“Kalau saya melihat hitungan waktu dan terkesan belum ada kajian mendalam tentang itu harusnya ditunda saja. Silakan revisi, tetapi itu harus dibangun dalam argumentasi, ada kriteria, ada segala macam,”
DPR berencana akan melakukan revisi terhadap Undang-Undang No 34 Tahun 2024 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Banyak pihak yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap rencana ini. Ada beberapa hal yang dikhawatirkan terjadi apabila revisi benar-benar dikerjakan. Misalnya anggota TNI yang boleh berbisnis dan menduduki jabatan sipil. Hal-hal itu ditengarai akan membangkitkan dwifungsi ABRI jaman Orde Baru di era reformasi.
Peneliti sekaligus Kepala Lab 45 atau Laboratorium Indonesia 2045 Jaleswari Pramodhawardhani justru sebaliknya. Dalam perbincangan bersama Budiman Tanuredjo di podcast Back to BDM, ia mengaku secara umum setuju dengan revisi UU TNI selama ada kebutuhan dan kepentingan yang jelas.
UU itu lahir di tahun 2004, 20 tahun sudah usianya, bukan hal yang aneh jika sudah terjadi perbedaan di sana-sini. Mulai dari perbedaan permasalahan, perbedaan situasi geopolitik, perbedaan ancaman, perbedaan situasi keamanan, dan sebagainya. Revisi jika dilakukan atas dasar untuk menyesuaikan dengan kebutuhan zaman adalah hal yang benar menurut Dhani.
“Saya termasuk yang setuju dengan revisi Undang-Undang TNI Polri, asal satu dia harus selalu dikaitkan dengan kebutuhan atau kepentingan, yang kedua dia juga harus bicara tentang kepentingan nasional kita dari landskap yang berbeda, terus yang ketiga penguatan untuk institusiTNI,” kata Dhani.
Bagaimana UU tersebut bisa mendefinisikan TNI sebagai sebuah organisasi, menentukan kebutuhan alutsista untuk pertahanan negara. Jangan sampai karena peraturan yang tidak diperbaharui menyebabkan pencapaian 26 tahun reformasi di bidang militer menjadi mundur.
Mamun, melihat rencana revisi ini ada di masa reses DPR, di mana tak lama lagi masa jabatan DPR juga akan berakhir, maka Dhani berpendapat bahwa sebaiknya rencana revisi ini ditunda di periode pemerintahan selanjutnya. Terlebih, tidak adanya kajian akademik yang kuat yang mendasari rencana perubahan itu.
“Saya yang tadinya setuju itu menolak dalam konteks yang ada sekarang,” ujar mantan Deputi V Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan Hak Asasi Manusia di Kantor Staf Presiden itu.
Menurut Dhani, salah satu pasal di UU 34 2004 terkait kementerian/lembaga memang patut untuk direvisi. Pada Pasal 47 disebutkan 10 kementerian/lembaga yang bisa dimasuki oleh perwira TNI, namun kenyataan di lapangan selama ini perwira TNI bisa masuk dan menjabat di luar 10 kementerian/lembaga yang disebutkan. Hal itu bisa menimbulkan potensi friksi atau konflik antara TNI dengan kementerian/lembaga lainnya.
Akan lebih baik diatur secara tegas lembaga atau kementerian mana saja yang boleh dan tidak boleh dijabat seorang anggota TNI. Kriterianya dicari yang sesuai dengan tugas-tugas seorang TNI, misalnya terkait keamanan dan pertahanan.
“Dalam kurun waktu 20 tahun sejak UU TNI, pastilah ada lembaga-lembaga yang dibentuk. Bakamla, BNPT, kemudian juga KSP. Kalaupun ada revisi, itu harus revisi (daftar) kementerian/lembaga yang memang benar-benar bisa diisi oleh TNI terkait dengan operasi militer, jadi bukan kemudian di PAN-RB, di ini, di itu. Jadi ini kelihatan kayak dwifungsi,” jelas perempuan 60 tahun itu.
Selain soal keterlibatan perwira TNI di kementerian/lembaga dan anggota diperbolehkan bisnis, salah satu pasal yang diusulkan akan direvisi adalah soal usia pensiun. Menurut Dhani, tidak ada yang salah jika usia pensiun TNI akan dinaikkan, yang saat ini 58 menjadi 60 atau lebih dari itu.
Hanya saja, ada akibat lain yang harus dipikirkan dari penambahan masa aktif TNI tersebut, yakni kesiapan struktur orgaisasi untuk mewadahinya.
“Harus disiapkan organisasi yang bisa merespon bagaimana jika nanti ada penambahan anggota-anggota TNI yang karena pemunduran usia itu menjadi lebih banyak (anggota aktif). Sekarang saja kurang lebih ada pati dan Kolonel yang 120 nonjob. Saya membayang bagaimana nanti (kalau usia aktif diperpanjang) kan kasihan TNI kalau kayak gini,” ungkap Dhani.
“Ketika di kemudian ada pasal bisnis TNI, jangan-jangan juga untuk karena ini nonjob, ya bolehlah bisnis TNI dan segala macam, semoga sih enggak gitu,” imbuhnya.
Hal lain yang harus diperhatikan jika benar revisi UU TNI akan dilakukan adalah dibuatnya turan tegas dan rinci soal kewenangan TNI dalam melakukan tindak kekerasan. Selama ini, TNI diberikan kewenangan yang sah oleh negara untuk melakukan kekerasan dalam konteks mengamankan kedaulatan negara. Kewenangan itu harus diatur sehingga jelas di mana batasannya, apakah sekedar dalam lingkup operasi militer, atau bisa juga pada pelaksanaan tugas-tugas yang lain.
Selain banyaknya hal yang harus dikaji dan dipertimbangkan, urusan waktu yang tersisa juga menjadi faktor yang harus dipikirkan. Periode DPR akan segera berakhir pada 1 Oktober 2024, jadi menurut Dhani tidak perlu dipaksakan ada revisi jika waktu tidak memadai.
“Kalau saya melihat hitungan waktu dan terkesan belum ada kajian mendalam tentang itu harusnya ditunda saja. Silakan revisi, tetapi itu harus dibangun dalam argumentasi, ada kriteria, ada segala macam,” sebut Dhani.
Ia menambahkan, jangan hanya demi kepentingan politik praktis revisi dipaksakan dilakukan di sisa waktu dengan kajian yang belum mencukupi.
Perbincangan soal revisi UU TNI di publik memang sudah mereda, tak lagi seramai 2 atau 3 pekan yang lalu. Namun, Dhani meminta masyarakat sipil terus memantau dan mewaspadai soal ini jika benar-benar mencintai institusi TNI. Berbagai lembaga sipil seperti YLBHI, KontraS, CSIS, dan Lab 45 juga terus melakukan kajian soal ini.
Meskipun inisiatif revisi undang-undang itu ada di DPR, namun Dhani menyebut Presiden memiliki kewenangan untuk menolak atau setidaknya menunda revisi undang-undang ini dan memerintahkan pembahasan dilanjutkan di masa pemerintahan selanjutnya.
“Saya berharapnya kawan-kawan di lingkaran istana itu sudah memberikan memo atau usulan atau saran kepada Presiden, harusnya kalau melihat reaksi masyarakat dan melihat substansi dari draf itu sendiri, harusnya sih ditunda,” kata Dhani.
Presiden Jokowi dalam sejumlah pemberitaan media sering disebut sebagai orang yang turut andil merusak institusi Polri dan TNI. Dengan dia mengusulkan penundaan revisi UU TNI, diharap bisa membantu menghapus stigma tersebut. Masih ada waktu, setidaknya hingga sebelum 20 Oktober untuk Presiden berbuat sesuatu.
“Iya harusnya seperti itu, jadi saya khawatir gini jangan sampai Presiden itu dikenang sebagai salah satu yang berkontribusi untuk merusak mundurnya demokrasi, jangan sampai, dan ini belum terlambat. Jadi sebaiknya memang ditunda lah. Kita engak bicara ditolak, tapi ditunda sampai melibatkan publik ya,” ujar Dhani.
Selain membahas soal revisi UU TNI, Jaleswari Pramodhawardhani juga menyampaikan pandangannya tentang masalah utama Indonesia yang membuat kita sulit menjadi negara maju, juga sosok pemimpin dan contoh negara yang dalam pandangannya bisa disebut ideal. Semua pandangan Dhani bisa Anda simak melalui video di tautan berikut ini:
Leave a Reply