Potret Ketidakseriusan Jokowi Perangi Korupsi di Indonesia

“Pak Jokowi itu koalisinya tenda besar di DPR. Maka dari itu kami ingin mengesampingkan konteks bahwa Pak Jokowi kalah dengan kekuatan lain. Dari fakta-fakta itu Pak Jokowi lah yang menjadi salah satu sumber masalah dari pelemahan pemberantasan korupsi,”

Penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia kini banyak menjadi sorotan, pasalnya di tahun 2023 Indonesia mengalami stagnansi Indeks Persepsi Korupsi (IPK), yakni di angka 34, sama dengan IPK di tahun 2022, bahkan sama dengan IPK 9 tahun lalu di 2014.

IPK yang jalan di tempat ini disebut menjadi salah satu bukti tidak adanya niat serius pemerintah yang berkuasa di sepanjang era itu, yakni Joko Widodo dalam memberantas korupsi.

Dalam podcast Back to BDM episode 19 yang tayang di akun YouTube Budiman Tanuredjo (18/9/2024), Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana hadir dan memberikan pandangannya mengenai lemahnya upaya pemerintah menindak kasus korupsi.

Kepada BDM, Kurnia megatakan Presiden Joko Widodo tidak memiliki niat serius dalam memberantas korupsi yang makin meluas di Tanah Air. Bahkan, di era pemerintahan Jokowi ini upaya pemberantasan korupsi ia nilai mengalami kehancuran. Selain tidak adanya kemajuan angka IPK, beberapa alasan lain juga dikemukakan aktivis anti korupsi berusia 32 tahun ini hingga ia bisa menyimpulkan demikian.

“Kalau di era Presiden Jokowi kehancuran pemberantasan korupsi itu nyata dan mudah dibuktikan,” kata Kurnia.

Kehancuran itu terbukti dengan disahkannya RUU KPK yang banyak ditentang oleh masyarakat dan akademisi, karena dianggap dapat melemahkan lembaga anti rasuah itu. RUU KPK diketahui telah memangkas kewenangan dan menggerogoto independensi KPK sebagai lembaga utama penanganan korupsi di Indonesia. KPK kini juga diletakkan di bawah rumpun kekuasaan eksekutif dengan pegawainya berstarus Aparatur Sipil Negara (ASN).

Presiden sebagai salah satu pihak yang memegang konsensus dalam pembentukan aturan atau undang-undang pun dipertanyakan perannya. Jika Presiden berkomitmen meningkatkan upaya pemberantasan korupsi, semestinya ia menolak usulan revisi UU KPK yang bergulir di DPR.

“Ketika RUU KPK disahkan dan diundangkan, Pak Jokowi tidak menandatangani RUU KPK. Di waktu yang sama keluar narasi ingin menerbitkan Perpu. Kalau ingin menerbitkan Perpu pasti dia tidak setuju dengan beleid RUU KPK dan dikonfirmasi dengan dia tidak tanda tangan undang-undang itu,” ujar Kurnia.

“5 tahun berjalan, enggak ada Perpu itu. Berarti  Pak Jokowi juga setuju dengan itu semua (revisi UU KPK),” lanjut dia.

Meski tidak mendapat tanda tangan dari Presiden, sesuai aturan konstitusi, UU yang tidak ditandatangani selama 30 hari sejak diundangkan secara otomatis akan sah diberlakukan.

Sikap yang diambil Jokowi untuk tidak menandatangani RUU KPK disebut Kurnia sebagai bentuk cuci tangan dan pencitraan. UU tidak akan jalan apabila Pemerintah tidak mengajukannya ke DPR. Kurnia ingat, ketika itu Presiden mengirimkan utusan terdiri dari Menteri Hukum dan HAM dan beberapa menteri terkair ke DPR.

“Tiba-tiba, di ujung Pak Jokowi switch tidak tanda tangan. Yang sebenarnya itu enggak ada artinya, ditandatangani atau tidak ditandatangani 30 hari (UU otomatis) berlaku,” ujar Kurnia.

Menurutnya tidak ada kekuatan besar yang menekan Jokowi sehingga ia membiarkan KPK melemah dengan membiarkan revisi UU KPK terjadi. Meski isu itu sempat merebak, namun tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Terlebih, pemerintahan Jokowi didukung oleh mayoritas partai politik yang ada di DPR yang memungkinkan dirinya menggalang kekuatan legislatif demi mengesahkan undang-undang soal korupsi sesuai dengan visi besarnya dalam pemberantasan korupsi.

Sebaliknya, Presiden sendiri lah yang kini dicurigai memiliki kepentingan untuk melemahkan penanganan korupsi Indonesia. Misalnya dengan tidak ada upaya perbaikan atau evaluasi atas melorotnya kualitas penanganan korupsi hari ini, hingga sebulan jelang habis periode kekuasaannya.

“Seandainya ada tekanan, tidak ada upaya perlawanan di tengah dominasi kekuatan pemerintah di legislatif. Berarti apa, kalau kondisi seperti itu ya sedari awal inilah keinginan Pak Jokowi,” ungkap Kurnia.

“Dari fakta-fakta itu Pak Jokowi lah yang menjadi salah satu sumber masalah dari pelemahan pemberantasan korupsi,” imbuhnya.

Hal lain yang membuat Kurnia mengatakan ada kemunduran penanganan korupsi di era Jokowi adalah menurunnya angka kepercayaan publik terhadap KPK yang dikonfirmasi tidak hanya oleh ICW, namun juga lembaga survei kredibel lainnya.

Kurnia yang sudah bergabung di ICW sejak 2016 ini menyebutkan aturan lain yang  juga diubah sehingga membuat korupsi tak lagi menjadi kejahatan luar biasa seperti seharusnya dan menegaskan tidak adanya komitmen pemerintah untuk menegakkannya.

“Kalau seandainya Pak Jokowi itu betul-betul komit soal pemberantasan korupsi, di dalam dokumen Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana kita semua mengakui permasalahan korupsi itu menjadi masalah laten, hukuman bagi terdakwa kasus korupsi itu sangat ringan. Harusnya hukumannya kan ditingkatkan, namun kenyataannya RKUHP yang dibangga-banggakan oleh Pemerintah saat ini menurunkan hukuman bagi pelaku korupsi,” sebut lulusan FH USU itu.

“Ada Rancangan Undang-undang Pemasyarakatan, jadi jangan heran kalau sekarang terpidana kasus korupsi itu lebih cepat keluar dari penjara karena mereka mendapatkan diskon hukuman yang sama dengan pelaku kejahatan pidana umum. Konteks korupsi sebagai pidana khusus itu hilang di era Presiden Jokowi,” Kurnia melanjutkan.

Belum lagi aturan soal perampasan aset yang sampai detik ini tidak diundangkan dan ada pembatasan transaksi uang kartal. Semua itu membuat paket-paket penting pemberantasan korupsi benar-benar diabaikan.

Pasca Revisi UU KPK

Setelah RUU KPK disahkan, terjadi sejumlah perubahan signifikan di dalam tubuh KPK sebagai sebuah institusi. Misalnya, pegawai KPK menjadi berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) yang salah satu proses rekruitmennya diberikan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

TWK di KPK ini sempat menjadi buah bibir karena menyingkirkan lebih dari 50 pegawai yang di antaranya dinilai memiliki rekam jejak dan integritas tinggi dalam penanganan kasus korupsi di Indonesia. Misalnya Novel Baswedan, Giri Suprapdiono, dan Yudi Purnomo.

Mereka tak lagi bisa bekerja di KPK, dengan dalih tidak lulus TWK. Padahal TWK itu telah dikonfirmasi oleh dua lembaga negara sebagai hal yang bermasalah. Pertama, Ombudsman mengatakan itu sebagai mal administrasi. Kedua, Komnasham menyebut TWK pegawai KPK melanggar hak asasi manusia.

Kurnia menganggap Jokowi sama sekali tidak menggunakan kewenangannya untuk memperjuangkan nasib para pegawai KPK yang berkualitas yang dinyatakan tidak lulus TWK. Jadi, tidak bisa dipungkiri lahir spekulasi bahwa TWK ini adalah akal-akalan untuk menjegal pegawai KPK berintegritas yang tengah membongkar kasus-kasus besar.

“Lagi-lagi Presiden mengabaikan kewenangan yang dia miliki. Panglima ASN itu kan Pak Jokowi, Pak Jokowi berhak untuk mengangkat dan memberhentikan berdasarkan UU ASN baru, tapi ternyata soal Tes Wawasan Kebangsaan kan diabaikan begitu saja, padahal punya kewenangan,” kata Kurnia.

Jokowi disebutnya kembali melakukan upaya cuci tangan, di awal ia pernah mengatakan bahwa TWK bukan untuk memberhentikan pegawai KPK. Tapi ketika itu terjadi, ia mendiamkannya dan tidak melakukan upaya apapun.

Bahkan, Ketua KPK ketika itu Firli Bahuri mengeluarkan aturan internal yang menutup kemungkinan bagi mantan pegawai KPK untuk bisa kembali bekerja di lembaga itu.

Selain soal TWK, perubahan lain lasca revisi adalah diberikannya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) yang semula tidak ada. MK memutuskan tidak memberikan kewenangan KPK untuk membuat SP3 adalah dengan tujuan agar KPK bisa lebih berhati-hati dalam menindak pelaku korupsi. Namun putusan MK tidak diikuti oleh Pemerintah dan DPR.

KPK yang saat ini berada di bawah rumpun eksekutif juga dinilai Kurnia berhasil membuat KPK lumpuh, KPK ada di bawah kontrol Pemerintah.

Melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada KPK pasca revisi UU KPK, Kurnia membaca ini sebagai suatu langkah yang memiliki latar belakang kepentingan politis, karena kebanyakan yang ditindak oleh KPK adalah aktor-aktor politik.

Selanjutnya, ia melihat ada asumsi yang coba dibangun oleh DPR bahwa KPK sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya, dalam melakukan penyadapan, dan sebagainya.

Dua alasan itu yang kemudian membuat DPR serasa wajib melakukan revisi UU KPK.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana hadir di podcast Back to BDM.

Permasalahan lain yang ada di tubuh KPK pasca revisi adalah munculnya komisioner-komisioner bermasalah yang beberapa tahun sebelumnya ditentang habis-habisan oleh masyarakat.

Sayangnya, nama-nama itu justru dipilih oleh Presiden dan juga Komisi III DPR.

“Firli Bahuri sudah menjadi tersangka, Lili Pintauli melanggar kode etik hengkang dari KPK, baru-baru ini Nurul Ghufron kena (pelanggaran) etik sedang. Berarti 60 persen yang dipilih oleh Presiden dan Komisi III adalah orang-orang yang tidak berintegritas berdasarkan rekam jejak mereka,” jelas Kurnia.

Sebelumnya, masyarakat selalu mengingatkan Pemerintah dan DPR agar memperhatikan rekam jejak seseorang sebelum ditunjuk masuk menjadi komisioner KPK. Namun, Presiden dan DPR seolah tak mau mendengarkan aspirasi dan suara yang disampaikan berkali-kali oleh masyarakat itu.

Pemilihan komisioner-komisioner bermasalah disebut Kurnia bukan hanya tidak mendengar suara masyarakat, namun juga menjadi granddesign untuk membuat citra KPK kerdil di mata masyarakat.

Akibatnya, hari ini kita bisa melihat KPK telah hancur dengan kewenangan yang dikebiri, dengan komisionernya yang problematik, dan sebagainya.

“Sejak Firli melanggar kode etik sampai dengan beberapa hari lalu Nurul Ghufron dijatuhi melanggar etik, kalau Presiden menganggap ada masalah di KPK kan harusnya bisa dia panggil itu KPK. Boleh Pak Jokowi memanggil KPK dalam konteks mengurus tata kelola kelembagaan bukan tentang penegakan hukum. Itu kan harusnya dilakukan, tapi ternyata bobol berkali-kali,” ungkap Kurnia.

Ketika 3 dari 5 komisioner KPK bermasalah seperti hari ini, tentu itu semua menjadi tanggung jawab Presiden dan Komisi III DPR sebagai pihak yang memilihnya.

Jokowi tidak serius memerangi korupsi

Atas semua yang terjadi, masyarakat akhirnya bisa melihat bagaimana pemberantasan korupsi yang ingin dilakukan oleh Presiden Jokowi. Bagaimana KPK ingin dibentuk.

Belum lagi adanya keluhan dari pimpinan KPK, Nawawi Pomolango yang mengaku sulit untuk bisa bertemu dengan Presiden. Lebih mudah petinggi ormas ketimbang pimpinan KPK untuk bisa bertemu dengan Presiden.

Kurnia mengartikan keluhan ini sebagai bentuk depresi internal KPK yang sama sekali tidak mendapat dukungan dari Presiden dalam menjalankan tugasnya memerangi korupsi.

“Akhirnya keluhan itu keluar 3 bulan jelang Pak Nawawi purna tugas, karena memang secara koordinasi KPK itu kan menjadi subsistem penting soal pemberantasan korupsi. Harusnya kalau Pak Jokowi konsern soal pemberantasan korupsi, panggil itu KPK, tanya apa kekurangan kalian, apa yang bisa saya support yang bukan terkait penegakan hukum, bisa support undang-undang. Kalian butuh undang-undang apa sih?” ujar Kurnia.

Misalnya soal perampasan aset yang selalu disampaikan oleh Jokowi namun belum ada bentuk konkretnya hingga hari ini. Padahal, beleid RUU Perampasan Aset sudah rampung sejak 2008. Presiden baru melemparkan surat presiden (surpres) terkait ini ke DPR pada 2023 kemarin.

“Loh jadi pertanyaannya 9 tahun kemarin atau 8 tahun kemarin ngapain aja, kenapa tidak didorong? Apakah Pak Jokowi tidak mengetahui langgam politik melemparkan surpres di tengah dekat dengan pemilu, DPR pasti akan fokus ke Pemilu. Kan harusnya sejak jauh hari ini diantisipasi,” sebut koordinator gerakan Turun tangan 2013-2016 ini.

Ia mengaku heran, bertemu ketua umum partai koalisi sering dilakukan oleh Presiden, tapi yang dibicarakan sebatas pada Pemilu dan Pilkada. Sementara RUU Perampasan Aset tidak dibicarakan sama sekali.

Kurnia pun menganggap seruan-seruan Jokowi soal RUU Perampasan Aset bukanlah sesuatu yang serius, melainkan manuver politik saja.

“Dan lagi-lagi ingin menunjukkan seolah-olah saya berpihak pada isu anti korupsi, jangan khawatir soal itu, saya sudah kirim surpres,  bolanya ada di DPR, jangan tagih ke saya dong, tagih ke DPR. Kan itu template-nya sampai kita itu sudah hafal. Kalau kita kritik ini, jawaban pemerintah pasti itu-itu saja,” kata Kurnia.

Setelah membedah banyak ketidakswriusan pemerintah dalam menangani korupsi dan KPK, Kurnia pun dengan yakin menyimpulkan bahwa pemberantasan korupsi bukanlah sesuatu yang diperjuangkan oleh Pemerintah. Sebaliknya, Pemerintah justru disebut mengubur mimpi tentang pemberantasan korupsi yang ideal di Indonesia.

Anda bisa menyimak dialog lengkap BDM dengan Kurnia Ramadhana di video berikut ini:


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *