Hentikan Serangan Israel terhadap Palestina, Indonesia Bisa Apa?

“Berbagai kehancuran dalam setahun tragedi Gaza ini seharusya mengingatkan dunia bahwa jalan perang dan kekerasan menyengsarakan semua pihak. PBB, pemimpin dunia, harus mengambil langkah bersama untuk menghentikan peperangan. Dan menghadirkan perdamaian adalah tanggung jawab duniai. Kemerdekaan Palestina adalah sebuah keniscayaan,”

Sebagai negara yang diperintahkan oleh konstitusinya untuk menciptakan ketertiban dunia dan menghapuskan penjajahan di atas muka bumi, Indonesia sudah mengupayakan berbagai hal demi terciptanya Palestina yang merdeka.

Di kancah internasional, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi sudah berkali-kali menyampaikan dengan keras di berbagai pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa agar semua negara bisa turut andil menghentikan kekejaman penjajahan yang tengah berlangsung di tanah Palestina.

Pemerintah pun demikian, tercatat sudah berulang kali mengirimkan bantuan kemanusiaan dalam berbagai bentuk mulai dari uang hingga barang-barang kebutuhan sehari-hari, seperti obat-obatan, alat kesehatan, bahan makanan, dan sebagainya.

Di tingkat masyarakat, tak kurang-kurangnya bantuan, donasi, galang dana, aksi boikot produk-produk yang terafiliasi dengan Israel, semua dilakukan demi memberikan bantuan pada saudara-saudara di Gaza.

Meski berbagai upaya telah dicoba, namun perang belum juga mereda. Rudal, bom, tembakan, serangan-serangan baik dari Israel maupun pejuang Palestina masih terus ada.

Lantas, adakah hal lain yang masih bisa dilakukan oleh Indonesia demi terciptanya damai dan merdeka di Palestina?

Dalam program Satu Meja The Forum Kompas TV (9/10/2024) bertajuk “Serangan Israel Makin Merajalela, Indonesia Bisa Apa?”, sejumlah narasumber hadir dan membagikan pandangannya.

Anggota Komisi I DPR Periode 2019-2024 dari Fraksi PKS, Sukamta mengatakan Israel terus melakukan serangan karena ingin mendapatkan tujuan strategis, bukan tujuan taktis. Tujuan taktis Israel misalnya membebaskan sandra dan menghapus Hamas dari Gaza. Semua itu belum tercapai hingga hari ini. Sementara tujuan strategis Israel adalah menghilangkan ancaman yang ditujukan pada negaranya.

“Jalur Gaza akan dibersihkan, Lebanon akan dibersihkan, negara yang menjadi ancaman seperti Iran akan dilawan, karena mereka membayangkan sisanya itu sudah tidak menjadi ancaman bagi Israel,” ujar Sukamta.

Terkait hal itu, lembaga internasional yang bersifat multilateral seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tak lagi efektif menyelesaikan konflik panjang antara Israel dan Palestina. Sukamta menyebut hal itu dikarenakan keberadaan negara-negara adikuasa di dalamnya, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis.

“Saya kira selama adikuasa terlibat, lembaga-lembaga multilateral ini pasti akan lumpuh. Saya kira peran Indonesia bisa masuk kepada mini multilateral,” kata dia.

Sementara itu, Pakar Timur Tengah Dina Sulaeman mengusulkan agar Indonesia melakukan langkah yang sejauh ini belum banyak dipakai oleh negara-negara dunia untuk mengatasi konflik Israel-Palestina. Langkah yang ia maksud adalah skenario sebagaimana yang dilakukan untuk menumbangkan Apartheid di Afrika Selatan.

“Dulu Rezim Apartheid Afrika Selatan berdiri pas tahun 1948, sama, Israel berdiri juga tahun 1948. Dan Israel sejak bulan April 2021 itu sudah dinyatakan oleh Amnesti International sebagai Rezim Apartheid juga,” sebut Dina.

Atas dasar itu, maka komunitas internasional bisa bersama-sama melakukan boikot ekonomi terhadap Israel. Rezim tanpa ekonomi yang kuat maka akan tumbang.

Sebagaimana terjadi di Afrika Selatan, setelah Apartheid berhasil dilenyapkan pada 1991, terbentuklah pemerintahan baru yang mengakomodasi hak semua orang yang tinggal di atas tanah itu.

“Skenario ini sebenarnya banyak juga disuarakan untuk Palestina, cuma mungkin belum terlalu luas. Kita boikot bersama dengan tujuan Rezim Zionisnya tumbang, lalu dibentuk pemerintahan baru di sana yang mengakui semua hak orang-orang yang ada di sana, baik itu Yahudi, Kristen, Muslim, dan mengembalikan hak-hak orang Palestina yang terusir,” jelas dia.

Ini lebih penting untuk diperjuangkan menurut Dina, ketimbang dunia mati-matian mengusulkan konsep two state nation yang tak kunjung mendapat persetujuan baik dari Israel maupun Hamas.

“Itu seperti kereta yang sudah meninggalkan stasiun, kita perlu memikirkan  solusi lain yang sebenarnya sudah banyak disuarakan yaitu one state solution. Satu pemerintahan baru di seluruh tanah itu yang mengakui hak semua orang di sana dan yang paling penting mengembalikan hak-hak orang Palestina,” ungkapnya.

Foto bersama para narasumber: Dina Sulaeman, Hikmahanto Juwana, Abdul Kadir Jailani, dan Sukamta.

Di sisi lain, Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, Abdul Kadir Jailani menganggap perdamaian di Palestina bukan menjadi tanggung jawab satu atau dua negara saja, melainkan semua masyarakat internasional, khususnya Dewan Keamanan PBB.

Dengan kata lain, belum teratasinya konflik antara Israel dan Palestina hari ini tidak bisa diartikan sebagai kegagalan diplomasi Indonesia semata.

“Kita mengetahui bahwa Indonesia telah secara konsisten menyuarakan pentingnya Dewan Keamanan PBB untuk bertindak sesuai kewenangannya untuk menghentikan dan keberlanjutan konflik ini,” ucap Jailani.

Ia pun menyampaikan, meski PBB atau DK PBB terlihat kurang efektif dalam menciptakan perdamaian dunia, namun kita diminta untuk tetap melihat adanya peluang baik di tengah kondisi yang kurang menyenangkan itu.

“Walaupun dengan segala kelemahannya, PBB memiliki tantangan, tapi pada saat yang sama juga memiliki peluang. Saya ambil contoh peluang yang cukup perlu kita catat yaitu paling tidak melalui Majelis Umum PBB, Palestina memeroleh pengakuan sebagai sovereign state. Ini 124 negara dapat menyetujui,” sebut Jailani.

“Di sinilah kita melihat bahwa PBB juga memberikan peluang, walaupun saya mengetahui peluang itu tidak sepenuhnya sesuai harapan kita,” imbuhnya.

Pendapat lain disampaikan oleh Pakar Hubungan Internasional Prof. Hikmahanto Juwana. Ia mengusulkan agar Indonesia menjadi nahkoda untuk menghimpun kekuatan dalam bentuk koalisi baru, coalition of willing.

Koalisi itu memiliki tiga fokus utama: berpihak pada perdamaian, berpihak pada kemanusiaan, dan menghentikan perang,

“Kalau misalnya kita Indonesia bisa mengambil opportunity seperti itu di dalam konteks sekarang ini, waduh keren banget. Apalagi kalau saya melihat ya Pak Prabowo bisa bilang ini sudah waktunya negara berkembang harus muncul. Kalau perlu telepon Pak Joe Biden, ‘eh Joe Biden, mohon maaf ya Amerika Serikat sekarang enggak bisa kita anggap sebagai penjaga moralitas dunia, sudah hilang semua itu karena membiarkan tindakan yang dilakukan Israel’,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia itu.

Jika di masa kepemimpinan Jokowi, Indonesia bisa memberikan bantuan berupa rumah sakit, ia yakin di bawah Presidensi Prabowo Indonesia bisa melakukan hal-hal yang lebih besar lagi.

Indonesia di Bawah Rezim Prabowo…

Pemerintahan Prabowo Subianto akan segera berlaku setelah sumpah jabatan diambil pada 20 Oktober mendatang. Prabowo yang memiliki latar belakang dunia militer dan berpangkat jenderal, diharapkan dapat membawa Indonesia berkontribusi lebih pada terwujudnya perdamaian di Palestina.

Terlebih, Prabowo dinilai memiliki pengetahuan dan keresahan yang tinggi terkait dengan isu-isu politik luar negeri.

“Saya kira profil Indonesia (di bawah pimpinan Prabowo) ini akan lebih high profile dibandingkan sebelumnya. Dan ini panggung yang sangat luar biasa besar kalau Indonesia bisa memainkan peran yang sangat signifikan,” ungkap Sukamta, anggota DPR 2019-2024 dari PKS.

Ia menyebut, saat ini Israel sudah kehilangan banyak simpati negara-negara dunia. Jika Indonesia bisa menggalang kekuatan negara-negara tersebut, maka akan menimbulkan efek yang luar biasa. Apalagi jika negara-negara yang antipati terhadap Israel itu adalah negara yang memiliki kekuatan, baik dalam bidang persenjataan, politik, maupun ekonomi.

“Saya membayangkan kalau itu dilakukan Indonesia itu dahsyat sekali loh. Timur Tengah misalnya yang sekarang ini seperti kehilangan sopir, Indonesia bisa menjadi driver darurat di situ, ditambah dengan negara-negara Uni Eropa sebagian sudah lebih simpati pada Palestina,” sebut Kamta.

Diperlukan kekuatan yang besar untuk bisa menghentikan ambisi-ambisi Israel. Kekuatan negara-negara dunia yang saat ini masih tersebar harus disatukan dan digerakkan dalam satu langkah yang sama agar bisa mengisolir Israel dan pendukungnya.

Dina Sulaeman setuju dengan ide-ide sebelumnya bahwa Indonesia nisa membuat koalisi untuk menyatukan kekuatan dari negara-negara yang memiliki sikap sama terkait kemerdekaan dan perdamaian di Palestina.

Upaya ini akan potensi berhasil yang lebih tinggi, mengingat dunia saat ini tidak hanya “dikuasai” oleh Amerika Serikat saja. Sejauh ini, ada sejumlah proksi di dunia yang juga memilki kekuatan besar, mulai dari Tiongkok, Rusia, Kerjasama Selatan Selatan (KSS), dan sebagainya.

Selain itu, Indonesia juga bisa mengambil sikap yang lebih jauh, tidak hanya sebatas pada diplomasi kemanusiaan, namun juga turut melakukan perjuangan kemerdekaan.

“Cuma memang ada resiko besar di sini, misalnya kita lihat bagaimana Iran selama puluhan tahun diembargo karena menyuplai senjata ke para pejuang Palestina, Suriah mengalami agenda perubahan rezim selama 10 tahun terakhir itu juga karena menyuplai bantuan senjata logistik ke para pejuang Palestina. Apakah risiko ini bisa diambil oleh pemerintah kita?” tanya Dina.

Merespons masukan-masukan yang ada, Abdul Kadir Jailani mewakili Kementerian Luar Negeri menyebut Indonesia hari ini dan seterusnya akan terus berjuang menjalankan amanat konstitusi: menghapuskan penjajahan dan menciptakan perdamaian. Termasuk untuk konteks Palestina.

Namun yang perlu diingat, Indonesia sebagai negara yang menganut asas politik luar negeri bebas aktif, tidak akan memihak atau berada di belakang Hamas, Fatah, atau organisasi perjuangan lainnya. Di luar itu, Indonesia akan berdiri dan berpihak untuk rakyat Palestina.

Jailani mencontohkan, Pemerintah bisa memberikan beasiswa pendidikan untuk generasi-generasi muda Palestina bersekolah di Indonesia, ini adalah bantuan yang dampaknya baru akan terasa di kemudian hari. Namun sangat diperlukan dan Indonesia bisa berkontribusi. Misalnya dengan membuka kampus-kampus milik pemerintah, seperti Universitas Pertahanan (Unhan) dan sebagainya.

Dunia tahu, sebagian besar Gaza beserta semua fasilitas yang ada di dalamnya telah hancur akibat serangan Israel. Hampir semua sarana publik telah menjadi puing reruntuhan. Jadi, jangankan mengenyam pendidikan, untuk hidup layak pun masyarakat di Gaza sudah begitu kesulitan.

Adapun terkait ide-ide menjalin hubungan multilateral sebagaimana disampaikan oleh para ahli, Jailani mengatakan Indonesia sudah mulai melakukannya, yakni dengan tergabung di OIC (Organization Islamic Cooperation) atau OKI (Organisasi Kerja Sama Islam).

“Sebagaimana diketahui OIC beberapa waktu yang lalu telah membentuk kelompok kecil beberapa negara, beberapa negara Arab dan beberapa negara Islam, negara non Arab yang dilibatkan hanya Indonesia dan Turki setahu saya dan hanya ada tujuh negara. Kita melakukan misi diplomatik ke berbagai negara guna mengupayakan dukungan dari berbagai negara terutama dari great powers,” jelas Jailani.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *