Budiman Tanuredjo
“Ia bukan seorang akademisi atau guru besar. Ia juga bukan seorang pengusaha. Ia adalah seorang aktivis tulen. Ia pernah mendekam di penjara Orde Baru, tepatnya di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Ia ditangkap Minggu 11 Agustus 1996 oleh Bakorstanasda. Itulah Sekjen Partai Rakyat Demokratis (PRD) Petrus Hariyanto. Petrus ditangkap bersama Ketua Umum PRD Budiman Sudjatmiko. Dan sejumlah rekannya,”
PRD dituduh di balik Kerusuhan 27 Juli 1996 saat markas Kantor PDI di Jalan Diponegoro No 58 diserbu sekelompok orang. Penyerbuan itu berbuntut kerusuhan sosial di sebagian wilayah Jakarta. PRD dan sejumlah ormas dituduh melakukan subversif. “Jelas subversive,” kata Kepala Penerangan ABRI Brigjen Amir Syarifudidin. (Kompas, 13 Agustus 1996)
Petrus dihukum delapan tahun penjara pada tingkat banding dan mendekam di LP Cipinang. Ia mendekam di penjara selama sekitar 3,5 tahun. Pernah berada di tahanan Orde Baru dan kini telah bebas, Petrus tetap konsisten dalam jiwa aktivismenya dengan berjualan buku dan kopi.
Petrus kini menjadi penderita pasien gagal ginjal, sebagian kaki remuk, satu jari kaki patah, menderita diabetes, mengalami gangguan pendengaran. Ia konsisten di jalur perjuangannya sebagai aktivis politik. Saya pernah mengundang Petrus untuk podcast. Ia berjalan dengan kursi roda. Pendengarannya memang terganggu. Ia mengungkapkan kekecewaannya terhadap rekan-rekannya aktivis PRD yang berpindah jalur perjuangan.
Sebagai penderita gagal ginjal, Petrus menghimpun cerita-cerita dari pasien gagal ginjal. Cerita-cerita itu dibukukan dalam buku berjudul, “Jiwa-jiwa Bermesin, Kami Menolak Menyerah”. Buku itu merupakan kelanjutan dari buku, Jiwa-jiwa Bermesin: Memoar Para Pasien Cuci Darah” yang terbit tahun 2019.
Perjuangan Petrus untuk mendengarkan kisah-kisah penderita gagal ginjal dan membukukannya membutuhkan perjuangan sendiri. Sebagaimana dituliskan dalam prakata. Petrus menulis demikian, “Aku menulis cukup banyak namun sayang harus berhenti karena tulang telapak kakiku sebelah kanan ada yang retak akibat tertimpa ember berisi air dan kecelakaan ketika naik ojek.” Ini yang membuat Petrus harus menggunakan kursi roda.
Petrus pun melanjutkan kisahnya. “Dalam rentang lima tahun secara perlahan pendengaranku mulai memburuk. Dokter memvonis tidak bisa disembuhkan karena pendengaranku semakin rusak,” tulis Petrus.
Dalam situasi yang penuh keterbatasan, Petrus masih tetap berjuang untuk para pasien gagal ginjal yang harus melakukan cuci darah tiap pekan. Ia mendirikan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) bersama Tonny Samosir dan memperjuangkan nasib orang-orang yang harus menjalani cuci darah. KPCDI melakukan uji materi terhadap Perpres No 75/2019 tentang Kenaikan iuran BPJS Kesehatan melawan Presiden di Mahkamah Agunng. Buku setebal 212 halaman itu berisi kisah-kisah perjuangan pasien cuci darah. Ada kisah pasin curi darah yang harus naik motor. Ada kisah pasien cuci darah yang masih berusia di bawah tiga tahun dan harus berjuang dari Lampung ke Jakarta untuk cuci darah. Namun, pada akhirnya sang bocah itu meninggal dunia.
Petrus menutup kisah dengan kalimat, “Selamat jalan Rafa. Kamu sudah tidak merasakan sakit lagi. Tidak aka nada lagi jarum yang menusuk tanganmu. Kamu tidak akan haus lagi. Kamu akan Bahagia di sana. Biarkan kami yang masih di sini tetap berjuang untuk hidup sekaligus mengisi kehidupan.”
Terasa dramatis. Perjuangan Petrus mengumpulkan kisah-kisah pasien gagal ginjal adalah perjuangan kemanusiaan. Perjuangan untuk mendapatkan perhatian terhadap berbagai kebijakan yang kurang menguntungkan penderita gagal ginjal. Ia adalah aktivis tulen yang setia pada jalur perjuangan. Tidak mudah terbeli. Tidak mudah tergadaikan.
Sebagaimana ditulis, jurnalis Leila S Chudori. “Petrus Hariyanto lahir berkali-kali. Setiap kali hidup menggocohnya, ia bangun kembali. Sebagai aktivis 1998, seperti rekan-rekannya yang juga diculik, ia mengalami berbagai deraan keras rezim Orde Baru, tetapi selalu lahir kembali menjadi Petrus yang tak kunjung runtuh. Ketika 2013 gagal ginjal kronis menggerogoti hidupnya, Petrus tetap menghargai hidupnya, meski harus rutin menjalani cuci darah. Petrus lahir lagi dan lahir lagi. Ia meniupkan semangat pada pasien cuci darah yang ikut menyumbangkan suara dalam buku ini. Membaca buku ini adalah sebuah penghargaan pada hidup yang penuh daya seperti halnya Petrus yang selalu bertekad untuk mengingatkan betapa tubuh dan jiwanya adalah hal yang selalu harus kita jaga…”
(Budiman Tanuredjo)
Leave a Reply