Wartawan Indonesia Ikuti Perjalanan Paus Fransiskus: Kesederhanaan Bukan Pencitraan

“Pilihan-pilihan yang Paus buat itu kan bukan pilihan-pilihan baru gitu, beliau memakai jam tangan yang murah atau beliau pakai mobil yang murah, itu bukan sesuatu katakanlah orang membangun pencitraannya, tidak,”

Tiga orang jurnalis dari media massa Indonesia berkesempatan mengikuti perjalanan Apostolik Paus Fransiskus di Asia Tenggara, mulai berangkat dari Roma, terbang ke Indonesia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura, hingga kembali lagi ke Roma. Ketiga orang jurnalis tersebut adalah Bonifasius Josie Susilo Hardianto dari Kompas, Fransisca Christy Rosana dari Tempo, dan Bambang Trismawan dari Harian Rakyat Merdeka.

Melalui podcast Back to BDM Budiman Tanuredjo yang tayang 27 September 2024, satu dari ketiga wartawan itu, Bonifasius Josie Susilo Hardianto membagikan pengalamannya selama 12 hari berturut-turut mengikuti perjalanan dan kegiatan Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Katolik di dunia.

Awal Penugasan

Saat pertama kali mendengar kabar bahwa Paus akan melakukan ke Indonesia, Josie tidak pernah memiliki bayangan atau pikiran akan diberangkatkan oleh kantornya untuk mengawal perjalanan Paus dari Roma hingga kembali lagi ke Roma. Sebagai wartawan, ia hanya memperkirakan akan meliput kegiatan Paus saat tiba di Indonesia dan selama kunjungan di Jakarta saja.

Baginya, kesempatan ini jauh dari sekadar keberuntungan. Ia merasa mendapat kelimpahan karena dipercaya untuk melakukan peliputan istimewa ini. Namun, di sisi lain Josie juga merasa tugas ini sebagai sebuah beban berat yang harus ia selesaikan dengan baik.

“Sebenarnya itu sebagai sebuah beban, sebenarnya beban yang berat. Tentu saya bayangkan waktu itu ini bukan hanya mencatat sebuah sejarah, tapi juga mencatat tentang Paus, juga kehadiran seseorang yang selama ini ditokohkan, dia sosok utama yang ada dalam gerakan moral dunia terutama berbicara soal migran kemudian kelompok-kelompok yang tersisihkan, seperti itu,” ujar Josie.

Selaim 3 wartawan dari Indonesia, dalam perjalanan itu terdapat kurang lebih 80 wartawan lain yang berasal dari Timor Leste, Singapura, dan biro-biro kantor berita asing yang ditugaskan di Vatikan.

Ia menyebut semua biaya perjalanan yang dikeluarkan para wartawan sepenuhnya berasal dari perusahaan masing-masing, jadi tidak ada fasilitas khusus dari pihak Paus ataupun Vatikan.

Bonifasius Josie Susilo Hardianto dalam Back to BDM.

Mulut Tercekat di Pertemuan Pertama

Dalam penerbangan dari Roma ke Indonesia yang memakan waktu 13 jam lamanya, di situlah pertama kali Josie berjumpa dan berinteraksi secara langsung dengan Bapa Suci. Sebagai seorang Katolik, Josie mengalami gejolak emosional tersendiri ketika pimpinan tertinggi di agamanya ada di depan mata. Hal itu tentu sangat wajar dan mudah dimaklumi.

Akibatnya, ia tak bisa banyak bicara, apalagi mengajukan pertanyaan ketika Paus datang menghampirinya untuk bersalaman, meski sebenarnya ada beberapa pertanyaan dan permohonan khusus yang ia siapkan untuk disampaikan kepada Paus.

Ya, di tengah pesawat yang mulai mengudara itu Paus menghampiri dan menyalami satu per satu wartawan yang membersamainya, termasuk Josie.

“Kami semua disalami dan kami bisa menjabat tangan beliau dengan leluasa, cukup lama. Tidak banyak sebenarnya yang bisa kami bicarakan, karena ya itu tadi saya tercekat enggak bisa ngomong apa-apa. Mau tanya juga enggak tahu, sebenarnya saya sudah menyimpan beberapa pertanyaan tetapi kemudian tidak bisa sempat saya sampaikan,” ujar Editor Internasional dan Wartawan Senior Harian Kompas itu.

Lidahnya tak kuasa mengucap pertanyaan yang sudah disiapkan, ketika bersalaman pun ia tak terpikir untuk mencium tangan Paus yang ada di genggaman. Ia termangu, melihat Paus ada di hadapannya. Hanya ucapan terima kasih yang sempat ia sampaikan pada Paus, karena mau mengunjungi dan memperhatikan masyarakat Indonesia.

“Saya tidak pernah menduga bahwa akan bertemu sedekat Itu dengan Paus, hal yang pertama. Hal yang kedua adalah saya bertemu dengan sosok yang sedemikian rendah hati, sedemikian low profile,” Josie mencoba menjelaskan kondisi hatinya saat itu.

Sedianya, Josie ingin menanyakan dua hal, pertama apa yang ada di pikiran Paus ketika melihat dunia dalam kondisi yang makin memburuk setiap harinya, misalnya perang meletus di banyak tempat. Kedua, apa pandangan Paus soal kondisi demokrasi di Indonesia yang saat ini tengah kritis.

“Tetapi sampai akhir memang saya tidak menanyakan itu lagi,” kata Josie.

Selain berniat mengajukan pertanyaan, Josie dan Cica wartawan Tempo, juga berniat akan meminta berkat ketika pertama bertemu Paus. Namun lagi-lagi hal itu tidak terlaksana. Meski sesungguhnya Paus menyapa mereka satu per satu dengan tidak tergesa. Ada cukup waktu yang dimiliki, namun lagi-lagi lidah kelu untuk bisa menguntai kalimat memohon berkat.

“Saya sebenarnya sudah menyiapkan satu tas penuh dengan rosario, saya minta berkat itu pun juga tidak bisa, enggak kejadian itu. Rosario yang saya bawa kemudian saya serahkan kepada Cica dan kemudian Cica memasukkan rosario juga yang dia bawa pada saat di situ. Kemudian baru Cica bisa minta berkat untuk rosario-rosario yang kami bawa itu,” ungkap Josie.

Ia menceritakan bagaimana teman-teman wartawan dari negara lain yang berbicara dengan Paus, mengajukan permintaan sederhana, dan dituruti oleh Paus dengan begitu mudahnya.

Misalnya wartawan dari Spanyol yang bercerita tentang seorang anak yang ditikam, ia meminta Paus untuk memberikan tanda tangan pada kaos yang nanti akan diserahkan pada anak itu. Paus mendengarkan dengan seksama dan memenuhi permintaan itu.

Bambang, Wartawan Indonesia dari Suara Rakyat Merdeka juga mencium tangan paus ketika bersalaman dan meminta Paus menandatangani buku karya Duta Besar Indonesia untuk Vatikan Trias Kuncahyono berjudul “Francis Pope for the People” yang ia bawa.

“Paus juga memberikan, gitu. Kami hampir 80 orang di pesawat, satu persatu ditemui dan dengan kondisi Paus yang kesehatan fisiknya demikian itu membuat saya yang pertama kali melihat beliau merasa bahwa apa yang dia miliki itu memang benar-benar di diabdikan. Dia tidak segera meninggalkan kami, tidak segera berlalu, dan kemudian mendengarkannya sepintas tidak, semua diperhatikan dengan detail,” ungkap Josie.

Refleksi Diri Pasca Perjumpaan dengan Paus

Di mata penerima anugerah Wartawan Media Cetak Terbaik dari Adam Malik Award (2018) itu, Paus Fransiskus adalah orang suci, orang dengan kehormatan dan posisi yang demikian tinggi, namun hidupnya penuh dengan kesederhanaan.

Paus Fransiskus tidak menggunakan simbol-simbol kepausan seperti salib berwarna emas dan sepatu merah yang biasanya digunakan oleh seorang Paus. Ia tidak membiasakan diri hidup dalam kemewahan meski sebenarnya hal itu mudah saja ia dapatkan, karena ia adalah Kepala Negara sekaligus Pemimpin Tertinggi Takhta Suci Vatikan.

Paus juga mengabdikan hidupnya untuk memihak pada orang-orang miskin, kelompok tertindas, lara migran, dan sebagainya. Kaulnya adalah kaul kemiskinan, sebagaimana tersimpan di balik nama Fransiskus, nama kepausan yang digunakannya.

“Apalah saya ini, dalam arti tertentu kan sebagai wartawan ya boleh dikatakan medior atau senior di Kompas dengan banyak pengalaman, semua hal yang saya miliki seolah-olah kemudian runtuh juga di depan beliau yang memosisikan diri yang sedemikian (sederhana) itu. Refleksi saya kemudian ya tidak ada artinya itu segala hal yang berkaitan dengan jabatan, kekuasaan, segala macam,” ungkap Josie.

Hampir dua pekan lamanya selalu bersama dengan rombongan Bapa Suci, BDM pun bertanya pada Josie apakah ia merasa menjadi manusia yang lebih suci, semakin rajin ke gereja, membaca doa, dan sebagainya. Namun dengan singkat Josie menjawab tidak.

