Budiman Tanuredjo
“Aksi Kamisan adalah ikhtiar untuk merawat ingatan bangsa. Ingatan akan sejarah kekerasan yang menjadi sejarah hitam bangsa. Daya tahan Aksi Kamisan yang sudah ke-833 sungguh luar biasa. Memperjuangan keadilan memang tidak mudah. Berpanas-panas, berteriak-teriak, menuntut keadilan di pusat kekuasaan. Di depan istana,”
Kamis, 26 September 2024, sore. Saya tiba di depan Istana Negara. Puluhan tentara berada di sekitar Monumen Nasional. Alat-alat berat tentara di parkir di halaman Monas untuk persiapan Hari TNI, 5 Oktober 2024. Langit gelap menggelayut di sekitar Istana. Tanda-tanda hujan akan turun. Persis di depan istana, sekitar 100-an aktivis tua atau muda berkumpul dengan kaos hitam dan payung hitam. Mereka melakukan aksi diam di depan Istana Negara. Ritual diam diteruskan dengan refleksi perjalanan bangsa ini yang kadang diwarnai dengan kekerasan.
Aksi protes tiap hari Kamis itu disebut, “Kamisan”. Maria Chatarina Sumarsih, ibunda dari Norma Imawan, yang tewas ditembak aparat pada saat terjadinya Tragedi Semanggi 13 November 1998, adalah satu motor aksi. Ia gigih memperjuangkan keadilan atas tewasnya Wawan, mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta. Aksi Kamisan, 26 September 2024 adalah Aksi Kamisan ke-833.
Aksi Kamisan terinspirasi gerakan The Mothers of The Plaza de Majo di Argentina. Kelompok di Argentina ini didukung ibu-ibu yang anaknya hilang diculik oleh rezim militer di Argentina dan dimulai sejak tahun 1977. Argentina telah berhasil menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia masa lalu dengan mengadili sejumlah pelakunya di pengadilan. Di Indonesia, perjuangan melawan impunitas masihlah panjang.
Teriakan. “Hidup korban. Jangan Diam. Lawan!” Pembawa acara beberapa kali meneriakkan yel-yel menyemangati keluarga korban. Korban Peristiwa Tahun 1965 menyampaikan orasi. Seorang mahasiswa membacakan puisi. Sumarsih, ibu yang tampak kian renta, ini menyampaikan orasi, mengenang 25 Tahun Tragedi Semanggi II, yang terjadi pada 24 September 1999.
Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) mengirim surat kepada Presiden Jokowi. Dalam suratnya, JSKK menulis, “tahun ini genap 25 tahun telah berlalu tragedi Semanggi II, pada 24 September 1999. Setidak 11 mahasiswa tewas dan 217 luka-luka akibat pembubaran paksa oleh ABRI dalam aksi penolakan Rancangan UU Penanggulangan Keadaan Bahaya serta menuntut pencabutan Dwi Fungsi ABRI di depan Gedung DPR. Aparat merespons aspirasi masyarakat dengan brutal melalui pemukulan, gas air mata, hingga tembakan pelutu tajam. Namun hingga kini pelaku pelanggaran HAM dalam Tragedi Semanggi II tak kunjung diadili. Bahkan, 16 Januari 2020 silam, Jaksa Agung justru menyatakan bahwa Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II bukanlah pelanggaran HAM berat.”
“Impunitas yang terus mengakar memberikan ‘karpet merah’ bagi actor negara dan non-negara untuk turut merepresi masyarakat yang memperjuangkan hak-hak mereka,” tulis Presidium JSKK. JSKK menuntut Presiden Jokowi untuk menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM berat, mengevaluasi kinerja aparat keamanan untuk mencegah terjadinya keberulangan tindak kekerasan dan pelanggaran HAM.”
Saya bertanya pada seorang fotografer yang selalu hadir dalam Aksi Kamisan. Menurut dia, ada perubahan dari orang yang hadir. “Biasanya aktivis 1998, aktivis tua yang datang. Tapi sekarang banyak generasi Z ikut hadir. Selebritis juga kadang tampik ke podium.” Para aktivis yang hadir pun tampil modis.
Aksi Kamisan selain menuntut pertanggungjawaban juga menjadi ajang pendidikan politik bagi generasi muda mengenai sejarah bangsanya. Sejarah yang diceritakan dalam perspektif korban. Dalam perspektif orang yang kalah atau dikalahkan. Bukan, sejarah yang ditulis elit atau sang pemenang.
Saat saya tiba Aksi Kamisan belum dimulai. Ada mahasiswa berkaus hitam duduk seorang diri. Dia menyapa saya, “Mau ikut Kamisan.” Saya jawab, “Iya.” Ia menceritakan bahwa dirinya adalah mahasiswa Universitas Atma Jaya Jakarta yang sedang menulis skripsi psikologi sosial. Ia datang ke Kamisan untuk mendengarkan kesaksian dari korban kerusuhan tahun 1998.” “Saya sedang meneliti kekerasan 1998,” ujar mahasiswa asal Bandung.
Makin sore makin banyak generasi milenial yang datang. Mereka berkumpul. Bercengkerama dan mendengarkan penuturan Sumarsih. Dalam percakapan seorang mahasiswa bertanya, “teman saya banyak yang mau ke sini, bagaimana caranya Bu.” Dan dijawab, Sumarsih singkat,” Bisa pakai Google Map.”
Aksi Kamisan adalah ikhtiar untuk merawat ingatan bangsa. Ingatan akan sejarah kekerasan yang menjadi sejarah hitam bangsa. Daya tahan Aksi Kamisan yang sudah ke-833 sungguh luar biasa. Memperjuangan keadilan memang tidak mudah. Berpanas-panas, berteriak-teriak, menuntut keadilan di pusat kekuasaan. Di depan istana.
Di tempat dan waktu berbeda di Gedung MPR. Pimpinan MPR mengambil keputusan politik untuk menghilangkan nama “mantan Presiden Soeharto” dari Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dalam pasal 4 Tap MPR No XI/1998 ditulis, “pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya, maupun pihak swasta/konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak asasi manusia.
Selain Soeharto, Pimpinan MPR juga mencabut Tap MPR soal Sukarno tahun 1967 dan soal Presiden Abdulrahman Wahid. Penghapusan nama Soeharto dalam Tap MPR diusulkan Partai Golkar. Adapun soal Abdurrahman Wahid diusulkan Fraksi PKB. Sedang soal Sukarno adalah aspirasi PDI Perjuangan.
Wakil Ketua MPR Fadel Muhammad menyebut pencabutan nama-nama mantan Presiden dalam Ketetapan MPR tersebut adalah simbol rekonsiliasi nasional. Namun pandangan itu dikritik Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional.
“Itu langkah mundur. Jalan pengusutan kejahatan korupsi, kerusakan lingkungan ataupun pelanggaran hak asasi manusia belum selesai diungkap,” kata Usman Hamid (Kompas, 27 September 2024.
Tap MPR No XI/MPR/1998 lahir di tengah tekanan unjuk rasa besar di sekitar Jakarta. Kini, Tap MPR itu diedit Pimpinan MPR? Ada pertanyaan memang? Apa bisa Tap MPR diubah oleh Pimpinan MPR, bukan melalui Sidang MPR? Dalam logika hukum, sebuah undang-undang diubah dengan undang-undang. Sebuah keppres diubah dengan keppres. Sekarang pertanyaannya: apakah bisa Tap MPR yang dibuat dalam Sidang MPR, diubah oleh Pimpinan MPR? Biarlah para ahli hukum menjawabnya.
Dua peristiwa Kamisan di Istana dan “editing” Tap MPR di Senayan, menunjukkan betapa teralienasinya rakyat dan elite politik. Rakyat dan korban terus berjuang menyuarakan keadilan dalam demokrasi yang partisipatif. Tapi elite politik anggota MPR menghapus penyebutan nama “mantan Presiden Soeharto” dalam Tap MPR, menggunakan mekanisme demokrasi yang terpimpin (incorporated democracy).
Korupsi, penghormatan atas hak asasi manusia, demokrasi yang terancam masih menjadi pekerjaan rumah besar bangsa ini. Hormat pada hak asasi manusia adalah asas dasar bagi tegaknya demokrasi. Maka bila demokrasi mengubur masalah hak asasi manusia, sama saja demokrasi menyediakan liang kubur sendirinya. GP Sindhunata (2023) dalam buku Simpang Jalan mengatakan, “Kira-kira itulah sebabnya mengapa demokrasi kita terseok-seok dan bila tak berhati-hati akan menuju titik bekunya.”
Kembali maraknya korupsi, permisif terhadap impunitas, demokrasi yang teregresi, memberikan sinyal terjadinya gelombang balik demokrasi. Paul Pierson (2000) dalam buku “Increasing Return, Path Dependency and The Study of Politics” menyebutkan teori “path dependency”. Teori itu memberikan kerangka bahwa apa yang telah diletakkan pada masa lalu akan sulit diubah di masa depan. Kerangka, struktur, perilaku politik, budaya politik masa lalu, bisa saja tetap bertahan. Meski demikian, Pierson dalam “path dependency” membuka ruang yang bernama “critical juncture” atau situasi krisis yang bisa membelokkan jalan masa lalu.
Proklamasi 17 Agustus 1945, transisi kekuasaan Orde Lama ke Orde Baru (1967), Gerakan Reformasi 1998 adalah “critical juncture” yang seharusnya bisa membelokkan jalan bangsa memenuhi janji konstitusionalnya. Namun, mengapa “critical juncture” tidak membawa perubahan besar atau kini malah mengarah ke normalisasi situasi ke era Orde Baru adalah pertanyaan yang harus dijawab?***
Leave a Reply