Budiman Tanuredjo
Masyarakat sipil bisa dipastikan kian sepi. Gratifikasi konsesi bisa menjadikan penjaga-penjaga moral masuk dalam jebakan transaksional. Hanya individu berkarakter dan memegang value yang terus mencoba bersuara. Kian lirih dan kian sepi. Dan, kian tak terdengar.
Hari Sabtu 3 Agustus 2024 saya menenuhi undangan Forsino. Forsino adalah organisasi yang mempertemukan warga yang pernah menghuni Asrama Realino di Yogyakarta. Reuni diadakan di kawasan Fatmawati Jakarta Selatan yang dipinjamkan Basuki Kurniawan, pengusaha mebel dan properti, untuk alumni Realino.
Kisah hidupnya bisa dibaca di The Brilliant Exporter – Kisah Inspiratif Basuki Kurniawan, Karyawan Yang Sukses Jadi Eksportir ke Lebih dari 100 Negara dan Ekspansi ke Bisnis Properti. Biografi itu ditulis Zulfikar Fuad. Kepribadian yang tangguh dan tak kenal menyerah diperolehnya saat berada di Asrama Realino.
Ahmad Wahib penulis buku Pergolakan Pemikiran Islam tebitan LP3ES juga pernah menghuni Asrama Realino periode 1962-1964. Dalam bukunya Wahib, pernah menulis dengan indah bagaimana pengalamannya menjadi penghuni Realino.
Dalam hujan rintik-rintik begini/ Kutatap cahaya lampu di sela-sela daun cemara/ Realino, kapankah alammu yang indah itu/ akan bisa kunikmati lagi. Puisi itu ditulis Ahmad Wahib pada 31 Oktober 1964.
Saya menghuni Asrama Realino 1983-1985. Dua tahun saya merasakan bagaimana kemajemukan diajarkan, kedisiplinan dipraktikkan, solidaritas sosial ditawarkan, persaudaraan ditanamkan dan yang lebih penting kejujuran dijejalkan. Dan, yang tak kalah pentingnya adalah sikap tak kenal menyerah (never give up) untuk menghadapi tantangan dalam kehidupan di asrama.
Realino membuka mata penghuninya untuk melihat Indonesia. “Dari Realino saya melihat Indonesia, melihat saudara-saudara saya dari Papua, dari Kalimantan, dari Nusa Tenggara,” tutur Normin Pakpakan saat member refleksi tentang Realino. Asrama Mahasiswa yang menanamkan nilai Savientia et Virtus (Kebijakan dan Kebajikan) itu telah ditutup.
Realino adalah asrama mahasiswa yang didirikan pada 1957 oleh Serikat Jesus untuk menampung mahasiswa dari berbagai latar belakang untuk menghadirkan intelektual Indonesia berdasarkan prinsip Sapientia et Virtus (kebijakan dan kebajikan). Asrama itu ditutup pada 1989. Realino bukanlah sekadar asrama berbayar. Realino bukan sekadar tempat kos, melainkan memang didesain untuk membiasakan mahasiswa hidup dalam perbedaan. Perbedaan dalam suku, berbineka dalam agama, beda dalam perguruan tinggi, dan hidup dalam tradisi intelektualitas. Membiasakan hidup dalam perbedaan dan semua dipersatukan dalam kemanusiaan.
Dari Realino untuk Indonesia. Sejumlah penghuni Realino telah tersebar di berbagai lini. Ada yang menjadi hakim seperti Binsar Gultom, ada yang menjadi tentara seperti Tiarsen Buaton, ada tetap berkiprah di masyarakat sipil, seperti Bambang Ismawan dan Anton Sudjarwo. Ada yang mengelola kantor advokat seperti Tarsisius Triyanto dan Wahyu Widayat. Ada yang pernah menjabat Wamen seperti Mardiasmo. Ada yang menjabat Duta Besar seperti Djauhari Oratmangun dan Elias Ginting. Ada yang menjadi guru besar ekonomi seperti Prof Dr Edward Tandeliin. Ada yang menjadi pengusaha properti dan mebel sukses seperti Basuki Kurniawan.
Pertemuan Sabtu itu diarahkan untuk mencari posisi apa yang mau diambil mantan penghuni Asrama Realino? Quo Vadis Forsino? Banyaklah ide bermunculan termasuk soal networking dan memproduksi gagasan-gagasan untuk negeri ini. Bambang Ismawan menawarkan bagaimana Forsino memberi perhatian pada usaha menengah kecil dan mikro yang kian terlantar.
Apapun langkah kecil rai reuni itu, perlu untuk membangun solidaritas sesama. Dimulai dari solidaritas antar penghuni asrama yang mungkin kurang beruntung. Dimulai dari yang kecil kemudian berkembang menjadi yang besar. Berbuat baik untuk sesama. Langkah bersolider pada sesama ini sejalan dengan prinsip dan pandangan hidup Paus Fransiskus: don’t forget the poor. Jangan lupakan orang yang kurang beruntung.
Nilai-nilai Realino – kemajemukan, toleransi, kejujuran, disiplin, bertanggung jawab, persaudaraaan dan persahabatan – adalah nilai fundamental bangsa ini yang kian rapuh. Justru pada situasi anomi seperti ini, kehadiran eks penghuni Realino, menjadi sangat relevan untuk menghadirkan pemikiran alternatif untuk negeri ini.
Nilai kemajemukan dan toleransi, tak perlu dipertanyakan lagi kepada penghuni Asrama Realino. Itu sudah ditulis oleh Ahmad Wahib dalam bukunya: Keragaman adalah keniscayaan. Keragaman adalah anugerah mengokohkan kemanusiaan. Namun, untuk memperkuat itu tetap butuh perjumpaan secara alami.
Semangat itu tecermin dalam refleksi Wahib. Pada 18 September 1969, Wahib menulis, ”… bagaimana aku disuruh membenci pemeluk Kristen-Katolik. Aku pernah satu keluarga dengan mereka. Aku pernah bertahun-tahun tidur, bergurau, dan bermain bersama mereka. Jadi, bagaimana mungkin aku bisa benci.…” Kerinduan Wahib. ”Kapan alammu (semangatmu) yang indah bisa kunikmati lagi.” Itu kerinduan bangsa yang berpotensi terbelah karena pengelompokan politik….
Bangsa ini terasa kian kehilangan jati dirinya. Demokrasi menjadi sangat transaksional. The winner takes it all. Demokrasi hanya mengandalkan keterpilihan bukan lagi keterwakilan. Keterpilihan mengandalkan popularitas, popularitas mengandalkan kapital. Dan, pada akhirnya kapital lah yang akan menguasai negeri ini. Hampir tiada yang namanya musyawarah untuk mufakat. Malu sudah hilang dari kamus politik. Etika hanya ada di buku-buku filsafat. Yang mengemuka adalah prinsip, “Kalau saya mau, kamu mau apa…”
Pada tahapan inilah, bermodalkan nilai-nilai Sapientia et Virtus, Forsino bisa menjalankan peran kemasyarakatan dan kebangsaannya. Selain untuk tetap mengedepankan solidaritas sesama dan peran kemasyarakatan, peran kebangsaan, Realino Discussion Club – yang sebulan sekali dipraktikkan di Asrama – dibutuhkan untuk menemukan kembali negeri bernama Indonesia. Menawarkan gagasan segar di tengah kian sepinya masyarakat sipil.
Mungkinkah….? Sebagaimana ditulis Wahib, ”Kapan alammu (semangatmu, pemikiranmu) yang indah bisa kunikmati lagi.”
Leave a Reply