“Memang kita tahu bahwa kita ini menggunakan partai sebagai kendaraan kita. Tapi back again dalam kinerja kita, kita ini Dewan Perwakilan Rakyat bukan dewan perwakilan partai,”
Keberadaan sejumlah kalangan muda sebagai anggota DPR periode 2024-2029 membawa angin segar, memunculkan asa akan adanya perbedaan dan perubahan di lembaga legislatif tersebut.
Generasi baru ini diharapkan akan berbeda dengan politisi-politisi senior yang selama ini kerap menunjukkan keberpihakannya hanya pada kepentingan partai atau golongannya saja.
Publik sudah berulang kali dibuat kecewa, karena suara dan teriakannya tak didengar anggota dewan yang katanya bekerja mewakili mereka.
Rakyat wajar berharap pada para legislator muda bahwa mereka akan menempatkan kepentingan rakyat sebagai objek utama dalam perumusan kebijakan perundang-undangan. Namun, benarkah harapan itu bisa diwujudkan?
Dalam program Satu Meja The Forum Kompas TV (2/10/2024) yang mengangkat tema “Legislator Muda Bisa Apa?”, sejumlah anggota DPR usia muda hadir dan memberikan jawabannya.
Jawaban pertama datang dari Abraham Sridjaja, anggota DPR usia muda yang berasal dari Partai Golkar.
Dengan yakin ia menyebut akan mewakili rakyat. Abraham juga meyakini partainya akan melakukan hal yang sama.
“Saya lumayan yakin bahwa kita tidak akan berseberangan, khususnya Partai Golkar karena suara rakyat adalah suara Golkar, kebetulan moto kita,” ungkap Abraham.
Hal yang sama disampaikan oleh legislator muda asal Partai Nasdem Cindy Monica Salsabila. Ia mengaku dirinya dilantik untuk menjadi Dewan Perwakilan Rakyat, bukan Dewan Perwakilan Partai.
“Memang kita tahu bahwa kita ini menggunakan partai sebagai kendaraan kita. Tapi back again dalam kinerja kita, kita ini Dewan Perwakilan Rakyat bukan dewan perwakilan partai,” sebutnya.
Jika nanti terjadi perbedaan antara kepentingan rakyat dan partai, ia mengaku akan mendiskusikannya terlebih dahulu secara internal dengan teman-teman satu fraksi. Di sisi lain, Cindy melihat Surya Paloh sebagai Ketua Umum Partai Nasdem juga sangat mendengar aspirasi dari kadernya. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Anggota muda DPR yang lain, Rio Dondokambey dari PDI Perjuangan justru menyebut partainya tidak pernah bertentangan dengan masyarakat.
“Kami anggota DPR dari PDI Perjuangan pastinya diberikan ruang di partai kami untuk menyuarakan apapun yang memang menjadi keinginan dari masyarakat untuk nantinya bisa diakomodir oleh keputusan-keputusan partai yang harusnya selaras dengan apa yang diinginkan masyarakat,” jelas Rio.
Ismail Bachtiar, anggota DPR kalangan muda dari PKS sepakat jika keberpihakan DPR harus kepada rakyat. Ia bahkan menyebut akan mengoptimalkan platform media sosial yang ada hari ini untuk menjadi saluran atau kanal bagi suara-suara rakyat.
“Saya dengan segala keyakinan bahwa apa yang ada hari ini pemanfaatan platform social media akan kami optimalkan supaya suara-suara rakyat itu tetap tersalurkan, apa yang menjadi kehendak mereka tetap kita bisa penuhi,” kata Ismail.
Ia menyebut, legislator muda sudah ada sejak periode-peroiode DPR sebelumnya, bedanya di tahun-tahun ini keberadaan sosial media sudah begitu marak. Masyarakat pun kerap memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk menyampaikan aspirasi. Inilah pembeda tugas para legislator muda di DPR periode ini dibandingkan dengan periode sebelumnya.
“Ini akan menjadi satu bentuk baru bagaimana kemudian perubahan itu bisa hadir. Harapan kami, kami bisa menjadi bagian daripada agen-agen yang menghadirkan perubahan itu,” ujarnya.
Posisi Rakyat dalam Fungsi Legislasi DPR
Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, sudah selayaknya rakyat dilibatkan dan menjadi pertimbangan utama para pemegang kekuasaan dalam membentuk kebijakan dan melahirkan peraturan. Termasuk oleh para anggota DPR yang lembaganya memiliki fungsi legislasi.
Ketika ditanya, di mana rakyat akan diposisikan dalam setiap pengambilan keputusan DPR, Abraham dari Golkar memiliki jawaban tersendiri.
Jamaknya penggunaan media sosial saat ini disebutnya bisa menjadi jembatan penghubung antara masyarakat dan DPR.
“Ini adalah The beginning of New Era, artinya memang dari dulu banyak anak muda yang sudah mencoba untuk masuk bahkan sudah masuk (DPR), tapi perbedaan sekarang adalah sebagian besar masyarakat kita ini sudah jauh melek media sosial,” jelas Abraham.
Contoh konkretnya, DPR bisa mengunggah agenda pembahasan rancangan undang-undang di website, termasuk mencantumkan jadwal sidangnya. Sehingga masyarakat bisa turut memantau dan mengetahui apa yang tengah dibahas oleh DPR.
Dalam praktik demokrasi Indonesia dikenal adanya konsep meaningful participation, di mana rakyat semestinya diberi ruang partisipasi dalam proses politik dan aspirasi yang disampaikan diterima oleh para pemangku mandat untuk akhirnya disusun dalam bentuk perundang-undangan atau kebijakan.
Rio dari PDI Perjuangan menyadari selama ini masyarakat kerap merasa khawatir karena apa yang mereka inginkan tak menjadi bahan pembahasan di DPR.
Oleh karena itu, Rio menyebut akan berkomitmen untuk terus menyuarakan suara rakyat di manapun konteks ruangnya, apakah itu di rapat fraksi, rapat perumusan kebijakan, dan lain sebagainya.
“Kita harus tahu apa yang masyarakat mau, jadi memang kita harus rajin turun ke lapangan, kita harus rajin turun ke konstituen. Tapi juga sama seperti tadi, sosial media memang harus kita pantau terus supaya kita tahu apa yang benar-benar mayoritas masyarakat itu suarakan di lapangan,” jelas Rio.
Pengamat Politik Akhmad Khoirul Umam menilai apa yang disampaikan oleh teman-teman legislator muda tentang meaningful participation adalah sangat benar secara teori. Namun dalam praktiknya, yang terjadi bukanlah meaningful, tapi meaningless participation. Artinya suara-suara publik itu diabaikan oleh para pemegang kekuasaan.
“Evaluasi dalam 10 tahun terakhir yang terjadi bukan meaningful, tetapi meaningless participation. Karena tren terjadinya autocratic legalism terutama dalam konteks rancangan undang-undang yang cukup strategis itu sering terjadi dan hampir melibatkan semua partai,” kata Umam.
Ia mencontohkan pada Undang-Undang KPK, Undang-Undang Omnibuslaw, Undang-Undang IKN, dan lain sebagainya, partai-partai yang ada dalam proses dinamika politiknya tidak banyak melakukan critical assessment, sehingga kemudian meaningful participation itu tidak terjadi.
Hal lain, menanggapi suara publik di media sosial sebagaimana banyak dibahas sebelumnya, Umam melihat selama ini suara-suara yang muncul di sana juga tidak banyak didengar apalagi diakomodir menjadi satu bentuk kebijakan yang pro rakyat.
“Tidak mudah, meskipun kalangan masyarakat sipil sudah bersuara, akademisi sudah bersuara, tetapi sekali lagi tidak banyak terdengar dan pengambilan keputusan itu dilakukan dalam ruang-ruang gelap,” ujar dia
“Oleh karena itu, yang disampaikan teman-teman tadi jangan sampai itu hanya menjadi teori di atas kertas. Maka pertaruhan di sinilah yang kemudian menjadi ajang pembuktian bagi teman-teman, apakah menjadi bagian dari orde lama seperti yang kemudian terjadi selama ini, ataukah akan menjadi bagian dari simbol perubahan, ataukah yang berubah-ubah terus. Ini yang kemudian perlu pembuktian selanjutnya,” Umam melanjutkan.
Sekali lagi umam memuji setiap ide yang akan dilakukan oleh para legislator muda. Tidak ada yang salah dengan semua ide-ide baik itu. Namun ia menggarisbawahi, dinamika politik di lapangan tidak semudah menyusun kalimat dalam teori.
Leave a Reply