Budiman Tanuredjo
Narasi antikorupsi yang dibangun Presiden Prabowo Subianto memang luar biasa. Di depan pengusaha The United State-Indonesia Society (Usindo) Amerika Serikat, Presiden Prabowo mengatakan, korupsi adalah kanker ekonomi. Pernyataan Presiden Prabowo itu dikutip dari Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Rosan Roeslani. Harian Kompas, 13 November 2024, menempatkan pernyataan Presiden Prabowo sebagai berita utama.
Sebelumnya, Presiden Prabowo juga pernah menegaskan komitmennya untuk mengejar koruptor sampai ke Antartika dengan pasukan khusus. Ia juga memeringatkan para pembantunya untuk tidak mengambil dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena Presiden Prabowo ingin membangun sebuah pemerintahan yang bersih. “Yang tidak mau silakan minggir,” kata Prabowo.
Konsistensi dalam membangun retorika anti-korupsi haruslah dimaknai sebagai komitmen Presiden Prabowo melaksanakan pesan ayahandanya, Sumitro Djojohadikusumo yang pernah mengatakan, kebocoran dana pembangunan mencapai 30 persen. (Kompas, 23 November 1993).
Problem korupsi adalah problem politik. Pemberantasan korupsi sangatlah tergantung pada komitmen tertinggi pemimpin negeri ini. Mantan Wakil Ketua KPK Amien Sunaryadi dalam obrolan podcast dengan saya mengatakan, pemberantasan korupsi haruslah berawal dari pucuk pimpinan tertinggi. Dan, Presiden Prabowo telah memulai secara konsisten membangun retorika negeri yang anti-korupsi.
Publik pun berharap agar anggota Kabinet Merah Putih juga menunjukkan komitmen antikorupsi yang sama dengan Presiden Prabowo. Publik ingin mendengarkan teriakan dari menteri-menteri Prabowo, Jaksa Agung ST Burhannudddin, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Budi Gunawan, Tito Karnavian, Zulkifli Hasan, Muhaimin Iskandar, Airlangga Hartarto, Sulaiman Andi Atgas, Budi Gunadi Sadikin, Bahlil Lahadalia, Syaifullah Yusuf, Bima Arya – sekadar menyebut nama menteri – sama-sama berteriak anti-korupsi. Gema retorika antikorupsi yang terus berulang diyakini bisa kian meyakinkan publik bahwa narasi anti-korupsi Kabinet Merah Putih adalah serius.
Di warung-warung kopi, kampanye antikorupsi mulai bisa dirasakan ada geregetnya. Mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong tiba-tiba diperiksa dan ditahan Kejaksaan Agung atas tuduhan korupsi impor gula. Publik belum tahu apakah langkah Kejaksaan menjerat Tom karena telah menangkap pesan anti korupsi Presiden Prabowo atau Kejaksaan Agung sekadar ingin menunjukkan kerjanya.
Jaksa Agung ST Burhanuddin diangkat oleh Presiden Jokowi. Saat kekuasaan berganti ke Presiden Prabowo Subianto, Burhanuddin kembali diangkat sebagai Jaksa Agung oleh Presiden Prabowo Subianto. Pola serupa juga terjadi pada Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto.
Apapun langkah Kejaksaan Agung menjerat Tom Lembong patut didukung. Namun wajar juga jika publik bersoal, kenapa Tom Lembong saja? Sesuai dengan data yang beredar di media sosial, menteri perdagangan lain, seperti Zulkifli Hasan, Enggartiasto Lukito, Rahmad Gobel, Agus Suparmanto, dan Muhammad Lutfie juga melakukan impor gula. Rasionalitas publik bertanya: mengapa hanya Tom Lembong?
“Kasus Tom Lembong tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba dinyatakan tersangka. Tentu memunculkan persepsi di publik apakah kasus ini murni penegakan hukum? Atau jangan-jangan kasus ini orderan? Pesanan? karena yang kita takutkan adalah muncul persepsi di publik bahwa penegakan hukum ini selalu tendensius,” kata Anggota Komisi III DPR, Rudianto Lallo dari Partai Nasdem (Sulawesi Selatan I) dalam rapat Komisi III DPR, Rabu (13/11/2024).
Anggota Komisi III DPR Partai Gerindra Muhammad Rahul (Riau I) menilai, Kejagung terkesan terlalu buru-buru dalam menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula pada periode 2015-2023. “Harus dijelaskan dengan detail konstruksi hukum kasus dugaan tindak pidana korupsi tersebut. Pak Jaksa Agung jangan sampai kasus ini menggiring opini yang negatif kepada publik dan beranggapan bahwa pemerintahan bapak presiden Prabowo Subianto menggunakan hukum sebagai alat politik,” ucap dia.
Kritikan keras anggota Komisi III DPR itu dijawab Jaksa Agung ST Burhanuddin. “Untuk kasus Tom Lembong sama sekali kami tidak pernah ada maksud soal politik. Kami hanya yuridis dan itu yang kami punya,” tutur Burhanuddin.
Publik yang kian tercerahkan dengan beragam informasi terus saja bertanya dan mencari tahu duduk soalnya. Karena dalam konstitusi terterakan prinsip kesamaan di depan hukum. Penegakan hukum tanpa mendengarkan rasa keadilan publik, seperti terjadi pada kasus Tom Lembong, jika tak dikelola dengan baik, bisa kontraproduktif bagi kampanye antikorupsi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Jangan sampai, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, dilekati atribusi “menggunakan hukum untuk kepentingan politik”. Saya mengutip esai, Sukidi di Harian Kompas, 23 Juni 2024, Hukum sebagai Senjata Politik. “… Praktik penegakan hukum yang dipersenjatai dengan kepentingan politik tiran populis ini mengingatkan pada apa yang dikatakan diktator dari Peru, Óscar Benavides 1933-1939, hampir 100 tahun silam: ”Untuk teman-teman saya, segalanya. Bagi musuhku, hukum. For my friends, everything. For my enemies, the law.”
Herry Priyono (2018) dalam buku Korupsi-Melacak Arti Menyimak Implikasi menyebut korupsi berasal dari bahasa Latin. Corruptio (kata benda) yang berarti hal merusak, hal membuat busuk; Corrumpere (kata kerja) berarti menghancurkan, membusukkan, Corruptor (pelaku). Namun, dalam praktiknya, terjadi penyempitan makna soal korupsi menjadi merugikan keuangan negara dan menguntungkan diri atau kelompok lain. Padahal, makna korupsi adalah membusukkan sektor kehidupan. Jadi, siapapun yang membusukkan kehidupan, wajar disebut pembusuk atau koruptor. Sedang Diego Gambita, ilmuwan sosial yang banyak meneliti kelompok mafia dan dunia hitam menyebut salah satu pengertian “korupsi menunjuk kemerosotan watak etis orang, tiadanya integritas moral, atau bahkan kebejatan hidup orang atau pelaku.”
Narasi antikorupsi Presiden Prabowo Subianto akan berhasil jika diniatkkan untuk menyingkirkan para pembusuk, bukah hanya di Antartika tapi di Jakarta, di seputaran kekuasaan eksekutif, yudikatif, maupun legislatif. Dengan langkah yang konsisten dan kerja teknokratik yang terukur, dan tidak salah memilih capim KPK, saya punya keyakinan Indeks Persepsi Korupsi 2024/2025 akan membaik dan keluar dari skor 34. ***
Leave a Reply