“…Kesenjangan telah mengkhianati janji republik kepada rakyatnya untuk mendapatkan penghidupan yang adil dan sejahtera. Karena itu, kita menagih kembali janji republik ini agar penyelenggaraan negara bermuara pada kepentingan dan kemaslahatan publik…”
Ruang Grand Ballroom Hotel Ambhara, Kamis 29 Agustus 2024 malam, tak lagi bisa menampung tamu yang datang. Ketokohan cendekiawan muslim Nurcholish Madjid (17 Maret 1939-29 Agustus 2005) dan (mungkin) situasi politik kekinian seakan memanggil berbagai kalangan untuk bertemu, berhenti sejenak, meresapi pikiran Nucholish Madjid.
Nurcholish Madjid adalah guru bangsa. Dia berpulang Senin 29 Agustus 2005. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Jumat 26 Agustus 2005, sempat menjenguk Nurcholish. Nurcholish berpesan, agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengurus dan mengelola negeri ini dengan baik. (Kompas, 27 Agustus 2005).
Sebagaimana terekam dalam Pusat Informasi Kompas, kepergian Cak Nur – demikian panggilan akrabnya – diapresasi sejumlah tokoh. Harian Kompas 30 Agustus 2005 menulis, “Selamat Jalan Guru Bangsa.” “Hari-hari Terakhir Cak Nur” ditulis Komaruddin Hidayat, Kepergian Setelah Mengabdi (Abdurrahman Wahid), Nurcholish Madjid Sudah Pergi (Franz Magnis Suseno).
Tajuk Rencana Kompas menulis, “Bangsa yang masih terpuruk ini bangunlah dengan kejujuran dan kepedulian. Perkokohlah komitmen kita membangun bangsa bersama-sama. Seruan Nurcholish Madjid itu disampaikan pada pertemuan Senin, 15 Agustus, di Gedung Arsip Nasional, Jakarta. Pada pertemuan menyambut 60 tahun Indonesia Merdeka, kata-kata itu sudah mempunyai makna dalam karena disampaikan oleh Guru Bangsa lewat rekaman. Ia masih sakit. Ditekankannya kejujuran dan keterbukaan. Kejujuran pribadi yang dilaksanakan pula dalam hubungan kerja sebagai pejabat, politikus, wakil rakyat, atau pelaku bisnis. Kejujuran dalam makna tidak menyalahgunakan jabatan, kedudukan, peluang, dan relasi.” tulis Kompas.
Kamis malam 29 Agustus 2024 adalah Haul ke-19 Cak Nur. Acara itu dibuka Omi Komariyah Madjid (istri Cak Nur). Omi merasa prihatin dengan situasi kebangsaan, dimana hukum dan konsitusi telah diacak-acak. “Hukum telah digunakan sebagai alat kekuasaan,” tuturnya. Acara haul diisi orasi oleh dua pemikir Yudi Latif dan Sukidi Mulyadi dengan tema “Mimpi Indonesia Setara” serta penampilan Presiden Jancukers Sujiwo Tedjo.
Sejumlah murid dan pengikut Cak Nur hadir dalam haul tersebut. Tiga putri Mohammad Hatta, Meutia Hatta, Gemala Hatta, dan Halida Hatta hadir. Sejumlah tokoh masyarakat sipil hadir Komaruddin Hidayat, Lukman Hakim Saifuddin, Butet Kertarajasa, Benny Susetyo, Usman Hamid, Budhy Munawar Rachman, Didik J Rachbini, Alissa Wahid, dan masih banyak tamu hadir sambil lesehan karena kursi-kursi terisi penuh. Saya tak melihat ada unsur pemerintah hadir.
Yudi Latif menyampaikan orasi budaya. Namun, Yudi memberikan disclaimer, ia mengatakan, tidak ingin mengambil waktu terlalu banyak karena pusat perhatian malam itu berada pada “the rising star” Sukidi Mulyadi untuk melanjutkan orasinya. Dalam bagian orasinya, Yudi menyampaikan pesan penting. “Setelah 79 tahun Indonesia merdeka. Pikiran kembali dinistakan. Nepotisme kembali dikerek ke langit. Pikiran dinistakan oleh kroni, nepotisme dan kemewahan harta. Dalam pesta pora kebebasan bahwa kesetaraan tidak sedang baik baik saja. Kebebasan tidak akan punya banyak arti tanpa kesetaraan ekonomi dan kesetaraan politik,” ujar Yudi.
Ia mengutip Joseph E Stiglizt dalam buku The Root of Freedom, “Hati-hati kebebasan serigala harus dibayar dengan kematian banyak kambing. Hati-hati dengan demokrasi padat modal. Ia bisa dikendalikan oligarki yang membonceng neoliberalisme dan dikendalikan segelintir orang. Memang ada banyak pilkada. Ada hak memilih dan dipilih. Tapi tidak semua kita bisa dipilih.”
Yudi menyinggung partai politik. Parpol punya kebebasan untuk melakukan apa saja. Ia menjadi gate keeper seleksi pejabat publik. “Tapi sayangnya, lack of responsibility,” ujar Yudi Latif.
Meminjam istilah Yudi Latif, the rising star pada acara Haul ke-19 Cak Nur adalah pemikir kebhinekaan Sukidi Mulyadi. Putra desa Tanon, Sragen dan meraih gelar doctor dari Harvard University, seperti mengambil posisi sebagai “oposisi individu” terhadap kekuasaan. Di tengah melemahnya partai politik, Sukidi lantang bersuara, lugas menulis apa yang dirasakannya.
Pikiran Sukidi banyak dirujuk. Esainya “Pinokio Jawa” beredar luas. Pikiran di esai itu dialihwujudkan dalam berbagai platform. Jauh-jauh hari ia sudah mengingatkan ancaman terhadap demokrasi Indonesia oleh pemimpin otoriter populis. “Demokrasi telah dibunuh. Ekonomi berakhir dengan economic unjustice,” ujar Sukidi saat memberikan orasi.
Ketimpangan yang kian menganga merobek spirit Indonesia setara yang dibayangkan Sukarno dan Mohammad Hatta. Sukidi pun menyebut dua ketimpangan ekstrim yakni ketimpangan aset finansial dan aset tanah. Meminjam data dari Teguh Daryanto (Dekan Fakultas Ekonomi UI). Sebanyak 98,2 persen pemilik rekening di bawah Rp 100 juta rupiah menguasai 13,9 persen total tabungan, sedang 0,003 persen pemilik tabungan sampai Rp 5 miliar menguasai 47,9 persen total tabungan.
Dari sisi penguasaan tanah. Sebanyak 56,8 persen petani gurem, menguasai 12 persen tanah pertanian. Sedang 6 persen petani terkaya menguasasi 38 persen tanah pertanian. “Mimpi Indonesia setara kian menjauh. Ketimpangan ekonomi membahayakan masa depan republik yang bergerak ke arah ketimpangan yang kian lebar,” katanya.
Dalam kolomnya di Harian Kompas, 12 Januari 2023, Sukidi menulis, “…Kesenjangan telah mengkhianati janji republik kepada rakyatnya untuk mendapatkan penghidupan yang adil dan sejahtera. Karena itu, kita menagih kembali janji republik ini agar penyelenggaraan negara bermuara pada kepentingan dan kemaslahatan publik.
Hal ini dapat ditempuh dengan menarik garis pemisah yang tegas dan jelas antara kepentingan bisnis dan politik dengan konsekuensinya, menghentikan penyimpangan moral dalam bentuk konflik kepentingan yang mengaburkan batas-batas antara urusan privat dan publik dalam etika penyelenggaraan negara. Saat bisnis dan politik dicampuradukkan serta konflik kepentingan tak terhindarkan dalam etika penyelenggaraan negara, republik ini sesungguhnya telah dikhianati. Pengkhianatan terhadap republik terjadi mana kala pejabat publik bukan lagi bertindak sebagai pengatur yang adil untuk kehidupan bersama, melainkan juga sebagai pemain bisnis yang terlibat aktif dalam mencari keuntungan sebanyak-banyaknya untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Para pejabat publik yang memprioritaskan kepentingan pribadi dan golongannya sejatinya tak menjiwai sama sekali inti dan janji Republik yang diwariskan pendiri bangsa. Negara bukan untuk menjadi arena dan kompetisi bisnis, melainkan semata-mata sebagai sarana pengabdian mulia demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia secara setara dan universal. Inti pengabdian dalam tradisi republik adalah kehendak politik yang didarmabaktikan untuk mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bersama tanpa diskriminasi dan kesenjangan dalam bentuk apa pun….”
Nepotisme menjadi penyakit bangsa ini. Jutaan anak muda teralienasi dan kehilangan harapan karena nepotisme. “Anak nelayan, anak petani, anak buruh, anak guru karena tidak punya orang dalam akhirnya kehilangan harapan akan masa depan Indonesia,” ucapnya. “Saya punya mimpi tentang anak Indonesia di satu republik yang tidak ditentukan oleh status sosial. Anak presiden, anak buruh, anak nelayan, bukan ditentukan oleh status sosial, tapi kualitas karakter dan meritoktrasi, bukan kakistokrasi,” ujar Sukidi.
Mengutip Hatta, manusia berkarakter adalah cinta pada kebenaran. Love for the truth. “Sekarang ini the truth is being destroyed oleh pemimpin populis ototoritarian. Kebenaran dirusak agar tidak tak punya panduan.” Bagi Hatta, menurut Sukidi, manusia berkarakter juga harus berani mengatakan kesalahan pada kekuasaan meski Hatta menyebutnya juragan.
Dalam situasi itulah, kita rindu Cak Nur. “Cak Nur adalah man of character. Manusia punya prinsip. Punya nilai luhur tinggi,” katanya. Sikap Cak Nur, menjadi relevan di tengah situasi kebangsaan, dimana kita menemukan pemimpin yang plintat-plintut, serakah dan tidak tahu terima kasih. Padahal, ketamakan adalah sumber dari segala kejahatan. Ketamakan telah merobek-robek inti republik sebagai perwujudan keadilan dan kesejahteraan bersama.
Malam kian larut. Nurcholish Madjid Society telah menggairahkan pemikiran. Ia menawarkan pemikiran baru. Menjadi menarik seandainya, Maarif Institute, Megawati Insitute, Akbar Tandjung Institute, Wahid Institute, dan institute juga center-center lain serta kampus-kampus lain, bisa duduk bersama untuk mengawal negeri ini agar tetap setia pada konstitusi, pada demokrasi, pada tujuan bernegara. Negeri ini tak mungkin hanya diserahkan kepada para politisi yang menurut Buya Syafii Maarif sebagai dan sebagian tuna moral.***
Leave a Reply