“Enggak, saya mungkin (lebih meniru) cara-cara Paus berdoa dengan hening. Itu mungkin lebih pas dengan saya. (Merasa lebih) Religius pun juga tidak. Kalau Paus saja begitu, masa aku enggak gitu loh,” ujar Josie.

Di matanya, Paus bertingkah laku menunjukkan bahwa ia merasa cukup dengan apa yang dia miliki saat ini. Jadi, ia pun harus melakukan hal yang sama. Josie saat ini mengaku harus belajar untuk merasa cukup dengan apa yang dimiliki dan senantiasa mengucap syukur setiap harinya.

“Saya menemui pribadi yang sangat otentik dan saya disentuh oleh otentisitas itu. Itu yang kemudian membuat saya sampai pada titik bahwa ya sudah, saya cukup dengan ini,” kata Josie.

“Sebagai wartawan adalah sarana, bahwa yang berikutnya itu yang penting bagaimana saya meletakkan kewartawanan ini, profesi ini, bagaimana lewat ini saya harus melakukan apa, menyuarakan apa, itu jadi tidak berhenti sampai di situ,” lanjutnya.

Bonifasius Josie Susilo Hardianto dalam Back to BDM menceritakan pengalaman ikut perjalanan apostolik Paus ke Asia-Pasifik.

Kesederhanaan Paus Bukan Pencitraan

Selain tidak mengenakan salib emas dan sepatu merah yang menunjukkan posisi tingginya sebagai seorang Paus, Paus Fransiskus juga menghebohkan masyarakat Indonesia dengan bentuk nyata kesederhanaan yang ia tampilkan.

Mulai dari menggunakan pesawat komersil untuk perjalanan lawatannya ke Indonesia, menolak tawaran mobil mewah untuk mobilitasnya selama di Jakarta, hingga memilih kantor Kedutaan Besar Vatikan sebagai lokasi istirahatnya, bukan hotel apalagi sampai meminta yang berbintang lima.

“Pilihan-pilihan yang Paus buat itu kan bukan pilihan-pilihan baru gitu, beliau memakai jam tangan yang murah atau beliau pakai mobil yang murah, itu bukan sesuatu katakanlah orang membangun pencitraannya, tidak. Tidak hanya soal kaul kemiskinan, kita bisa melihat banyak orang yang berkaul kemiskinan pun hidup dalam kemewahan,” jelas Josie.

Menurut Josie, Paus memandang segala bentuk kenikmatan dalam hidup adalah sarana yang harus digunakan sebaik mungkin untuk menyelamatkan jiwa-jiwa. Maksudnya, menjadi apapun, memiliki apapun, Paus tidak akan menyombongkan dan memanfaatkannya untuk kepentingan atau kesenangan duniawi. Sebaliknya, semua keistimewaan yang dia miliki akan dia abdikan untuk seluas-luasnya kesejahtaraan umat manusia.

Josie yang berkesempatan untuk bisa berada lebih dekat dengan Paus selama kunjungan apostolik itu juga menceritakan bahwa apa yang dimakan oleh Paus adalah makanan yang sama yang dimakan oleh semua rombongan.

“Sama seperti yang kami makan. Sama, di semua tempat sama dengan yang dimakan saya. Saya yakin sama itu. Enggak ada permintaan khusus, permintaan khususnya adalah memilih yang paling sederhana itu,” ungkap Josie.

Meski di awal sempat tercekat untuk menyampaikan pertanyaan dan permintaan khusus pada Paus, namun di bagian akhir perjalanan, Josie berhasil mendapatkan tanda-tangan dari Paus yang ia dedikasikan untuk kantornya. Ia memintanya melalui perantara juru bicara Paus Fransiskus, Matteo Bruni.

“Saya minta tanda tangan untuk Kompas itu  lewat Matteo Bruni, bisa sangat mungkin bahwa pada saat itu juga Bruni nolak, ‘maaf enggak bisa, enggak bisa’, tapi ‘oke’. Saya tunggu, saya enggak tahu kapan dikembalikan (kertas untuk tanda tangan), tapi maksud saya entah nanti waktu mendarat atau di mana saya enggak tahu. Tapi setelah saya serahkan, karena habis makan waktu itu saya ngantuk saya tidur, begitu terbangun sudah ada di depan, sudah dikembalikan dengan tanda tangan beliau,” kisah Josie.

Saat ini, tanda tangan itu masih ia simpan, dan jika Pimimpin Redaksi berkenan maka akan ia serahkan untuk Kompas.

Cerita Josie selengkapnya terkait pengalamannya menjadi salah satu dari 3 wartawan Indonesia yang ditugaskan meliput perjalanan apostolik Paus Fransiskus ke Asia-Pasifik, dapat Anda simak melalui video di kanal YouTube Budiman Tanuredjo atau melalui tautan di bawah ini:


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *