“Pilkada melawan kotak kosong meski dibenarkan secara undang-undang, mempertontonkan wajah buruk demokrasi apalagi jika siasat dan muslihat itu semata-mata ditujukan untuk mengalienasi tokoh tertentu yang populer di publik tapi tak dikehendaki elite. Esensi demokrasi adalah kontestasi gagasan untuk ditawarkan kepada publik. Saatnya dipikirkan penghilangan ambang batas agar publik punya banyak pilihan.”
Pilkada serentak akan segera dilaksanakan dalam hitungan bulan. Lebih dari 540 daerah di Indonesia akan melakukan pemilihan kepala daerah baru, termasuk Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
Pemilihan gubernur di Jakarta selalu menjadi sorotan, terlebih saat ini beredar isu adanya calon pasangan tunggal yang akan mengisi Pilgub DKJ dan secara otomatis menghadirkan kotak kosong sebagai rivalnya.
Kabar ini mulai merebak pasca Koalisi Indonesia Maju (KIM) resmi mengusung Ridwan Kamil sebagai calon gubernur DKJ. Tak haya KIM, koalisi itu menyebut tidak menutup kemungkinan partai-partai di luar KIM akan turut bergabung, sehingga disebut sebagai KIM Plus. Misalnya PKS dan PKB.
Membahas tema ini, sejumlah narasumber hadir di program Satu Meja The Forum Kompas TV dengan tema “Pilkada Jakarta, Kotak Kosong di Depan Mata?” untuk membagikan informasi dan gagasannya.
Peta Koalisi Sejauh Ini
Secara garis besar ada dua kelompok koalisi partai politik pada konteks Pilgub DKJ 2024, pertama adalah koalisi partai pendukung Prabowo-Gibran di Pilpres 2024 Koalisi Indonesia Maju (KIM) dan yang kedua adalah kelompok partai pengusung Anies Baswedan, Koalisi Perubahan, ditambah dengan PDI Perjuangan yang hingga saat ini belum juga menunjukkan sikap dukungannya.
KIM sudah mantap mengusung nama Ridwan Kamil sebagai calon gubernur DKJ, meski nama pasangannya belum diumumkan. Pintu koalisi pun masih mereka buka sehingga memungkinkan partai lain yang tertarik bisa bergabung dan memperbesar kekuatan.
“Kami akan usahakan sedapat mungkin KIM bisa solid. Di samping itu tentu kami ingin juga memberi kesempatan partai-partai di luar KIM kami persilakan untuk dapat bisa bergabung (KIM Plus),” sebut Politisi Gerindra sekaligus mantan Wakil Gubernur Jakarta Riza Patria.
Di sisi lain, PKS yang sudah secara resmi mengusung Anies-Sohibul Iman (AMAN) mengaku membuka opsi-opsi lain, karena hingga saat ini partai-partai yang menjadi mitra koalisi (PKB dan Nasdem) belum menyatakan persetujuan resminya. PKB dan Nasdem baru menyampaikan dukungan terhadap sosok Anies, tapi tidak dengan pasangan AMAN sebagaimana dirumuskan oleh PKS. Diketehui, dalam Pilpres 2024 PKS, Nasdem, dan PKB tergabung dalam Koalisi Perubahan yang mengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
“Sampai hari ini kurang lebih 40 hari AMAN pasca dideklarasikan, karena sudah 40 hari itu kami berusaha untuk mendapatkan respon dari calon-calon mitra koalisi kami dan belum dapat SK dari Nasdem maupun PKB sampai saat ini, maka pimpinan kami tentu akan mempertimbangkan apakah akan memperpanjang waktu (dukungan) kepada Mas Anies supaya dapat tugas, saya kira (batasnya) pekan pertama Agustus ini,” kata politisi PKS Pipin Sopian.
“Kalau tidak ada SK-nya memang tidak akan bisa. Saya kira itu poin bagi kami, sehingga ikhtiar itu akan perlu kami lakukan tawaran-tawaran dari yang lain, opsi-opsi yang lain, kami akan pertimbangkan selama memang ini akan memberikan maslahat yang lebih besar buat rakyat Jakarta,” lanjutnya.
Menanggapi hal ini, politisi Nasdem Effendy Choirie membenarkan memang dari pihaknya belum memberikan rekomendasi, baru sekadar deklarasi dukungan terhadap Anies Baswedan. Ia pun meminta semua pihak untuk menunggu dan melihat apa yang akan terjadi di depan.
“Kalau ada apa-apa ya kita tunggu ke depan seperti apa. Ya nunggu waktu, momen,” kata Effendy Choirie atau akrab disapa Gus Coy.
