Feri Amsari: Partai Politik Perlu Dibenahi

“Bagi saya banyak yang perlu diperbaiki di teman-teman partai, karena memperbaiki partai berarti memperbaiki eksekutif, memperbaiki legislatif, yudikatif, dan lembaga independen, karena merekalah pengisi intinya,” sebut Feri.

Demokrasi di Indonesia tengah mengalami kemerosotan atau kemunduran. Kita mengenalnya sebagai regresi demokrasi. Salah satu lembaga yang menyatakan itu adalah Freedom House, indeks demokrasi Indonesia diketahui menurun dari 62 di tahun 2019 menjadi 53 di tahun 2023.

Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menyebut ada indikator yang mudah untuk melihat bagaimana demokrasi melemah di Indonesia. Yakni, tak terlaksananya tuntutan-tuntutan reformasi yang diserukan pada 1998.

Ada 6 tuntutan reformasi: penegakan supremasi hukum; pemberantasan KKN; pengadilan mantan presiden Soeharto dan kroninya; amandemen konstitusi; pencabutan dwifungsi ABRI (TNI/Polri); dan pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.

Dari keenam tuntutan yang ada, Feri menilai hampir semuanya musnah hari-hari ini.

“Enam tuntutan reformasi semua dilanggar. Dulu saya masih berharap hanya satu yang tersisa, mengadili Pak Soeharto dan kroni-kroninya. Dengan dicabutnya TAP (MPR) Nomor 11 maka sudah keenam-enamnya punah sudah,” ujar dia saat menjadi narasumber dalam podcast Back to BDM, YouTube Budiman Tanuredjo (18/10/2024).

Tuntutan yang lain, penghapusan dwi fungsi ABRI kini justru muncul TNI multifungsi. Otonomi daerah jauh dari yang diharapkan. Pemberantasan korupsi hancur. Supremasi hukum hilang. Setidaknya itu yang disampaikan Feri.

“Jadi sudah bisa dikatakan sebagai negara hukum yang demokratis itu sekadar tinggal mimpi. sekarang adalah memupuk harapan agar mimpi baru bisa muncul dan gerakan-gerakan untuk mewujudkan mimpi itu betul-betul bisa wujud. Saya tidak melihat selama 10 tahun belakangan, satu dekade ini kita mengarah ke hal yang baik untuk demokrasi dan itu bisa dilihat indikatornya dari enam tuntutan reformasi yang hilang,” jelas Feri.

Kesimpulan yang sama juga bisa dianalisis dengan menggunakan indikator-indikator negara hukum dari para pakar. Misalnya pengadilan dipakai untuk kepentingan penguasa, aparat merepresi rakyatnya sendiri, juga perjuangan hak asasi manusia tak lagi ada.

Perbaikan Partai Politik

Di luar 6 tuntutan reformasi yang telah digaungkan, ada satu hal yang menurut Ferry terlupakan oleh teman-teman aktivis 98, yakni perbaikan partai politik. Partai politik adalah unit politik yang sangat penting, karena anggota-anggotanya akan mengisi seluruh wilayah kekuasaan yang ada, mulai dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

“Di era Reformasi, ini (perbaikan partai politik) tidak tersentuh. Kita membuat lembaga negara baru, buat undang-undang baru, mekanisme baru, kecuali memperbaiki partai politik, tidak ada,” ujar aktivis berusia 44 tahun ini.

Feri Amsari menerima dua buku karya BDM: “Merawat Keindonesiaan dan Kemanusiaan” dan “Menjaga Danyang Jurnalisme”.

Selama ini, partai politik didominasi oleh figur-figur yang cenderung tidak berganti. Hanya ada segelintir bahkan satu orang saja yang ditokohkan dan menjadi pemegang kuasa terbesar dalam tubuh sebuah partai. Misalnya Megawati di PDI P, Prabowo di Gerindra, Surya Paloh di Nasdem, juga SBY dan keluarganya di Demokrat.

