“…bicara soal etika seakan bicara yang ada di buku-buku teks, tapi tak ada dalam praktik. Setumpuk aturan soal etika, sebenarnya sudah tertera dalam teks Ketetapan MPR No VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Tapi masalahnya, etika itu hanya menjadi ornamen. Teks mati yang tak punya arti,”
Budiman Tanuredjo
Prof Dr Amin Abdullah, anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), menutup dengan manis focus grup discussion (FGD) BPIP hari pertama, Selasa 27 Agustus 2924, di Jakarta. FGD membahas tentang Kerapuhan Etika dan Penyelenggara Negara akan diselenggarakan di sejumlah kota di Indonesia. Acara itu juga dihadiri Sekretaris Dewan Pengarah BPIP Mayjen (Purn) Wisnu Bawa Tenaya dan Romo Benny Susetyo.
Mantan Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta itu mengatakan, berbagai masukan terhadap BPIP adalah momen bagi BPIP untuk “reshaping dan reinventing”. Menajamkan dan menemukan kembali BPIP.
Kritik terhadap BPIP misalnya disuarakan pemikir Fachry Ali. Fachry Ali mengatakan, BPIP terlalu elitis dan tidak menjawab persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.
“Di mana BPIP saat KPK dilemahkan rezim. Tidak pernah terdengar suara BPIP,” ujar Fachry Ali. Padahal, kebangkrutan negeri ini, kian dipercepat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi dilemahkan secara perlahan. KPK anak kandung reformasi “dibunuh” secara perlahan oleh DPR dan disetujui pemerintah. “Di mana BPIP dan apa suara BPIP?,” ujar Fachri Ali.
Saya diundang untuk ikut sumbang saran pada sesi kedua FGD bersama Yenti Garnasih (ahli hukum), Prof Dr Hamdi Muluk (psikolog), Ismail Hasani (Ketua Badan Pengurus Setara Institut), Michael Dua Tengagatu (pakar etika), dan mantan Pimpinan KPK Saut Situmorang. Zainal Arifin Mochtar dan Refly Harun yang dijadwalkan bicara di sesi kedua tidak jadi hadir.
Fachry Ali mengusulkan agar BPIP menjalankan peran sebagai penyambung lidah masyarakat – yang seharusnya dijalankan partai politik – untuk mendesak pemerintahan baru untuk memulihkan KPK seperti sebelum direvisi. Hal serupa disuarakan Saut Situmorang. Saut mengatakan, sumber dari segala sumber masalah adalah: CoI (Conflik of Interest atau benturan kepentingan). Ia menyarankan agar bangsa ini mengadopsi government code of ethic sampai sedetil-detilnya.
Saut Situmorang mengingatkan konflik kepentingan di tingkat elite yang dibiarkan saja. Konflik kepentingan misalnya pernah terjadi ketika ada pernikahan anak pimpinan nasional, semua menteri dilibatkan. Bahkan, menjadi ketua panitia pernikahan. “Tapi siapa yang mau mengingatkan,” katanya.
Saya sendiri mengatakan, bicara soal etika seakan bicara yang ada di buku-buku teks, tapi tak ada dalam praktik. Setumpuk aturan soal etika, sebenarnya sudah tertera dalam teks Ketetapan MPR No VI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Tapi masalahnya, etika itu hanya menjadi ornamen. Teks mati yang tak punya arti.
Gerakan Refomasi 1998 mengakhiri kekuasaan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun. Jenderal Besar Soeharto memutuskan berhenti sebagai Presiden pada 21 Mei 1998 atas desakan rakyat. Merespon dinamika sosial-politik di Jakarta MPR menggelar Sidang Istimewa MPR tahun 1998 dan tahun 2001. Gerakan Reformasi 1998 meneriakkan enam tuntutan reformasi yakni pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto dan kroninya; (2) pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotime; (3) penegakan supremasi hukum; (4) amandemen konstitusi; (5) otonomi daerah seluas-luasnya; dan (6) cabut Dwi Fungsi ABRI.
Enam tuntutan reformasi itu saatnya direfleksikan dalam situasi sekarang ini. Dua puluh enam tahun setelah Gerakan Reformasi 1998, muncul lagi gerakan masyarakat sipil tahun 2024 yang melawan kehendak elite untuk mengabaikan konstitusi.
Pada tahun 2001, MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Tap MPR bisa dipandang sebagai refleksi dan introspeksi mendalam lembaga tertinggi negara atas situasi kebatinan bangsa saat Orde Baru jatuh. MPR merespon situasi kebangsaan pada tahun 2001:
“….sejak terjadinya krisis multidimensional, muncul ancaman serius terhadap persatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa. Konflik sosial yang berkepanjangan, berkurangnya sopan santun dan budi luhur dalam pergaulan sosial, melemahnya kejujuran dan sikap amanah dalam kehidupan berbangsa, pengabaian terhadap ketentuan hukum dan peraturan, dan sebagainya yang disebabkan berbagai faktor yang berasal baik dari dalam maupun luar negeri…”
MPR 2001 kemudian mengidentifikasi faktor dalam negeri dan luar negeri yang mengakibatkan krisis ekonomi, krisis sosial dan krisis politik Mei 1998. Faktor dalam negeri mencakup; (1) Lemahnya penghayatan dan pengamalan agama; (2) Sentralisasi pemerintahan di masa lampau yang mengakibatkan terjadinya penumpukan kekuasaan di Pusat dan pengabaian kepentingan daerah; (3) Tidak berkembangnya pemahaman dan penghargaan atas kebinekaan dan kemajemukan; (4) terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam lingkup luas dan dalam kurun waktu yang panjang, melewati ambang batas kesabaran masyarakat secara sosial; (5) kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian pemimpin; (6) ntidak berjalannya penegakan hukum dan lemahnya kontrol sosial untuk mengendalikan perilaku yang menyimpang dari etika; (7) meningkatnya prostitusi, media pornografi, perjudian, serta pemakaian, peredaran, dan penyelundupan obat-obat terlarang dan faktor internasional.
Rasanya, 23 tahun kemudian saatnya elite politik perlu berhenti sejenak, melakukan introspeksi diri apakah identifikasi MPR tahun 2001, dan enam tuntutan reformasi masih relevan dengan kondisi kekinian. Soal ketidakadilan ekonomi, soal keteladanan, dan lumpuhnya penegakan hukum, soal perjudian. Rasanya belum ada perubahan signifikan. Soal krisis keteladanan rasanya menjadi salah satu faktor penting. Bangsa ini krisis keteladanan.
Bangsa ini banyak kehilangan “muazin”, namun belum mampu memunculkan “muazin” bangsa yang baru. Kita kehilangan Hatta, kita kehilangan Agus Salim, kita kehilangan Nurcholish Madjid, kita kehilangan Buya Ahmad Syafii Maaarif, kita kehilangan Gus Dur, kita kehilangan IJ Kasimo. Kita belum berhasil menemukan kembali “muazin” bangsa. Sosok “muazin” yang sudah selesai dengan dirinya sendiri, berada di tengah masyarakat dan menjadi payung kebangsaan dan membangun jembatan.
Soal hukum yang lumpuh. Banyak orang membaca ada tren bangsa ke arah autocratic legalism. Bukan lagi rule of law tapi rule by law. Hukum ditempatkan sebagai alat kekuasaan politik. Hukum dijadikan alat sandera politik. Itu juga disinggung Ismail Hasani dalam FGD. Bahkan prediksi yang mengkhawatirkan, sebagaimana ditulis Prof Dr Jimly Assidhiqie dalam buku “Oligarki dan Totalitarianisme Baru (2023), bangsa ini mengarah kepada Neo Totalitarianisme. Pada tahun 2001, MPR merumuskan perlunya etika berbangsa dan bernegara.
Ada enam etika yang digariskan MPR.
Pertama, Etika Sosial Budaya. “… perlu menumbuhkembangkan budaya malu, yakni malu berbuat kesalahan. Budaya keteladanan yang harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin baik formal maupun informal pada setiap lapisan masyarakat…”
Kedua, Etika politik dan pemerintahan. “…Setiap pejabat dan elit politik bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. “…perilaku politik toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.
Ketiga, Etika Bisnis dan Ekonomi“…mencegah monopoli, oligopoli, kebijakan ekonomi yang mengarah kepada perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme, diskriminasi…”
Keempat, Etika Penegakan Hukum Berkeadilan. “…Penegakan hukum secara adil, perlakuan yang sama dan tidak diskriminatif terhadap setiap warga negara di hadapan hukum, dan menghindarkan penggunaan hukum secara salah sebagai alat kekuasaan…”
Kelima, etika Keilmuan.“… pentingnya budaya kerja keras dengan menghargai dan memanfaatkan waktu, menepati janji dan komitmen diri untuk mencapai hasil yang terbaik.”
Keenam, Etika Lingkungan. “…kesadaran menghargai dan melestarikan lingkungan hidup serta penataan tata ruang secara berkelanjutan dan bertanggungjawab.
Enam etika MPR 2001 telah menjadi pemciu lahirnya Kode Etik, Kode Perilaku. Kode Etik DPR, Kode Etik Hakim, Kode Etik Wartawan. Namun, masalahnya mengapa kode etik itu menjadi teks mati.
Esensi pokok dari pelanggaran etika adalah benturan kepentingan. Benturan kepentingan itu membahayakan. Tren Indonesia saat ini mengarah pada Totalitarianisme Baru dimana kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan pengusaha serta media berada di satu tangan. Dalam buku Oligarki dan Totalitarianisme baru yang ditulis Jimly Asshidiqie itu perkembangan yang mengkhawatirkan.
Kerapuhan etika penyelenggara negara terjadi karena bangsa ini krisis keteladanan. Krisis keteladanan terjadi karena banyaknya benturan kepentingan. Penyelenggara negara yang seharusnya membuat kebijakan untuk publik tapi juga punya usaha sejenis. Penyelenggara berteriak soal mobil listrik karena dia punya kerjasama usaha soal mobil listrik.
Lalu bagaimana? Saya sendiri mengusulkan perlunya disegerakan UU Lembaga Kepresidenan. Jika pada cabang kekuasaan legislatif diatur dengan UU MPR/DPR/DPD. Jika di cabang kekuasaan yudikatif diatur dalam UU Mahkamah Agung, UU Mahkamah Konsitusi, UU Komisi Yudisial. Di cabang kekuasan eksekutif ada UU Kementerian Negara, UU Dewan Pertimbangan Presiden, UU Polri, UU TNI, UU Pemerintahan Daerah. Tapi mengapa tidak ada UU Lembaga Kepresidenan. Padahal, pada diri seorang Presiden, melekat sejumlah atribusi sebagai Kepala Pemerintahan, Kepala Negara, penguasa tertinggi atas Angkatan, sebagai ketua umum parpol, dan juga sebagai kepala keluarga.
Sejarah mengatakan, pada situasi itulah, benturan kepentingan akan terjadi karena kekuasaan itu memesona, menggetarkan, tapi juga memabukkan.
Saatnya BPIP “reborn” menggunakan Pancasila untuk menjawab problem nyata di tengah masyarakat.***
Leave a Reply