu pagi di bandara, ia diminta sang teman untuk memberikan sejumlah uang kepada jaksa, masih terkait kasus pembobolan bank tadi, namun Saor menolaknya. Di waktu yang lain, saat tiba di sebuah kompleks jaksa, teman yang sama kembali meminta Saor untuk memberikan uang kepada jaksa.
“Saya bilang sama dia, teman saya advokat, saya tendang kamu kalau masih berani ngomong seperti itu. Ketika kami di hotel saya bilang sama dia, saya ini bukan langsung jadi advokat, sampai sekarang saya masih mengajar. Waktu saya ngajar saya masih bisa cicil-cicil rumah, anak saya bisa saya sekolahkan, tapi saya berjanji ketika saya jadi advokat enggak akan melakukan seperti itu,” jelas Saor pada temannya yang kembali memintanya memberi uang suap kepada jaksa.
Saor melihat uang bayaran sebagai pengacara sebenerarnya terbilang kecil, yang besar adalah uang-uang pengurusan atau pelicinnya. Meski fee yang didapat kecil, namun pengacara biasanya meminta uang “pengurusan”. Dari sinilah para advokat nakal mendapatkan uang tambahan.
“Misalnya diminta (pada klien) 10, padahal mungkin dikasihnya (pada jaksa) 3, yang 7 itu mereka makan. Inilah yang sering para litigation lawyer itu mendapatkan uang lebih banyak,” sebut Saor.
Ia prihatin dengan fakta di lingkungan advokat ini. Ia meyakini, jika tidak ada advokat yang melakukan upaya suap, meminta uang pengurusan, dan sebagainya, maka jaksa dan hakim juga sama. Sayangnya, Saor melihat struktur berpikir para advokat sudah rusak. Mereka akan kalah dalam sebuah perkara jika tidak melakukan suap.
“Inilah kemudian menjadi belief system dalam otak kita yang kita pelihara dan kita wariskan,” ujarnya.
Di kesempatan yang lain, Saor pernah diminta untuk menjadi saksi a de charge (saksi meringankan yang diajukan terdakwa) untuk Roy Rening, pengacara Lukas Enembe. Saat itu, Roy Rening didampingi oleh pengacara senior OC Kaligis.
Saor pun menyatakan mau menjadi saksi a de charge, dengan syarat tidak ada OC Kaligis di ruang persidangan yang sama. OC Kaligis adalah mantan terpidana korupsi suap. Menurut UU Advokat semestinya yang bersangkutan sudah tidak berhak untuk menangani perkara. Namun, organisasi advokat diam saja sehingga OC Kaligis pun tetap bisa berpraktik.
“Saya tidak ada kebencian kepada beliau. Coba bayangkan, demi hukum dia harus dipecat tapi karena organisasi tidak berfungsi barangkali dia akan menjadi pemain hebat, karena tidak ada sanksi. Itu menurut saya yang paling kacau,” ujar Saor.
Ia berharap teman-teman sesama advokat untuk menghindari upaya-upaya suap untuk memenangkan suatu perkara di pengadilan. Baginya, hal semacam itu bisa menyebabkan kerusakan hukum yang ujungnya adalah menuntun negara menjadi sebuah negara gagal (fail state).
“Sekarang kita berharap kepada teman-teman, saya enggak ada benci kepada teman-teman saya, tetapi kita ini bisa menjadi sumber (penyebab) negara gagal, sumber masalah di bangsa ini, kalau kita sudah merusak bangsa. Kalau kita benar, bukan tidak mungkin peradilan kita benar,” tegas Saor.
Leave a Reply