“…kalau mau mencari keterangan ya datang ke Kaesang, datang ke perusahaannya Gulfstream kan di sini punya perwakilan, datang ke administratur airport-nya, cari informasi, itu penyelidikan. Kalau penyelidikan cuma bikin surat panggilan, enggak mutu. Benar nih enggak mutu,”
Siniar Back to BDM di kanal YouTube Budiman Tanuredjo kembali tayang, dalam episode 18 (6/9/2024) hadir Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2003-2007 Amien Sunaryadi sebagai narasumber.
Pada bagian pertama, Amien bersama BDM mendiskusikan soal isu yang tengah banyak diperbincangkan masyarakat, yakni terkait penggunaan jet pribadi oleh putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep beserta istrinya, Erina Gudono dalam perjalanan ke Amerika Serikat pertengahan Agustus kemarin.
Sebelum masuk jauh ke dalam pembahasan, Amien buru-buru mengoreksi penggunaan istilah “jet pribadi” yang dinilai kurang tepat dalam kasus Kaesang ini. Ia menyebut lebih pas jika terminologi yang digunakan adalah “jet carter/sewa”, karena ia menduga pesawat yang digunakan dimiliki bukan atas nama pribadi melainkan sebuah perusahaan.
Jika KPK ingin menindaklanjuti kasus penggunaan pesawat nonkomersil oleh Kaesang dan Erina ini, Amien menilai tidak tepat dan akan sulit jika KPK menggunakan pasal gratifikasi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sebagai pisau bedahnya.
“Pasal gratifikasi itu kan berlakunya ke penyelenggara negara, Kaesang ini saya enggak tahu apakah dia masuk kategori penyelenggara negara. Setahu saya tidak masuk ya,” kata Amien.
Meski tidak bisa dipungkiri Kaesang memiliki beberapa hubungan kekeluargaan dengan beberapa pejabat negara. Ia adalah putra dari Presiden Jokowi, adik kandung dari Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka, adik ipar dari Wali Kota Medan Bobby Nasution, dan kemenakan dari mantan Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman. Dan di banyak kasus gratifikasi, barang atau jasa yang menjadi gratifikasi itu tidak diberikan langsung pada pejabat bersangkutan, melainkan kepada orang-orang terdekatnnya.
Jika tetap akan menggunakan pasal gratifikasi, mantan Komisaris Utama PLN tersebut menyarankan agar KPK lebih cerdik melihat dari pihak pemberi atau peminjam pesawat yang disebut-sebut merupakan sebuah perusahaan di Singapura, bukan dari pihak Kaesang dan Erina sebagai penerima.
“Jangan melihat dari Indonesia, tapi coba lihat dari Singapura. Katanya Ini sudah dilaporkan yang menyediakan orang Singapura, coba ngobrol sama CPIB (Corrupt Practices Investigation Bureau). Apakah proper seorang pebisnis Singapura memberikan (jasa) kepada orang yang bisa masuk kategori political expose person. Pak Jokowi itu kalau menurut definisi internasional termasuk sebagai political expose person, anaknya termasuk itu,” jelas Amien.
Political expose person, selain sebagai keluarga pejabat negara, Kaesang juga harus diakui merupakan seorang tokoh politik di tingkat nasional, karena ia menjabat sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Jadi, jika KPK menggunakan Singapura sebagai pintu masuk untuk menindaklanjuti dugaan gratifikasi ini, mungkin saja bisa menemui titik temu. Aturan hukum yang berlaku di Singapura tentu berbeda dengan Indonesia dan Negara Kota tersebut dikenal memiliki sistem penegakan hukum yang lebih ketat dibandingkan negara ini.
Melibatkan dua negara, penyelesaian kasus ini disebut Amien riskan menimbulkan masalah antara Singapura dan Indonesia. Oleh karena itu, KPK diminta untuk mulai berkomunikasi dengan CPIB menanyakan persoalan ini dari kacamata hukum Singapura.
KPK Diminta Gandeng Badan Anti Korupsi Singapura, CPIB
Pria kelahiran 23 Januari 1960 itu kemudian ditanya oleh BDM, apa yang akan ia lakukan jika masih menjadi petinggi KPK dan menghadapi kasus ini. Dengan lugas, Amien menjawab ia akan bertanya ke CPIB apakah dibenarkan dalam hukum Singapura jika ada warga negaranya membiayai perjalanan pesawat mewah untuk orang yang masuk dalam kategori political expose person.
Ada kemungkinan juga CPIB akan mencari tahu secara lebih detail, sehingga akan diketahui siapa saja sebenarnya orang-orang yang pernah dibiayai oleh pihak yang sama menggunakan pesawat yang sama. Jadi KPK diminta untuk bekerja sama dengan CPIB, berdialog dan meminta berbagi informasi.
Amien mengatakan, sejak dahulu KPK memiliki hubungan yang baik dengan CPIB. Namun, ia tidak tahu bagaimana keberlangsungan hubungan baik itu di bawah kepemimpinan KPK hari ini.
Sebelumnya, CPIB selalu bersedia membagikan informasi tertentu jika ada permintaan dari KPK.
“Kalau isinya cuma request for information atau sharing information itu bisa lancar, tapi kalau mutual legal assistance (MLA) itu biasanya enggak. Bukan apa-apa, karena biasanya request dari kita itu enggak memenuhi standar. Jadi kan ada standar formalnya, formatnya harus begini, bahasanya begini, dari Indonesia itu sering kalau request enggak memenuhi itu,” ungkap Amien.
Jika dari dialog yang dilakukan antara KPK dan CPIB didapatkan hasil bahwa terdapat pelanggaran undang-undang dari sisi hukum Singapura, maka kasus ini bisa dilanjutkan.
Misalnya terbukti pesawat itu disediakan untuk Kaesang, setelah itu orangtua yang bersangkutan dalam hal ini Joko Widodo selaku Presiden memberi imbalan tertentu bagi si pemberi, maka kasus ini bisa dilihat sebagai gratifikasi. Sayangnya, hingga saat ini belum ada informasi itu, jadi melihat kasus ini dari sudut penyedia pesawat adalah satu-satunya jalan.
Namun, jika CPIB menyatakan tidak ada yang dilanggar menurut hukum Singapura ketika ada pihak yang memberikan jasa kepada sosok politik, maka menurut Amien Indonesia bisa “memainkannya”.
“Kalau mereka mengatakan ini tidak melanggar, KPK bisa ngomong ‘pengusaha Singapura kalau mentraktir apapun ke political expos person di Indonesia itu tidak melanggar aturan tindak pidana korupsi’, bisa disuarakan begitu. Kalau disuarakan begitu kan orang Amerika, orang Inggris, orang Jepang akan dengar nih ‘oh Singapura itu kelakuannya begini’,” ujar Amien.
“Bargaining saja. Kita ngasih ini loh ya, dicatat nih. Nanti kalau enggak jawab ya enggak apa-apa. Nanti suatu saat kita kasih lagi, kasih lagi, lama-lama kan kita ngasih banyak terus get nothing gitu kan, pelan-pelan ini bisa untuk modal kalau pas lagi ada UN conference urusan anticorruption itu ngomong ‘Singapura begini ya’. jadi strateginya kalau Indonesia tidak bisa meningkatkan ranking antikorupsinya, ya kita turunkan (ranking) tetangga,” lanjut dia.
Penyelidikan Tidak Mutu
Selama kurang lebih dua pekan isu ini merebak dan menjadi buah bibir di masyarakat, KPK nampak masih gamang untuk menindaknya. Ada kesan maju-mundur dan ketidakkompakan antar bagian KPK dalam mengusut penggunaan jet pribadi oleh Kaesang.
Misalnya, Humas KPK Tessa Mahardhika menyebut lembaga anti rasuah tersebut tidak memiliki wewenang untuk menindaklanjuti kasus ini, karena Kaesang bukan penyelenggara negara. Di sisi lain, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan akan memanggil yang bersangkutan untuk dimintai klarifikasi.
Amien pun heran, mengapa KPK hanya mengirimkan surat pemanggilan kepada Kaesang jika memang ingin menyelidiki lebih lanjut. Semestinya, KPK bukan memanggil, namun mendatangi Kaesang secara langsung guna mencari keterangan dan barang bukti.
“Penyelidikan itu untuk mencari keterangan dan barang bukti. Kenapa manggil, datang saja ke Kaesang. Datang, ditanya-tanya, kalau ada masalah di-follow up, kalau enggak ada masalah selesai. Jadi kalau katakan pimpinan KPK hobinya atau mungkin kemampuannya cuma manggil, enggak yakin dia itu adalah penegak hukum,” ujar Amien.
Melayangkan surat panggilan kepada Kaesang menurut Amien adalah sesuatu yang tidak ada gunanya.
“Penegak hukum harus punya strategi, tapi kalau kemampuannya cuma bikin surat panggilan ya sebaiknya enggak usah jadi penegak hukum. Coba tanya ke teman-teman penegak hukum yang biasa menangani narkoba, kalau ada informasi ‘Pak di sana ada narkoba’ dia enggak bikin surat panggilan, langsung ke sana bahkan menyamar gitu kan. Coba kalau kita lihat penegak hukum yang menangani kejahatan dengan kekerasan misalnya, kita memberiahu ‘Pak di sana ada orang meninggal di lapangan terus di dadanya tertancap pistol’, si penegak hukum ini enggak bikin surat panggilan, dia langsung ke sana. Coba yang biasa nangani teroris, kita belum kasih tahu dia sudah tangkap orang,” ungkap Amien.
“Nah masa KPK bisanya cuma ‘ada ini, oh bikin surat panggilan’, itu kan ilmunya terlalu di bawah itu. Orang penyelidikan itu mencari keterangan dan barang bukti, lah kalau mencari ya pergi ke Kaesang, datangi Kaesang,” imbuhnya.
Jika Kaesang tidak memenuhi surat panggilan sekalipun, tidak akan ada efek hukumnya. Dalam proses penyelidikan, penegak hukum tidak memiliki kewenangan untuk memaksa. Lain halnya dengan proses penyidikan, dimana jika yang bersangkutan tidak memenuhi panggilan selama tiga kali, maka penyidik berhak menjemput paksa.
“Jadi mendingan kalau mau mencari keterangan ya datang ke Kaesang, datang ke perusahaannya Gulfstream kan di sini punya perwakilan, datang ke administratur airport-nya, cari informasi, itu penyelidikan. Kalau penyelidikan cuma bikin surat panggilan, enggak mutu. Benar nih enggak mutu. KUHAP itu nulisnya mencari keterangan dan barang bukti. Kalau mencari keterangan masa cuma dibatasi bikin surat panggilan, kan enggak,” sebutnya.
Bukan hanya memanggil Kaesang yang dinilai sebagai langkah kurang tepat, sikap Pimpinan KPK yang mengimbau Kaesang untuk mencontohkan laku antikorupsi dengan hidup sederhana juga menuai komentar Amien.
“Penegak hukum kan isinya bukan himbauan. Kalau kerjaannya ngasih imbauan-imbauan ya Jangan jadi penegak hukum, kursinya lebih baik dikasih ke orang lain yang bisa menegakkan hukum,” tegas Amien.
Daripada Kaesang, KPK Lebih Baik Urus Kasus Firli
Mantan Ketua KPK yang kini terjerat kasus tindak pidana korupsi, Firli Bahuri juga diketahui pernah menggunakan helikopter dalam perjalanan pribadi ke Baturaja, Sumatera Selatan di pertengahan tahun 2020. Namun, tidak ada tindak lanjut yang tegas terkait dugaan gratifikasi pada Firli yang jelas-jelas ketika itu adalah seorang pejabat negara.
Jika dibandingkan dengan Kaesang yang tidak memiliki kedudukan apapun dalam pemerintahan atau kelembagaan negara, kasus Firli tentu lebih mudah untuk diungkap, jika KPK mau.
“Lebih baik memeriksa Firli. Loh waktu dulu dikasih pinjam pesawat juga kan gitu, atau waktu dikasih naik pesawat harganya diskon. Ah mending itu lebih jelas, tapi itu aja kan enggak berani. Nyatanya (Firli) enggak diapa-apain,” ujar Amien.
Jika sudah berbicara soal Firli dengan kasus yang sama, yakni penggunaan pesawat pribadi, maka menjadi dipertanyakan mengapa Kaesang dipermasalahkan jika Firli yang jelas-jelas pejabat negara tidak.
“Mungkin teman-teman di KPK harus baca undang-undang lagi. Pesawat carter yang dipakai oleh Kaesang dipermasalahkan, pesawat crter yang dipakai oleh Firli awal-awal dulu kan enggak diapa-apakan. Jadi kan loh ini gimana pemahamannya tentang gratifikasi,” ujar Amien.
Terlepas dari benar atau tidaknya terdapat unsur gratifikasi dalam penggunaan pesawat pribadi Kaesang ke Amerika Serikat, Amien Sunaryadi melihat isu ini menjadi besar dan menarik diperbincangkan karena ada sentimen-sentimen negatif yang sudah terbentuk di masyarakat terkait Jokowi dan keluarganya yang berhubungan dengan peristiwa-peristiwa politik yang terjadi sebelumnya.
“Rasa sentimen berkaitan dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Jadi peristiwa umur putusan Mahkamah Konstitusi, terus ada peristiwa yang jadi ada sentimen seperti itu. Jadi ini dilihatnya secara berbeda,” kata dia.
Perbincangan Amien Sunaryadi dan BDM soal penggunaan jet pribadi oleh Kaesang dan Erina dapat disimak melalui video berikut ini:
Leave a Reply