Ia mengaku tidak mengetahui secara pasti apa yang terjadi, mengapa partainya belum memberikan rekomendasi ataupun SK terhadap Anies Baswedan. Namun, ia berdalih masih ada cukup waktu untuk menyelesaikan semua ini.
Selain KIM dan Koalisi Perubahan, ada satu lagi partai politik yang juga menarik untuk dibahas, yakni PDI Perjuangan. PDI Perjuangan saat ini hanya memiliki 15 kursi di Jakarta, mau tidak mau mereka harus menjalin koalisi dengan pihak lain untuk bisa mengajukan nama calon gubernur di Jakarta. Beberapa kali partai ini sudah menunjukkan sinyal ketertarikannya mengusung Anies Baswedan meski belum ada langkah konkrit yang dilakukan untuk mewujudkan bentuk dukungan tersebut.
“Kami tidak bisa mendahului, apa yang bisa kami lakukan dengan 15 kursi dari kebutuhan 22 kursi, tidak ada pilihan lain kecuali bersama-sama dengan partai lain. Nah itulah yang kami sebenarnya bagikan, ayo PKB, ayo yang lain, mari kita usung, ayo kita bicara. Kami juga tidak ngotot menjadi cagub, menjadi cawagub, tetapi wajar di DKI ini kami bersama PKS. Jujur saja PKS kan 18 kursi, kami 15, wajar kalau kami menjadi salah satu dari bagian daripada pasangan ini,” ungkap Politisi PDIP Eriko Sutarduga.
Ia memahami bahwa partai-partai politik pasti menyusun strategi sedemikian rupa dalam pilkada 2024, memproyeksikan kontestasi Pilpres 2029, namun Eriko berpesan apapun ceritanya, utamakan kepentingan rakyat sebagai pihak yang pertama kali menerima dampak dari keputusan mereka.
“Perhatikanlah keinginan rakyat, karena kenapa? Yang memilih rakyat, satu. Kedua, yang merasakan akibatnya 5 tahun ke depan adalah rakyat. Dan jangan karena ini (kepentingan politik partai) kemudian rakyat yang mendapatkan akibatnya, kemudian siapa yang mau tanggung jawab?” ucap Eriko.
KIM Plus untuk Jegal Anies Baswedan?
Keberadaan KIM Plus menimbulkan banyak kekhawatiran, terutama kekhawatiran Pilgub Jakarta hanya diisi oleh satu pasangan, Ridwan Kamil dan wakilnya nanti.
Jika di antara PKS (18 kursi), PKB (10 kursi) atau Nasdem (11 kursi) berhasil ditarik masuk ke KIM, maka tiket pencalonan gubernur Anies Baswedan terancam hangus. Sejauh ini, PKS sudah terang-terangan meminta diajak bergabung, sementara PKB mengaku sudah menerima ajakan masuk koalisi besar itu.
Lalu ada PDI Perjuangan (15 kursi) yang juga tetap membutuhkan kerja sama dengan partai lain jika ingin mengajukan calon untuk menandingi calon yang diusung KIM Plus.
Kekhawatiran akan pasangan tunggal vs kotak kosong akibat dari peta politik di Jakarta hari ini merupakan sesuatu yang tidak berlebihan.
Namun, Riza Patria membantah jika KIM Plus disebut sebagai langkah untuk menjegal Anies. KIM hanya menginginkan kepala daerah-kepala daerah yang terpilih nantinya satu napas dengan kepala pemerintahan di pusat agar program-program nasional lebih mudah untuk dilaksanakan.
“Sejujurnya tidak sejauh itu, karena kami sendiri memang yang namanya partai politik, pertama ingin menghadirkan kader terbaiknya tampil di setiap kontestasi Pilkada, yang kedua kami di KIM memang sedapat mungkin berusaha untuk bisa (kompak mengusung) satu pasangan calon (tidak pecah kongsi),” ujar dia.
Menyambung penjelasan Gerindra, Politisi Golkar Dave Laksono juga mengungkapkan tujuan KIM Plus adalah untuk memberikan yang terbaik bagi masyarakat Jakarta.
“Kita ingat ya bahwa (ibu kota negara) kita akan pindah ke IKN, jadi Jakarta dalam proses pembentukan identitas baru menjadi DKJ, jadi pusat akan berbagai macam hal kecuali pemerintahan. Jadi di momen pembentukan identitas baru ini membutuhkan satu figur yang benar-benar bervisi panjang, bervisi ke depan. Di situ kita lihat yang tepat adalah Pak Ridwan Kamil,” jelas Dave.
Menanggapi hal tersebut, pengamat politik Ahmad Khoirul Umam melihat ada upaya ke arah menjegal Anies. Anies Baswedan dalam Pilpres 2024 dinilai tampil kompetitif dan menjadi kandidat yang melakukan perlawanan naratif terhadap Prabowo.
“Ini adalah bagian dari realitas politik, ada tren kecenderungan partai-partai lebih memilih untuk melakukan barter sekaligus tukar guling kepentingan, bukan hanya dalam konteks baku atur koalisi di dalam konteks antar wilayah tetapi juga betul-betul dikaitkan dengan konteks di 2029. Partai-partai di Koalisi Perubahan yang dulu akhirnya tampak sudah mulai indikasinya semakin clear untuk menyeberang. Dan itu terkonfirmasi,” kata Umam menyampaikan analisisnya.
Kotak kosong di Pilkada Jakarta…
Jika benar hanya ada satu calon yang maju di Pilgub Jakarta, maka kotak kosong dipastikan akan mengisi pesta politik di daerah khusus ini. Keberadaan kotak kosong dinilai banyak pihak sebagai bentuk kemerosotan demokrasi dan merupakan kondisi yang tidak ideal, meskipun secara konstitusional tidak melanggar dan dibenarkan.
Pengamat politik Khoirul Umam mempertanyakan arti dari multiparty system, setidaknya ada 8 partai yang saat ini ada di DPR, tetapi seolah-olah tidak memiliki kedaulatan politik (political sovereinity). Ada tangan besar yang tak terlihat yang bisa mengatur kerja sama antar partai.
“Ini yang kemudian menjadi sebuah catatan besar kalau misal tren ini terus berkembang, saya pikir tidak begitu produktif untuk demokrasi. Apa artinya multiparty system kalau ternyata baku atur ya ending-nya sama saja. Oleh karena itu perlu diperbaiki dari sisi sistem,” sebut Umam.
Nasdem berharap kotak kosong tidak benar-benar terjadi di Jakarta. Ia masih meyakini akan ada sosok yang diusung untuk bertarung melawan Ridwan Kamil di Jakarta.
“Jakarta ini kota internasional. Jadi kalau ada tokoh-tokoh hebat masuk di Jakarta kayak Bung Ridwan Kamil itu bagus untuk kepentingan masyarakat. Kemudian ada Mas Anies yang memang sudah punya bukti memimpin jakarta bersama Pak Riza, ini kan sukses. Kemudian ada Ahok dari PDIP kan ini bagus, jadi rakyat diberi pilihan putra-putra terbaik bangsa. Inilah saya kira akan terjadi demokrasi yang sehat, demokrasi yang memang rakyat bisa leluasa untuk memilih sesuai dengan hati nuraninya,” ujar Gus Coy.
Hal serupa juga disampaikan Pipin Sopian. PKS, apapun keputusan politiknya nanti, tetap berharap ada tokoh lain yang tampil di Pilgub Jakarta, sehingga tidak perlu ada kotak kosong.
“Bagi kami siapapun yang dicalonkan, kami berharap tidak melawan kotak kosong karena banyak anak bangsa ini yang layak untuk memimpin Jakarta. Jakarta harus menjadi barometer demokrasi yang sehat ke depan, sehingga kami akan terus mencari calon-calon mitra koalisi yang bisa memenuhi hak warga Jakarta itu dan kami sebagai pemenang pemilu di Jakarta punya tanggung jawab lebih untuk dari kader PKS siapa yang kira-kira cocok diterima,” kata dia.
Berbeda dengan PKS dan Nasdem, Gerindra justru menitikberatkan fokusnya pada kualitas pemimpin yang diperoleh, ketimbang hanya sibuk mengurus pada prosesnya.
Riza Patria mengatakan memang dalam proses penjaringan calon pemimpin masih banyak hal yang perlu diperbaiki agar kualitas demokrasi yang semakin meningkat. Namun, yang utama adalah memastikan kita mendapatkan sosok pemimpin yang berkualitas dan berintegritas.
“Banyak pilkada di seluruh Indonesia yang dirasa demokratis, baik dengan segala janjinya, dengan segala integritasnya, faktanya ketika menjabat juga ujung-ujungnya korupsi. Nah sekarang ini PR kita ke depan mari kita perhatikan tidak hanya menjalankan proses demokrasi dalam rangka pilkada tapi bagaimana kita memastikan bahwa calon-calon yang diusung memiliki integritas dan memastikan janji kampanye terwujudkan,” ungkap Riza.
“Ini jauh lebih penting selain tadi ada proses ke depan yang perlu kita perbaiki mekanismenya supaya banyak pilihan, tapi yang tidak kalah penting adalah memastikan calon yang berintegritas dan ketika memimpin tidak korupsi,” pungkasnya.
Leave a Reply