“…zamannya berubah, tuntutannya sudah berubah. Dari suatu era yang memungkinkan orang berpikir dengan ide-ide besar sekarang enggak, orang dibawa digiring ke spesialisasi teknokratis,”
Manuel Kaisiepo, Putra asli Papua yang menyadang gelar doktor bidang Hukum Tata Negara dari Universitas Kristen Indonesia hadir dalam Back to BDM episode ke 13. Bersama Budiman Tanuredjo, mantan menteri era Gus Dur itu membagikan berbagai pandangannya terkait Indonesia di masa kini, mulai dari minimnya kelompok cendekiawan atau pemikir besar hingga soal demokrasi liberal yang kurang cocok dengan konteks Indonesia sebagai negara dengan begitu banyak kelompok di dalamnya.
Krisis Cendekiawan, Indonesia Masuk Era Teknokratis
Sebagai sebuah negara, Indonesia didirikan dan dirawat oleh tokoh pemimpin yang bukan hanya sekadar lincah dalam bidang politik, tapi juga tokoh memiliki karakter sebagai seorang pemikir besar dengan gagasan-gagasan kebangsaan yang mereka bawa. Sebut saja Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Soepomo, Muhammad Yamin, dan seterusnya. Mereka adalah contoh-contoh pemimpin intelektual yang dimiliki Indonesia.
Hal itu diamini oleh Manuel Kaisiepo, Indonesia pernah memiliki generasi pemikir, setidaknya hingga era 1960-an.
“Era pemimpin dengan kualitas cendekiawan itu sampai dengan tahun 60-an, begitu Orde Baru (era) itu menggiring orang untuk berpikir teknokratis, pragmatis, profesional,” kata Manuel.
Pemimpin dengan tipe teknokratis pragmatis itulah yang banyak ditemukan hingga hari ini. Mereka ahli dalam profesi teknis, tapi bukan cendekiawan yang memiliki kemampuan berpikir besar.
“Kita harus akui bahwa ada kemerosotan, kita tidak punya lagi lapis orang-orang pemimpin dengan tipe pemikir, tipe budaya besar. Bisa jadi zamannya berubah, tuntutannya sudah berubah, dari suatu era yang tadi memungkinkan orang berpikir dengan ide-ide besar, sekarang enggak, orang dibawa ke spesialisasi teknokratis,” ujar Manuel.
Keberadaan para pemikir yang sudah semakin langka, hari ini digantikan dengan kehadiran para pemengaruh (influencer) dan pendengung (buzzer) yang ramai berlalu lalang mengisi media massa dan media sosial.
“Media-media masa kita sekarang ada tadi barusan kita sebut buzzer, itu fenomena apa? Political marketing tapi itu bagian dari pendangkalan sebenarnya. Saya kira kita sekarang ada di kondisi yang memprihatinkan sebenarnya,” ujar Manuel.
Secara lini masa, wartawan sekaligus politisi berusia 70 tahun ini menjelaskan era awal kemerdakaan Indonesia diisi dengan dua tipikal pemimpin: solidarity maker seperti Soekarno dan administrator seperti Sutan Syahrir. Dua model pemimpin itu berkombinasi dan berhasil membawa Indonesia berjalan di jalur yang benar.
Selanjutnya di era Orde Baru, keberadaan pemimpin dengan tipe solidarity maker sudah tidak ada, tersisa tipe administrator saja. Namun, administrator dalam era ini benar-benar dipahami secara teknis, sehingga banyak lahir pemimpin teknokrat.
Sementara apa yang ada sekarang, menurut mantan anggota DPR-RI periode 2009-2024 ini justru lebih parah lagi.
“Sekarang saya kira lebih parah lagi, kita menghasilkan pemimpin yang tingkat kapabilitas intelektual, visionernya itu tidak jelas,” ungkapnya.
Demokrasi Tidak Menjamin Keterwakilan
Sejak awal kemerdekaan, Indonesia sudah menganut sistem demokrasi meski pada praktiknya terus mengalami perubahan hingga hari ini, mulai dari Demokrasi Parlementer, Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, hingga Demokrasi Reformasi.
Selama hampir 70 tahun Indonesia berdiri, berbagai perubahan dan perbaikan ketatanegaraan telah terjadi. Sejumlah lembaga dibentuk, ada pula yang dihapuskan. Misalnya dihapusnya Utusan Golongan (UG) di MPR.
Menurut UU No 94 Tahun 1999 tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, Utusan Golongan adalah mereka yang berasal dari organisasi atau badan yang bersifat nasional, mandiri, dan tidak menjadi bagian dari suatu partai politik, serta yang kurang atau tidak terwakili secara proporsional di DPR, dan terdiri atas golongan ekonomi, agama, sosial, budaya, ilmuwan, dan badan‑badan kolektif lainnya.
Manuel menyebut, penghapusan Utusan Golongan di MPR dilandasi semangat demokrasi yang definisinga terbatas pada hasil pemilihan langsung dari rakyat. Anggota UG ditentukan tidak berdasarkan proses pemilihan umum, melainkan diangkat atau ditunjuk langsung oleh Presiden (political apointee).
Para utusan golongan yang dipilih oleh pemimpin, dianggap sebagai anti demokrasi, karena bukan dipilih secara langsung oleh rakyat.
“Praktik politiknya sejak zaman demokrasi terpimpin dimulai Bung Karno itu political appointee, diangkat (presiden), dan suka-suka presiden mengangkat siapa saja. Lebih parah lagi 30 tahun Orde Baru, komposisi parlemen kita di DPR dan MPR yang dominan itu Utusan Golongan. Jumlahnya besar dan itu terserah presiden dia mau mengangkat siapa saja, dari golongan mana saja, tidak ada kriteria yang mengatur itu,” jelas Manuel.
Kondisi itu, terlebih pada masa Orde Baru, disebut sebagai sesuatu yang rusak dan menyimpang dari spirit awal UG dibentuk oleh Soekarno di tahun 1959. UG yang dimaksudkan para pendiri bangsa adalah orang-orang yang bisa mewakili banyaknya keragaman yang ada di Indonesia yang eksistensinya tidak bisa diwakili oleh partai politik. Misalnya golongan perempuan, golongan masyarakat adat, dan sebagainya.
“Sejak awal Soekarno sudah menyadari enggak bisa kelembagaan partai modern menampung semua keragaman ini, harus ada ruang-ruang yang dibuka untuk menampung ruang-ruang yang tidak bisa masuk di partai, karena partai punya batasan-batasan,” kata Manuel.
“Kekhasan masyarakat Indonesia yang begitu kompleks tidak bisa disamakan dengan (dunia) barat dan tidak bisa semuanya terepresentasi dalam partai politik,” lanjut dia.
Tidak hanya Utusan Golongan, Dewan Pertimbangan Agung juga dihapuskan keberadaannya, dengan karena sama-sama bukan dihasilkan oleh proses pemilihan umum.
Manuel menyebut kondisi saat itu sebagai semangat demokrasi liberal yang berlebihan. Dan dalam semangat yang berlebihan ini rakyat menganggap semua wakil mereka di pemerintahan harus berdasarkan hasil pemilu. Padahal, dalam praktik politik di banyak negara dunia, tidak semua harus melalui pemilu. Misalnya Inggris sebagai negara demokrasi tertua di dunia, parlemennya bukan merupakan produk hasil pemilu, melainkan hasil pengangkatan.
Pasca amandemen keempat di tahun 2003, Indonesia menganut sistem demokrasi liberal di mana salah satu cirinya adalah setiap individu memiliki hak untuk menentukan. Hak tiap individu itu kemudian disalurkan melalui partai, partai dengan suara mayoritas atau terbanyak itulah pemenangnya dalam kompetisi politik.
“Saya beranggapan dalam konteks masyarakat Indonesia, majoritarian itu tidak cocok. Dan itu ada studinya, tidak semua model demokrasi majoritarian itu cocok (untuk semua negara). akibatnya apa seleksi tidak berjalan dengan seimbang, kelompok-kelompok minoritas tersingkir, mereka tidak terwakili dalam permainan politik yang mengandalkan suara mayoritas,” ujar Manuel.
Ia mencontohkan komposisi parlemen provinsi hingga kabulaten/kota di Papua yang justru didominasi bukan oleh orang Papua. Pasalnya, sistem pemilihan yang memenangkan suara terbanyak semua berangkat dari elektabilitas, kepopuleran, kekuatan kapital, dan sebagainya. Sehingga putra daerah, secemerlang apapun prestasi dan kapabilitas berpikirnya, jika tidak dikenal dan tidak bermodal cukup, maka akan sulit memenangkan pemilihan. Keterwakilan pun menjadi tidak begitu dipentingkan.
Ini merupakan dampak lain dari demokrasi majoritarian. Demi mendapatkan suara terbanyak, banyak pihak yang kini mengandalkan uang untuk mendapatkan sejumlah besar suara. Praktik semacam ini membuat biaya politik (political cost) di Indonesia tinggi.
“Itulah pintu masuk oligarki, ketika biaya politik begitu tinggi, high cost politic, baik di partai maupun ketika pemilihan pada semua level, itu lalu menimbulkan oligarki untuk pendanaan politik. Akhirnya partai pun ada dalam persaingan yang tidak sehat karena begitu sangat high cost, lalu dia bisa menggantungkan dirinya kepada oligarki,” kata Manuel.
Berhantungnya partai politik pada kekuatan oligarki itu kemudian dikenal dengan istilah kartelisasi partai politik.
Orang-orang berlomba untuk bisa menjadi anggota legislatif dengan mengandalkan kekuatan uang, bukan lagi keterwakilan. Partai pun tidak ambil pusing soal itu, yang mereka utamakan adalah partai memiliki sebanyak mungkin kursi di parlemen.
“Maka dia cari orang yang harus punya nama, yang populer, punya uang, punya popularitas. Dan itulah yang kita lihat, wajah parlemen kita sekarang ini pada semua level (diisi) orang-orang yang datang karena faktor popularitas,” jelas dia.
Leave a Reply