Budiman Tanuredjo
“Saya akan cek kembali anggaran. Saya akan sisihkan anggaran khusus untuk pemberantasan dan pengejaran koruptor itu. Kalaupun dia (koruptor) lari ke Antartika, aku kirim pasukan khusus untuk nyari mereka di Antartika.”
Melegakan dan memberi harapan! Itulah kesan beberapa orang membaca dan mendengar pernyataan Presiden terpilih Prabowo Subianto dalam Rapat Pimpinan Nasional Gerindra, 31 Agustus 2024. Prabowo yang juga Ketua Umum Gerindra kemudian juga mengatakan, “Semua indikator menunjukkan kita di ambang kebangkitan luar biasa. Kuncinya kita harus kurangi korupsi. Kalau bisa, kita habiskan korupsi dalam waktu singkat, minimal kita tekan, kurangi, kurangi dan kurangi. Kita tidak akan kompromi dengan korupsi,” tutur Prabowo.
Mengejar koruptor ke Antartika pernah juga disampaikan Prabowo pada tahun 2019. Namun, pada Pemilu 2019, Prabowo gagal dalam meraih kursi kepresidenan. Kini, dalam Pemilu 2024, Prabowo dipastikan akan memimpin negeri ini. Prabowo akan dilantik sebagai Presiden pada 20 Oktober 2024. Dan, jabatan presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, akan memudahkan Prabowo mewujudkan komitmen anti-korupsinya.
Saya pernah ngobrol dengan mantan Menko Polhukam Mahfud MD, Wakil Ketua KPK (2003-2007) Amien Sunaryadi soal komitmen pemberantasan korupsi Prabowo. Kedua tokoh antikorupsi menaruh harapan pada Prabowo untuk membereskan negeri ini dari virus korupsi yang telah menggerogoti sendi-sendi negeri ini. Amien lebih berharap Prabowo fokus pada masalah suap-menyuap. “Banyak orang tidak tahu bahwa suap itu korupsi,” ujarnya pada saya.
Pernyataan Prabowo itu senafas dengan pernyataan Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo dalam pernyataan di Surabaya, 22 November 1993. Berita utama Harian Kompas, 23 November 1993 menulis: “Kebocoran Dana Pembangunan Indonesia Mencapai 30 Persen.” Sumitro yang juga ayahanda Prabowo dikutip Kompas mengatakan, “… Tingkat kebocoran dana pembangunan di Indonesia masih relatif tinggi, yakni sekitar 30 persen. Sementara dana yang tidak bocor pun ternyata tingkat efisiensi pemanfaatannya masih rendah dan belum seluruhnya digunakan sebagaimana semestinya. Masalah ini harus diatasi oleh pemerintah, apalagi karena dana-dana pembangunan di masa depan akan makin terbatas dan makin sulit diperoleh.”
Sejauh ini belum ada penelitian terkini dan valid mengenai tingkat kebocoran dana pembangunan yang disebut Sumitro mencapai 30 persen pada tahun 1993. Namun dari data-data yang termuat di media massa, mengutip penelitian ICW dari putusan pengadilan dalam periode 2013-2022, jumlah kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp238,14 triliun. Data itu belum memasukkan kerugian negara dalam kasus korupsi BTS dan penambangan timah illegal yang katanya mencapai Rp371 triliun.
Dukungan politik menjadi elemen penting dalam pemberantasan korupsi di negeri ini. Tidak adanya dukungan politik yang utuh membuat agenda pemberantasan korupsi timbul tenggelam. Sejarah bangsa ini menunjukkan telah terjadi kanibalisasi terhadap organ pemberantas korupsi. Sebut saja Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi (TGPK) dimatikan oleh putusan Mahkamah Agung. Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dilikuidasi ke dalam Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui political review, DPR dan Pemerintah. Progresivitas KPK “dikendalikan” dengan dimasukkannya dalam rumpun kekuasaan eksekutif, dialihkannya pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara, dan hadirnya Dewan Pengawas KPK.
John ST Quah, peneliti korupsi di Asia, dalam buku “Combating Corruption in Asia-Pasific Countries, What Do We Know and What Needs do be done,” mengemukakan tiga model pemberantasan korupsi di Asia. Pertama, negara punya undang-undang pemberantasan korupsi, tetapi tidak punya badan antikorupsi independen. Kedua, negara punya undang-undang pemberantasan korupsi dengan banyak badan pemberantasan korupsi. Ketiga, negara punya undang-undang pemberantasan korupsi dengan satu badan pemberantasan korupsi yang independen.
Quah berpendapat model ketiga yang paling efektif. Pada satu masa Indonesia pernah memiliki model ketiga. Namun kemudian, dinamika politik yang terjadi membuat badan antikorupsi kehilangan independensinya dan badan antikorupsi menjadi banyak, termasuk Kejaksaan Agung. Namun, mengacu pada kajian Quah, dukungan politik sangat penting guna melengkapi badan antikorupsi dengan sumber daya yang memadai, staf yang kompeten, kewenangan luas untuk menindak kasus korupsi.
Mengutip Vishnu Juwono dalam buku Melawan Korupsi, eksistensi KPK bertahan dari berbagai tekanan politik maupun tekanan dari sesama penegak hukum karena adanya dukungan politik dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Upaya pelemahan KPK dan revisi UU KPK oleh DPR bisa dicegah oleh Presiden Yudhoyono. Revisi dan berujung pada pelemahan KPK baru terjadi di akhir periode pertama Presiden Jokowi. Seleksi Pimpinan KPK 2019-2024 terbukti berantakan. Tiga komisiner KPK, Lili Pintauli Siregar mundur sebelum Dewan Etik mengumumkan sanksi etik, Ketua KPK Firli Siregar malah ditetapkan sebagai tersangka dan mundur dari KPK, Wakil Ketua KPK Nurul Gufron juga dikenai sanksi etik. Artinya, tiga dari lima Pimpinan KPK atau 60 persen, bermasalah secara etik. Proses rekrutmen pimpinan KPK patut dievaluasi.
Dalam situasi kebatinan itulah, retorika Prabowo akan mengejar koruptor sampai ke Antartika memberikan asa baru. Sebelum terlalu jauh mengejar ke Antartika, Prabowo bisa meminta laporan dari aparat penegak hukum (Polri, Kejaksaan Agung, KPK, PPATK, termasuk liputan media massa) dan memastikan elite-elite politik di sekitar Jakarta bersih dari dugaan korupsi dan nepotisme. Para elite politik itu harus bisa dipastikan tidak tersandera kasus hukum yang bisa dipakai sebagai sandera politik. Strategi membiarkan orang bermasalah hukum di sekitar kekuasaan sebagai sandera politik bukanlah cara yang tepat.
Langkah Presiden Prabowo memerangi korupsi sangat ditunggu. Banyak orang berharap Prabowo akan mewakili pandangan atau pemikiran Sumitro Djojohadikusumo soal tingkat kebocoran APBN yang cukup besar. Kebocoran anggaran pembangunan bisa mengganggu program makan siang gratis yang menjadi salah satu faktor kunci kemenangan Prabowo dan tentunya program pembangunan lainnya.
Publik kini menunggu bagaimana Presiden terpilih Prabowo memulihkan kepercayaan publik pada KPK yang babak belur. Babak belur bukan hanya dari sisi persepsi publik terhadap KPK melainkan dari sisi fakta. Survei Kompas Januari 2024 menunjukkan hanya 56,4 persen publik yang memandang positif KPK. Citra itu tergolong rendah. Meski KPK tergolong lembaga antikorupsi yang bisa bertahan lebih dari dua puluh tahun dibandingkan lembaga antikorupsi sejenis. Tiga komisioner KPK melanggar etik bisa saja dianggap sebagai “kiamat” bagi KPK.
Mengembalikan KPK yang independen, sebelum revisi UU KPK, adalah salah satu opsi yang bisa diambil untuk memulihkan harapan publik pada pemberantasan korupsi. Memilih sendiri komisioner KPK sesuai dengan visi pemberantasan korupsi Presiden terpilih adalah langkah yang patut dipertimbangkan. Kegagalan seleksi KPK 2019-2024, di mana tiga dari lima komisionernya, terjerat kasus etik, haruslah jadi pelajaran berharga.**
Leave a Reply