Budiman Tanuredjo
Ketika partai politik kehilangan sikap kritis, ketika organisasi masyarakat lebih berpikir bagaimana mendapatkan keuntungan politik, ketika kampus direpotkan dengan birokrasi akademis, publik merindukan sosok intelektual tercerahkan. Sosok intelektual yang terus menggugat dan berani mempertanyakan kondisi negeri. Sosok yang punya otoritas moral mengingatkan yang mapan dan membersamai yang papa.
Bangsa ini pernah memiliki sosok cendekiawan Nurcholish Madjid. Bangsa ini pernah memiliki sosok Ahmad Syafii Maarif. Bangsa ini pernah memiliki sosok sekelas Mochtar Pabottingi dan Azyumardi Azra. Mereka adalah sosok “muazin” bangsa yang tak punya beban untuk mengkritik secara frontal perilaku kekuasaan yang menyimpang. Dan sosok yang walk the talk yang tidak tergiur madu kekuasaan.
Kini, masyarakat sipil kian sepi. Namun di tengah sepinya masyarakat sipil, publik seakan punya harapan baru. Harapan itu berada pada sosok Sukidi Mulyadi PhD. Sukidi boleh jadi menjadi salah satu bagian dari creative minority di negeri ini. Sukidi adalah anak petani miskin di Tanon, Sragen. Namun, determinasinya untuk belajar, sungguh luar biasa. Ia lulus dan meraih gelar PhD (Philosophy of Doctor) Harvard University, universitas bergengsi di Amerika Serikat. Tentunya, gelar PhD itu bukan seperti yang ditulis Ariel Heryanto sebagai mendadak doktor. PhD diraih dengan perjuangan dan kualitas keilmuan yang mumpuni.
Wajah kemiskinan yang selalu dijumpainya: membuat esai-esai Sukidi punya “nyawa” untuk terus menggugat dan menyuarakan nurani bangsanya. Berbagai esainya – yang selalu punya pesan dan gugatan kuat—kerap viral dan disebarkan elite politik negeri ini. Esai terakhirnya di Harian Kompas, “Nurani Pemimpin”, Kamis 7 November 2024, disebarkan sejumlah elite politik. Mahfud MD menyebarkan esai Sukidi itu melalui akun X. Pengikut akun X Mahfud mencapai 4,5 juta. Ganjar Pranowo memviralkan melalui akun Instagram dengan pengikut 6,5 juta followers. Sementara Eduard Lukman menulis Surat kepada Redaksi di Harian Kompas berjudul, “Nurani dan Keteladanan Pemimpin”.
Dalam esainya, Sukidi mengacu pada sejumlah esai “muazin” bangsa, Ahmad Syafii Maarif dalam esai di Harian Kompas. Dalam esai “Mentereng di Luar, Remuk di Dalam” (Kompas, 10 November 2021), Buya Syafii sudah menunjukkan kerusakan bangsa pada fenomena korupsi yang menggurita, aparat yang melindungi perjudian dan jual beli perkara di dunia peradilan”. Tiga kegelisahan Buya Syafii itu kemudian terbuka secara telanjang di depan publik.
Sukidi mengutip Paus Fransiskus dan Ahmad al-Tayyeb yang menyebut bangsa ini sedang terjadi krisis kemanusiaan atau decensitized human consciensce. Manusia yang tidak lagi punya kepekaan kemanusiaan. Manusia yang menyaksikan saja bagaimana demokrasi kian tererosi, hukum yang diperdagangkan, perjudian yang merajalela yang justru digawangi “orang dalam” pemerintahan, lingkungan yang terus dirusak.
Dan bagi Sukidi kuncinya adalah pemimpin. Namun masalahnya demokrasi Indonesia belum berhasil menemukan pemimpin yang betul-betul menghayati apa itu pemerintahan demokratis. Pemimpin yang meyakini bahwa demokrasi perlu menghadirkan checks and balances. Pemimpin yang menghayati demokrasi berada di luar kekuasaan adalah sebuah kemewahan.
Problem demokrasi di seluruh dunia, dan tidak terkecuali di Indonesia, menurut Leslie Lipson dalam The Democratic Civilization, adalah potensi munculnya pemimpin yang “ignore.” Dalam sebuah diskusi saya dengan seorang guru besar ilmu politik, saya mengartikan “ignore” sebagai pemimpin abai. Namun guru besar ilmu politik itu lebih keras mengartikan pemimpin yang bodoh atau tidak kompeten. Pemimpin yang terpilih melalui jalur demokrasi, namun sebenarnya tidak kompeten.
Dilema demokrasi lainnya, sebagaimana dikatakan Lipson dan Mancur Olson, adalah munculnya “rentseeking-democracy” atau demokrasi yang dibajak untuk kepentingan elite politik. Inilah kepemimpinan oligarki. Kelompok oligark ini yang akan terus beriktiar untuk mempertahankan apa yang disebut Jeffry Winters sebagai “defence wealth” melalui berbagai langkah-langkah politik untuk menopang status quo.
Dalam lanskap politik itulah, kehadiran “creative minority” semacam Sukidi Mulyadi, Bivitri Susanti, Sulistyowati Irianto, Mahfud MD, Komaruddin Hidayat, Zaenal Arifin Mochtar dan mungkin intelektual tercerahkan lain, bisa mengimbangi tumpulnya elite politik Indonesia. Jika di Jerman bisa muncul Frankfurt School, kebangkitan semacam Ganesha School di Bandung, Bulaksumur School di Yogyakarta, Salemba School di Jakarta, Maarif Institute akan bisa menambahkan narasi publik yang digali dari suara-suara rakyat. Bukan narasi yang terus diproduksi negara.
Masyarakat sipil tercerahkan sebagai bagian dari creative minority perlu mengkonsolidasikan diri untuk menawarkan gagasan yang dibangun dari bawah untuk mengembalikan demokrasi, mereparasi “intangible asset” yang rusak atau dirusak. Masyarakat sipil sebagai bagian dari creative minority perlu dikembangkan menjadi kekuatan penyeimbang terhadap perilaku kekuasaan. ***
Leave a Reply