Sudah Tujuh Presiden Tanpa UU Kepresidenan

Budiman Tanuredjo

“…lembaga eksekutif di bawah presiden, legislatif dan yudikatif telah memiliki regulasi etikanya masing-masing misalnya di legislatif ada UU MD3, di yudikatif ada UU MK, MA, KY dan di eksekutif ada UU Kementerian Negara, Wantimpres, TNI, Polri, dan lain-lain, sedangkan di lembaga kepresidenan belum ada. Pentingnya UU tersebut juga ditambah dengan pentingnya Lembaga Etik Kepresidenan untuk membatasi presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dan menghindari conflict of interest (COI),”

“…Seluruh lembaga tinggi negara sudah diatur oleh undang-undang. Satu-satunya yang belum diatur adalah lembaga kepresidenan. Keengganan membahas undang-undang lembaga kepresidenan hanya akan melarut-larutkan tata hubungan antarlembaga sekaligus kewenangan yang dimiliki oleh presiden….”

Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, (Kompas 27 Maret 2002).

”Kami berpendapat akan lebih baik bilamana pembahasan rancangan undang-undang tersebut dapat ditunda sampai selesainya proses amendemen UUD 1945.”

Presiden Megawati Soekarnoputri (Kompas, 10/7/2002).

“Perlu dibuat Undang-undang Lembaga Kepresidenan yang memuat secara rinci dan detail uraian tugas pokok dan fungsi seorang Presiden sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala Pemerintahan.”

Hakim Konstitusi Arif Hidayat dalam dissenting opinion putusan MK No 90/2023.

Tiga kutipan di atas saya angkat kembali dalam webinar bertema Urgensi Undang-undang Kepresidenan yang diadakan Akadami Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Rabu 11 September 2024. Saya diundang Prof Dr Ramlan Surbakti untuk ikut sumbang saran bersama Prof Dr Denny Indrayana dan Prof Dr Iwan Satriawan. Dua kutipan di atas dari Muhaimin Iskandar dan Megawati Soekarnoputri merepresentasikan wacana awal pasca Soeharto. Sedang dissenting opinion Hakim Konstitusi Arief Hidayat mewakili pandangan hakim pasca Pemilu Presiden 14 Februari 2024.

Korespondensi DPR yang diwakili Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar (27 Maret 2002) dan Presiden Megawati Soekarnoputri (10 Juli 2002) mengakhiri perdebatan soal perlunya RUU Lembaga Kepresidenan paska berakhirnya kekuasaan Presiden Soeharto. Sebanyak 33 anggota DPR menggunakan Hak Inisiatif untuk menyusun RUU (Lembaga) Kepresidenan.

Jatuhnya Orde Baru ikut menggiring DPR merespons aspirasi publik dengan merevisi lima paket UU Politik yakni (1) UU Pemilu (2) UU Susunan kedudukan (MD3) (3) UU Partai Politik (4) UU Ormas (5) UU Referendum. UU Kepresidenan justru tak banyak dibicarakan. Tim Tujuh antara lain Ryaas Rasyid, Ramlan Surbakti, Affan Gaffar, Andi Malarangeng. Djohermansyah Djohan sudah pernah membahas RUU Kepresidenan. Tapi draf RUU Kepresidenan itu tak pernah diambil sebagai prakarsa pemerintah. Ada semangat eforia, terbentuk pemerintahan baru. RUU Kepresidenan dilupakan dan tim tujuh dibubarkan.

Prakarsa untuk membuat RUU Kepresidenan diambil 33 anggota DPR dengan Hak Inisiatif dan kemudian diadopsi sebagai usul inisiatif DPR pada tahun 2001. Namun, Pemerintah enggan untuk membahasnya. Presiden Megawati melalui surat presiden meminta agar pembahasan RUU Kepresidenan ditunda sampai selesainya amandemen UUD 1945.

Perubahan UUD 1945 sudah empat kali dilakukan. Dan, Perubahan Keempat UUD 1945 disahkan tahun 2002. Namun, RUU Lembaga Kepresidenan yang disuarakan pasca ambruknya Orde Baru juga tak kunjung jadi kenyataan. Sudah tujuh presiden Sukarno, Soeharto, BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo berkuasa. Namun, UU Lembaga Kepresidenan tak pernah ada memberi landasan. Apakah tidak diperlukan? Apa perlu tapi tidak mau?

Gerakan Reformasi 1998 telah berlalu, 26 tahun lalu. Tahun 1998, enam tuntutan reformasi disuarakan yakni (1) amandemen konstitusi. Tuntutan ini telah dilakukan MPR (2) pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya. Proses legal ini tak bisa berjalan karena Soeharto dinyatakan unfit to trial (3) pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme. Petisi ini justru banyak dipraktikkan. KKN menjadi NKK (narik kanca dan keluarga) (4) tegakkan supremasi hukum. Ada gelagat pemerintah belakangan mengarah pada autoctrative legalism (5)
cabut dwi fungsi ABRI. Ada gelagat perwira TNI kembali menduduki jabatan sipil. Bahkan, diakui sebagai TNI sebagai multifungsi (5) otonomi daerah seluas-luas. Ada kecenderungan terjadi resentralisasi melalui UU Cipta Kerja.

Gelombang balik demokrasi (1998) mengarah pada incorporated democracy(demokrasi terkelola/demokrasi terpimpin, 2023). Demokrasi terkelola dicirikan dengan digunakannya hukum sebagai alat tawar menawar politik, politik menjadi kian transaksional (demokrasi dol tinuku). Momentum gelombang balik yang pernah disampaikan Samuel Huntington layaknya membangkitkan kesadaran kita: where are we?

Di simpang jalan: demokrasi, otoritarian, neo totalitarian, atau negara kekeluargaan? Justru di saat inilah RUU Kepresidenan menemukan urgensinya. Pada momen inilah RUU Lembaga Kepresidenan bisa kembali diperdebatkan secara meluas. Pemilu 14 Februari 2024 telah melahirkan Presiden dan Wapres terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Pemilu Legislatif 14 Februari 2024 juga telah melahirkan 580 anggota DPR 2024-2029 dan 152 anggota DPD. Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengesahkan perhitungan KPU.

Dissenting Opinion (DO) Hakim Konstitusi Arief Hidayat membuka kembali diskursus soal perlu tidaknya UU Lembaga Kepresidenan di Tanah Air. Dissenting opinion tentang perlunya RUU Lembaga Kepresidenan tentunya bukan datang ujug-ujug melainkan didapat setelah memeriksa dan mendengarkan keterangan saksi dan ahli, memeriksa bukti dalam persidangan sengketa Pemilu Presiden 2024. Sebuah refleksi mendalam dan berujung pada kesimpulan perlunya UU Lembaga Kepresidenan.

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam Diskusi Grup Terfokus di Jakarta juga merekomendasikan perlunya dibentuk UU Lembaga Kepresidenan. Alasannya adalah lembaga eksekutif di bawah presiden, legislatif dan yudikatif telah memiliki regulasi etikanya masing-masing misalnya di legislatif ada UU MD3, di yudikatif ada UU MK, MA, KY dan di eksekutif ada UU Kementerian Negara, Wantimpres, TNI, Polri, dan lain-lain, sedangkan di lembaga kepresidenan belum ada. Pentingnya UU tersebut juga ditambah dengan pentingnya Lembaga Etik Kepresidenan untuk membatasi presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dan menghindari conflict of interest (COI).

Pasang surut RUU Kepresidenan

Wacana soal perlunya tidaknya UU Kepresidenan santer dibicarakan sejak berakhirnya kekuasaan Orde Baru, pada 21 Mei 1998. Namun, wacana RUU Lembaga Kepresidenan masih terus menjadi wacana sampai hari ini. Dari analisa diskursus wacana di Harian Kompas sejak Orde Baru hingga Reformasi memang tampak ada keengganan atau ketidakseriusan DPR dan Presiden untuk membahas RUU Lembaga Kepresidenan dengan berbagai argumentasi.

Ada beberapa argumentasi yang dibangun untuk menghindari pembahasan RUU Kepresidenan.

Pemerintahan Presiden BJ Habibie sebagaimana disampaikan Mensesneg/Menkeh Muladi dalam Kompas 24 Juni 1999 mengatakan, RUU Lembaga Kepresidenan sebaiknya dibahas oleh DPR baru. Pada saat itu, DPR Tengah mempersiapkan untuk menggunakan Hak Inistiatif untuk pembahas RUU Lembaga Kepresidenan. Dalam perkembangan kemudian, kalangan DPR sendiri ragu-ragu untuk meneruskan pembahasan dan sebaiknya menunggu selesainya amandemen UUD 1945.

Sikap resmi pemerintah agar RUU Lembaga Kepresidenan dibahas sampai selesainya amandemen UUD 1945 disampaikan Presiden Megawati Soekarnoputri dalam Surat Presiden Nomor R-46/Pres/7/2002 yang ditujukan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Surat tertanggal 12 Juli 2002 itu ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri. “Kami berpendapat, akan lebih baik bilamana pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut dapat ditunda sampai dengan selesainya proses amandemen UUD 1945,” demikian surat yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri itu.

Pemetaan Isu di Media

Analisa wacana soal RUU Kepresidenan paska Soeharto terbelah antara kubu yang mendukung dan kubu yang kurang mendukung. Kubu yang mendukung biasanya adalah mereka yang berada di luar pemerintahan (baik legislative maupun eksekutif). Adapun kubu yang sedang berkuasa cenderung menolak dengan berbagai dalih hadirnya UU Kepresidenan. Penyikapan politik itu wajar saja. Sudah menjadi ciri kekuasaan yang tidak ingin dibatasi. Namun jika dilihat dari perspektif publik, bukankah kekuasaan itu sendiri cenderung korup sehingga harus diawasi?


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *