Anggota DPR dari PKS Ismail Bachtiar: Menang Tanpa Uang, Masuk Tanpa Spanduk

“Tidak ada foto, tidak ada poster, dan lain sebagainya. Enggak ada baliho, enggak ada spanduk, murni yang saya gunakan sosial media,”

Sebanyak 580 anggota DPR-RI Periode 2024-2029 baru saja dilantik pada 1 Oktober lalu. Salah satunya adalah politisi muda asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bernama Ismail Bachtiar.

Ia menjadi tamu dalam siniar Back to BDM yang tayang Rabu (2/10/2024). Dalam kesempatan itu, Ismail menceritakan banyak hal tentang kehidupan juga soal langkah-langkahnya di dunia politik.

Ismail datang dari keluarga dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah. Kepada BDM ia bercerita, keluarganya masuk dalam daftar Keluarga Penerima Manfaat (KPM) di banyak jenis program bantuan pemerintah, mulai dari bantuan beras hingga beasiswa pendidikan dan itu semua baru berakhir di tahun 2014.

“Bapak saya security, satpam. Beliau pensiun dengan gaji Rp350.000 sebulan. Saya anak bungsu dari empat bersaudara dan saya adalah orang pertama dari empat bersaudara yang mengenyam bangku pendidikan di tingkat perguruan tinggi. Saudara yang lain enggak kuliah, ibu saya enggak tamat sekolah, enggak sekolah SD sama sekali. Bahkan membaca pun belajar dari sekolah rakyat waktu itu,” ungkap Ismail.

Demi memenuhi kebutuhan hidup, Ismail di masa mudanya pernah melakukan banyak jenis pekerjaan mulai dari berjualan es teler, memungut bola tenis, mengumpulkan sampah plastik, membuka usaha fotokopi, mengajar les, dan sebagainya.

Ia mengaku tidak ada rasa gengsi untuk melakukan semua pekerjaan itu. Baginya memelihara gengsi tidak ada manfaatnya. Selain itu, setiap kesempatan yang datang harus benar-benar dimanfaatkan, karena kesempatan itu tidak akan datang berkali-kali.

“Saya kalau mau memelihara gengsi kayaknya jatah gengsinya itu habis. Pada saat itu saya merasa bahwa ini halal, ini adalah sesuatu yang saya memang butuhkan, karena enggak ada sumber penghidupan dan pendapatan lain,” ujarnya.

Hingga ketika lulus dari bangku SMA, ia menjadi mahasiswa karena mendapat bantuan pemerintah berupa Beasiswa Bidik Misi untuk jenjang Strata 1 di bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat.

“Ketika tamat sekolah SMA enggak membayangkan bisa kuliah dan saya menjadi satu dari bagian sekian ribu orang yang diberikan kesempatan oleh Presiden SBY di tahun 2010 dengan program Beasiswa Bidik Misi,” ungkap pria berusia 32 tahun itu.

Di masa kuliah, Ismail mencoba mengembangkan diri dengan mengikuti berbagai macam organisasi. Mulai dari organisasi kepemudaan, organisasi masyarakat, hingga organisasi keagamaan. Selain mengaktualisasi diri, mengikuti beragam kegiatan organisasi juga menumbuhkan jejaring yang menurut Ismail itu sangat penting bagi perjalanan hidupnya ke depan.

Pekerjaan sampingan pun masih terus ia lakukan demi bertahan hidup, karena ia tidak bisa mengandalkan uang beasiswa yang pencairannya terkadang bisa jauh dari waktu yang telah ditentukan.

Kemudian ia melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Gadjah Mada, masih dengan jalur beasiswa dari pemerintah, yakni LPDP jalur Afirmasi.

Mantan anggota DPRD Sulawesi Selatan ini pernah mengembangkan bisnis di bidang pendidikan, yakni dengan membuka bimbingan belajar yang diberi nama Rektor Institute. Bimbel itu kini telah bertransformasi menjadi perguruan tinggi vokasi bernama Politeknik Nusantara Makassar.

“Insyaallah tahun ini kami buka juga di Kendari dan di Jayapura. Perguruan tinggi vokasi kami ada tiga sektor: ada pertanian, ada manajemen,  sama ada komputer,” jelas dia.

Awal Mengenal Politik

Ismail menceritakan perjalanan awal dirinya mengenal dunia politik. Semua itu bermula dari usahanya di bidang pendidikan yang mau tidak mau membuatnya banyak bersentuhan dengan penyelenggara pemerintahan.

“Beberapa kali kesempatan kenapa saya merasa ini kok sulit sekali, kenapa setiap ada kebijakan selalu saja berbenturan. Saya akhirnya satu waktu mencari jalan keluar. Ketemulah saya dengan beberapa politisi. Dan ternyata saya merasa bahwa oh berarti jalan keluarnya adalah si politisi ini, karena kalau kenal dengan politisinya artinya ada akses informasi sampai akhirnya seluruh hal-hal yang berkaitan dengan urusan bimbel atau urusan institusi pendidikan yang saya bangun pada saat itu Alhamdulillah menjadi lancar,” jelas Ismail.

Berangkat dari pengalaman itu, ia pun merasa perlu untuk juga berada di dalam lingkar politik dan menjadi media untuk mempermudah kehidupan orang lain, sebagaimana urusannya dipermudah oleh politisi yang ia temui.

Ismail mantap melangkahkan kakinya menjadi seorang politisi. Ia memulainya dengan menjadi anggota legislatif di DPRD Sulawesi Selatan periode 2019-2024 dari PKS.

Ismail Bachtiar hadir di podcast Back to BDM.

Selama menjadi legislator daerah, Ismail mengusulkan agar ada tambahan keilmuan baru untuk siswa-siswa SMA/SMK di Sulsel dengan melibatkan lembaga pendidikan informal, karena proses pembelajaran formal ternyata tidak cukup.

Hasilnya, Sulawesi Selatan kini menempati urutan ke-4 untuk tingkat serapan lulusan SMA/SMK di perguruan tinggi. Sebelumnya, provinsi beribu kota Makassar ini selalu menduduki posisi 15 atau 16 dari semua provinsi yang ada di Indonesia.

“Ini adalah salah satu dampak legacy yang saya usulkan. Sekarang tugas berikutnya adalah bagaimana yang kurang mampu, yang senasib dengan saya kemarin bisa dapatkan kesempatan kuliah dengan program beasiswa. Saya gandeng lah CSR yang tidak ter-cover oleh pemerintah, saya gandeng lah donatur-donatur,” ujar dia.

Ismail mengaku ia mempunyai NGO khusus untuk beasiswa. Dari NGO itu, ia mendirikan rumah tahfiz, yang saat ini salah satu lulusannya sudah menjadi dokter sekaligus penghafal Al-Quran.

“Buat saya itu satu hal yang mungkin tidak dilakukan oleh sebagian politisi. Saya merasa bahwa ini momentum buat saya, sehingga saya penting untuk mengetahui di mana ruang yang kemudian bisa menjadi pembeda,” sebutnya.

Tidak butuh Ongkos Mahal dan Trah Khusus

Setelah kini masuk menjadi anggota DPRD dan DPR RI, ia pun berhasil membuktikan ternyata untuk menjadi seorang politisi di level daerah maupun nasional tidak melulu membutuhkan ongkos politik yang mahal, apalagi harus memiliki trah pejabat, bangsawan, dan sebagainya.

“Itu bisa kita dobrak kalau memang punya social investment yang sudah jalan sebelumnya, yang saya cerita tadi bahwa ada (program) pendidikan yang saya jalankan. Ada sejumlah agenda-agenda NGO yang sudah saya lakukan. Itu menjadi investasi utama saya,” kata Ismail.

Kerja-kerja sosial itulah yang akhirnya membuat nama Ismail banyak dibicarakan orang-orang di daerah pemilihannya. Tak hanya offline, nams Ismail pun kerap muncul di perbincangan online dan menjadi pergerakan sosial tersendiri.

Namanya diingat masyarakat bukan karena uang pelicin atau karena nama besar orangtua dan keluarga, tapi karena hasil kerja-kerja sosial sebelumnya.

Ia mengaku melakukan semua kerja-kerja sosial di awal tidak untuk tujuan politik. Bahkan ia sendiri tidak tahu jika pada akhirnya ia akan sampai di titik ini, menjadi politisi.

“Jadi akhirnya dua masalah ini terpecahkan. Persoalan trah kami enggak ada satu pun di politik dari keluarga bapak ibu enggak ada, om tante enggak ada. Lalu yang kedua modal yang orang cerita soal money politic saya merasa bahwa ini juga bisa kita tuntaskan dengan investasi sosial,” kata Ismail.
Berangkat dari keberhasilan itu, Ismail pun bisa dengan yakin mengatakan siapapun bisa menjadi politisi, sekalipun tidak memiliki modal kapital yang besar juga tidak berasal dari keluarga politik. Ya, semua itu mungkin selama kita sudah memiliki bekal kerja-kerja sosial yang manfaatnya bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

Menang Tanpa Uang,  Masuk Tanpa Spanduk

Sejak awal duduk di DPRD Sulawesi Selatan, Ismail telah berniat untuk melanjutkan maju di tingkat nasional menjadi Caleg DPR RI. Oleh karena itu, ia mendedikasikan kerja-kerja legislatifnya untuk menjadi bekal mendulang suara di tingkat yang lebih tinggi.

Ia mengaku ketika di DPRD telah meloloskan banyak usulan masyarakat yang nilai anggarannya bisa mencapai puluhan miliar Rupiah.

Suara-suara masyarakat ia kumpulkan dari kunjungan dan dialog yang kerap ia kerjakan di waktu masa reses tiba. Misalnya ibu-ibu mengeluhkan butuh modal untuk usaha, orangtua kebingungan tak punya dana untuk menyekolahkan anaknya. Berbekal masalah-masalah itu, ia mendorong kebijakan-kebijakan di tingkat DPRD yang mendukung kepentingan masyarakat.

Dengan cara itulah, ia menyebut berhasil memenangkan hati konstituennya tanpa perlu memberikan uang sogokan, serangan fajar, dan lain sebagainya. Cukup dengan memanfaatkan uang negara di jalan yang benar, mensejahterakan rakyat.

Ismail pun membongkar berapa besar uang pribadi yang ia keluarkan untuk keperluan kampanye menjadi DPR RI.

“Saya enggak habis banyak, kurang lebih 5 tahun ada kali (mengeluarkan uang) 3 sampai 4 miliar. Buat saya angka itu kecil, karena ada yang memang akhirnya habis belasan miliar puluhan miliar enggak terpilih dan itu lazim,” sebut dia.

“3 sampai 4 miliar yang saya keluarkan murni dari kantong pribadi hasil gaji, sumber-sumber yang halal saya pakai untuk datang ke masyarakat. Kan kalau kita datang enggak enak kita enggak siapin konsumsi, tuan rumah tetap kita kasih buat operasional mereka jalan. Itu kurang lebih 4 miliar, 3 sampai 4 miliar,” tegasnya.

Tak hanya minim mengeluarkan uang, Ismail bahkan tak pernah sekali pun memasang alat peraga kampanye selama mencalonkan diri menjadi anggota dewan, baik di tingkat DPRD maupun DPR.

“Tidak ada foto, tidak ada poster, dan lain sebagainya. Enggak ada baliho, enggak ada spanduk, murni yang saya gunakan sosial media,” jawab Ismail.

Ia misalnya memanfaatkan Instagram pribadinya yang memiliki pengikut kurang lebih 87ribu akun. Media sosial disebut lebih efektif, karena masyarakat yang menjadi targetnya lebih banyak aktif di sana.

“Buat saya lebih dari cukup, karena konstituen itu bermukim di situ. Mereka menghabiskan waktunya di sosial media dan (kampanye di) sosial media ketimbang dengan billboard, baliho yang terpampang di pinggir jalan itu jauh lebih efektif,” jelas dia.

“Itu yang saya pelihara sampai hari ini. Dari dulu komitmen saya sampai saat ini bahwa saya tidak akan menggunakan baliho dan spanduk sampai kemudian saya merasa bahwa yang ada di sosial media itu masih cukup untuk meng-cover kebutuhan kursi dan suara yang saya mau capai,” pungkasnya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *