“…Kalau nanti akhirnya teman-teman PDIP gabung di pemerintahan, ya memang harus terus disuarakan bahwa DPR itu adalah fungsinya check and balances, baik itu atas nama institusi perwakilan partai maupun individu-individu,”
Rencana pertemuan antara Prabowo Subianto dengan Megawati Soekarno Putri dinilai sebagian pihak akan terkait dengan bergabungnya PDI Perjuangan ke dalam koalisi pendukung pemerintah, Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus.
Jika ini benar terjadi, sejumlah pihak mengaku khawatir karena itu berarti tak ada lagi partai politik yang tersisa di luar kekuasaan. Jika PDIP masuk KIM, semua partai yang memiliki kursi di DPR otomatis ada di barisan pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran. Pemerintahan dengan dukungan absolut semacam ini tentu akan menghilangkan unsur oposisi, sehingga bukan tidak mungkin pemerintahan akan berjalan tanpa adanya kontrol dan rawan penyelewengan.
Dalam satu Meja The Forum Kompas TV (25/9/2024) dengan tema “Pertemuan Prabowo Megawati, Bagaimana Nasib Oposisi?”, hal tersebut menjadi salah satu pembahasan dan mendapat tanggapan beragam dari sejumlah narasumber yang hadir.
Kontrol tetap hidup meski dalam lingkar koalisi
Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari dan Pengamat Politik Adi Prayitno menyarankan agar PDIP tetap membersamai rakyat sebagai partai di luar pemerintahan. Mereka sungguh tidak bisa membayangkan, bagaimana demokrasi akan berjalan tanpa adanya partai oposisi yang melakukan pengawasan dan kontrol.
Namun, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburrahman menegaskan kontrol tetap bisa dilakukan meski semua partai ada di dalam pemerintahan. Hal ini menurutnya sebagaimana berlangsung selama lima tahun terakhir.
“Jangan dikatakan bahwa persatuan itu akan mengabaikan check and balances ya, apalagi distigma merugikan. Menurut saya enggak pas juga ya, karena namanya check and balances itu tetap bisa berjalan kok walaupun di level elite ada persatuan, tetap bisa berjalan,” kata Habib.
Ia mencontohkan salah satu bukti yang menunjukkan partai pemerintah tetap bisa bersikap kritis dan sikap itu diterima bahkan pandangannya menjadi kebijakan baru di DPR. Misalnya lahirnya konsep restorative justice dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Terlepas dari itu semua, Habib mengapresiasi pandangan yang datang dari para akademisi yang mengkhawatirkan partai-partai politik akan kehilangan sikap kritisnya ketika masuk menjadi bagian kekuasaan. Kritik dan masukan tetap diperlukan, selama tujuannya adalah untuk meningkatkan produktifitas, bukan untuk menjatuhkan.
Meski tidak menampik apa yang dikemukakan Habib, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menyebut hasil pelacakannya dalam pemerintahan SBY juga Jokowi 20 tahun belakangan, ada kecenderungan posisi partai politik di luar atau di dalam sangat menentukan sikap politiknya.
Misalnya UU Omnibuslaw yang mendapat penolakan dari Demokrat dan PKS, karena dua partai politik itu berada di luar pemerintahan Jokowi sehingga berani menunjukkan resistensinya.
Ke depan, bukan tidak mungkin jika pemerintah akan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Tarif Dasar Listrik (TDL).
“Kalau semua partai menjadi bagian dari kekuasaan pemerintah, sulit saya membayangkan di Rapat Paripurna mereka acung tangan dan menolak kenaikan BBM itu mengingat posisinya ada di dalam, beda ceritanya ketika dia di luar. Sehebat apapun keputusan pemerintah pasti akan ditolak. Itu yang dilakukan oleh PKS, itu yang dilakukan oleh Demokrat sepanjang menjadi oposisi di zamannya Pak Jokowi,” ungkap Adipray.
Namun, Habiburrahman tetap pada pandangan yang didasarkan oleh pengalaman pribadinya menjadi anggota DPR, setidaknya dalam 5 tahun terakhir. Ia menyebut DPR senantiasa menyerap berbagai aspirasi yang datang dari masyarakat. Dan ketika didiskusikan, ternyata suara publik itu banyak yang saling bersinggungan dan berkesuaian dengan suara-suara yang dimiliki partai politik di dalam DPR.
Politisi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia meyakini setiap partai politik memiliki kebijakan dan strategi masing-masing untuk mengimplementasikan ideologi dan visi internal partainya.
Terkait dengan koalisi besar pendukung pemerintahan Prabowo-Gibran, bahkan jika mungkin nantinya PDIP memutuskan turut bergabung ke dalamnya, Doli menyebut pemerintah ini harus memiliki komitmen dan kesepakatan untuk membuka pintu kritik, tidak berlaku otoriter, mau menerima saran, dan sebagainya.
“Semua orang jadi akhirnya bebas untuk menyampaikan apa saja. Walaupun kita berada dalam satu pemerintahan, terhadap beberapa hal yang menurut masing-masing pada kasus-kasus tertentu itu berbeda,” ujar Doli.
DNA PDIP DNA oposisi…
PDI-P dinilai publik sebagai partai politik yang cocok menjadi oposan atau partai yang berdiri di luar pemerintahan. Hal ini berangkat dari kegarangan dan sikap kritis yang dimiliki dan ditunjukkan partai bergambar kepala banteng itu selama menjadi oposisi dalam 10 tahun pemerintahan SBY. Sikap kritis itu seolah memudar ketika PDI-P menjadi penguasa, misalnya pada hampir 10 tahun pemerintahan Jokowi.
Ketua DPP PDI Perjuangan Deddy Sitorus tidak setuju dengan penilaian tersebut. Menurut Deddy, partainya tetap bersikap kritis dan terbuka dengan kritik, baik ketika di dalam maupun di luar pemerintahan.
“Zaman Ibu Megawati jadi presiden itu fraksi dan partai minta izin lkepada Ibu Mega. Jadi kita di dalam atau di luar tetap pasti akan bersikap kritis dan itu kita tunjukkan di DPR. Silakan dicek TV Parlemen, apakah di setiap komisi itu walaupun kita di dalam pemerintahan kita ini ikut-ikutan saja gitu ya, tidak kritis, tidak menyampaikan keberatan atau pandangan yang berbeda, saya kira tidak,” sebut Deddy.
Baginya, perbedaan pendapat dan adanya kebebasan untuk menyampaikan argumen berbeda merupakan bagian dari kemewahan hidup berdemokrasi. Yang menjadi masalah justru ketika semua partai politik selalu mengiyakan apa kata penguasa, kontrol akan hilang.
Jika PDIP merapat ke Pemerintahan Prabowo…
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari merasa publik akan kehilangan harapan jika PDI Perjuangan benar-benar akan menyatakan bergabung dengan koalisi pendukung pemerintah 5 tahun ke depan.
Saat ini, PDIP menjadi satu-satunya partai politik yang tersisa di luar KIM Plus.
“Keberadaan PDIP dengan 16 persen (suara Pilpres), (sebagai partai) pemenang pemilu, itu akan cocok sebagai alternatif publik dalam menyuarakan kepentingan-kepentingan publik. Kalau lah PDIP memilih bergabung, ke mana lagi publik akan mengadu, semua sudah di perahu yang sama,” kata Feri.
Feri berharap PDIP akan tetap membersamai publik, menjadi wadah bagi publik yang tidak sejalan dengan pemerintah dengan tetap bersikap kritis, namun tanpa perlu gontok-gontokan dengan penguasa.
PDIP diperlukan menjadi oposisi yang baik dengan strategi yang baik. Sehingga publik memiliki alternatif pilihan ketika ke depan pemerintahan tidak berjalan dengan baik.
“Ketika pemerintahan ke depan tidak berjalan baik, pilihan kami adalah alternatifnya. Kalau pemerintahan berjalan baik, mohon maaf PDIP, nanti dulu, kami akan lanjutkan dengan pemerintahan,” jelas Feri.
PDIP dengan suaranya yang hanya 16 persen memang tidak akan signifikan ketika melawan dominasi partai pemerintah di DPR yang mencapai 84 persen. Namun, tetap saja itu adalah hal baik yang patut untuk dipertahankan.
Namun, Adi memahami mengapa Prabowo ingin juga merangkul PDIP masuk ke dalam jajaran pemerintahannya.
“Ini mungkin sangat terkait dengan bagaimana (Prabowo) mengorkestrasi partai koalisinya di dalam, karena ada kemungkinan akan ada satu partai politik yg agak nakal dan sulit untuk dikendalikan. Butuh PDIP sebagai partner di situ yang bisa dipastikan akan mendukung segala hal yang nantinya berkaitan dengan kepentingan politik Prabowo Subianto,” ungkap Adi.
Di lain pihak, PDIP sangat dinantikan bagaimana penjelasan yang akan disampaikan kepada konstituennya jika pada akhirnya mereka merapat ke koalisi pemerintahan. Terlebih dalam kurun waktu hampir satu tahun terakhir PDIP diketahui memiliki hubungan yang kurang baik dengan Presiden Jokowi dan keluarganya. Lantas, jika PDIP menyatakan dukungan terhadap Prabowo yang menjadikan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai wakilnya, apa penjelasan yang bisa dikemukakan?
Deddy Sitorus mengajak publik untuk tidak buru-buru mengambil kesimpulan, karena pertemuan Prabowo dan Megawati belum terjadi, apalagi keputusan untuk bergabung atau tidak, menurutnya itu sesuatu yang masih jauh.
Secara perolehan suara, ia menyadari 16 persen bukanlah angka yang signifikan untuk melawan 84 persen dominasi partai kekuasaan, termasuk dalam pengambilan keputusan. Namun hal itu tidak lantas membuat PDIP memutuskan untuk melebur dengan kekuasaan.
“Belum sampai ke sana, masih ada waktu untuk kita memikirkan secara serius, masih banyak hal yang akan dibicarakan tentu ke depannya,” ujar Deddy.
Ia justru ingin meluruskan cara berpikir kita sebagai negara yang menganut sistem presidensial, dalam konstitusi disebutkan pihak penyeimbang pemerintahan eksekutif adalah lembaga legislatif, yakni DPR dalam konteks pusat, bukan partai politik.
Golkar pun membenarkan apa yang disampaikan Deddy. Bagaimanapun komposisi partai di dalamnya, fungsi dari DPR adalah melakukan check and balances.
“Kita juga jangan kemudian terjebak terus ya dengan istilah koalisi dan oposisi itu, kita kembalikan saja ke treknya. Kalau nanti akhirnya teman-teman PDIP gabung di pemerintahan ya memang harus terus disuarakan bahwa DPR itu adalah fungsinya check and balances, baik itu atas nama institusi perwakilan partai maupun individu-individu,” kata Doli.
Menurutnya, jika seseorang sudah menjadi anggota DPR, tanggung jawabnya bukan sekedar pada partai politik yang menjadi asalnya, namun juga terhadap para pemilih atau konstituennya. Dalam hal ini, masyarakat pemilih di daerah-daerah bisa saja memiliki suara yang berbeda dengan apa yang menjadi keputusan di pusat.
Saksikan dialog lengkap terkait kemungkinan PDIP bergabung dalam koalisi pendukung Prabowo-Gibran melalui video berikut:
Leave a Reply