Jika sesuatu hal buruk terjadi pada pimpinan partai-partai itu, maka keberlanjutan partai dipertanyakan. Tidak ada mekanisme demokratis, seperti kandidasi dalam pemilihan ketua umum.

“Tidak ada mekanisme yang menunjukkan sikap demokratis misalnya kandidasi, bagaimana pola demokratisnya, tidak ada. Di partai, semua main tunjuk,” sebut Feri.

Ia menyebut perlunya dilakukan perbaikan, misalnya dimulai dari kandidasi untuk pemilihan ketua umum, merekatkan relasi partai di pusat dan daerah, bagaimana mekanisme menyelesaikan sengketa, dan memperbaiki keuangan partai.

“Bagi saya banyak yang perlu diperbaiki di teman-teman partai, karena memperbaiki partai berarti memperbaiki eksekutif, memperbaiki legislatif, yudikatif, dan lembaga independen, karena merekalah pengisi intinya,” sebut lulusan William & Mary Law SchoolAmerika Serikat ini.

Jika perbaikan tidak dilakukan, maka sulit bagi partai politik-partai politik untuk bisa berkembang mandiri. Selama ini partai politik ada di bawah Menteri Hukum dan HAM yang secara tidak langsung ada di bawah kuasa pemerintah.

Fenomena aklamasi dalam pemilihan ketua umum partai politik-partai politik yang terjadi belakangan ini, disebut Feri sebagai bentuk tidak adanya demokrasi di internal partai.

Sebelumnya, Pusat Studi Konstitusi pernah mengusulkan diberlakukan pembatasan masa jabatan ketua umum partai politik, maksimal dua periode. Usulan itu ditujukan untuk mengubah tabiat partai yang banyak menyandarkan diri pada figur tertentu. Sehingga partai pun tidak mudah dikendalikan oleh figur-figur tersebut dan ketua partai bukanlah segala-galanya.

Sayangnya, usulan ini tidak pernah diterima oleh orang-orang yang ada di partai politik, karena suara mereka masih didominasi oleh suara sang ketua umum.

“Ada budaya tersendiri yang membuat partai kita stag menjadi bukanlah partai sebenarnya, saya dan teman-teman sering bercanda dan ini benaran candaannya bahwa kami merasa tidak ada partai politik di Indonesia, yang ada adalah perusahaan keluarga yang bernama partai, karena CEO-nya adalah ketua partai,” jelas Feri.

“Itu dibenarkan dalam tabiat politik kita, yang menurut saya itu salah pemahaman dan merusak perspektif ketatanegaraan dan politik hukum kita,” lanjut dia.

Untuk menghentikannya, maka perlu dilakukan pembatasan jabatan ketua umum. Kemudian kandidasi ditentukan oleh akar rumput partai, sehingga tidak ada anak atau kerabat elit partai yang tiba-tiba muncul di jajaran puncak. Hal lain adalah memperbaiki relasi pusat dan daerah hingga memperbaiki keuangan partai.

Ada masalah serius di dalam tubuh partai politik Indonesia. Feri mengatakan, jika ingin melakukan perbaikan maka harus mengubahnya pelan-pelan.

Namun, siapa yang bisa memperbaiki partai politik, jika orang-orang yang duduk di DPR sebagai pembuat undang-undang juga orang-orang dari partai politik itu sendiri?

“Dulu ini usulan salah satunya teman-teman Pusat Studi Konstitusi, kalau bisa Undang-Undang Partai Politik, Undang-Undang Pemilu, undang-undang penegak hukum tidak dikerjakan oleh DPR,” kata salah satu pemeran film dokumenter Dirty Vote ini.

“Waktu itu usulan kami, tentu usulan ini masih banyak kelemahan, untuk Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu dikerjakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU),” lanjutnya.

Tugas DPR hanya mengonfirmasi, KPU yang membuat draftnya. Dengan demikian, maka akan menjauhkan DPR dari ikut campur substantif tentang bagaimana mereka mengelola diri mereka sendiri. Namun sejauh ini tidak ada yang mau menerima usulan ini.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *