“Kalau 25 tahun, itu anak-anak S1 kan tamat umur 22 lah, lalu mereka kerja 2-3 tahun. Dapat apa sampai 25 tahun boleh mendaftar? Tentu enggak cukup pengalamannya…,”
Prof. Djohermansyah Djohan, Guru Besar IPDN
Kabar demokrasi di Indonesia hari ini nampaknya sedang kurang baik. Di akhir masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, masyarakat berulang kali disuguhkan fakta politik yang menggelitik rasa keadilan. Sudah menjadi rahasia umum bagaimana nepotisme dijalankan, dari tingkat pusat hingga daerah. Seolah itu hal yang wajar dan tak perlu diherankan.
Lembaga-lembaga tinggi negara seperti tak berdaya, “manut” melahirkan keputusan sesuai kebutuhan pemegang kuasa. Mereka tak ubahnya alat bagi penguasa itu sendiri, jauh dari independensi yang mestinya di junjung tinggi.
Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan dalam podcast Back to BDM yang tayang di kanal YouTube Budiman Tanuredjo, Rabu (10/7/2024) malam, mengaku prihatin atas kondisi demokrasi hari ini.
“Wah prihatin lah, karena lain yang dicita lain yang tiba. Yang kita citakan demokrasi tumbuh sehat, ada kompetisi yang sehat, yang enggak pakai politik uang, tapi kejadiannya kan enggak gitu. Makin lama kok makin buruk, politik uang makin merajalela, politik dinasti naik terus,” kata Prof. Djoher.
Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri itu menyebutkan data dari Kemendagri, dinasti politik di lingkup kepala daerah pada tahun 2011 masih ada di angka 11 persen. Di tahun 2020, angka itu meningkat hingga ke titik 23 persen.
Menurutnya, ini salah satu indikasi demokrasi berjalan mundur. Pasalnya, dinasti politik yang terjadi di Indonesia tidak dilakukan melalui proses pendidikan dan jalan karier sebagaimana semestinya.
“Politik dinasti ini dilakukan dengan cara yang tidak seperti dinasti politik di tempat-tempat yang lain, yang melalui pendidikan, melalui karir, kemudian mereka naik ke politik pelan-pelan. Jadi tidak tiba-tiba masuk ke ranah politik karena bapaknya jadi bupati, karena suaminya jadi bupati,” ujar dia.
Indikasi lain merosotnya kualitas demokrasi Indonesia menurut Prof. Djohermansyah Djohan adalah tidak ditaatinya aturan hukum dalam konteks menggapai kekuasaan, namun justru main siasat di lembaga peradilan seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Utak Atik Syarat Batas Usia
Aturan-aturan yang sudah ada diakali sedemikian rupa, sehingga apa yang sebetulnya tidak bisa dilakukan menjadi sah dan legal untuk diterabas. Sebut saja soal utak-atik batasan usia calon pemimpin di tingkat daerah maupun pusat.
Saat ini, seseorang bisa mencalonkan diri sebagai calon presiden atau calon wakil presiden meski di bawah usia 40 tahun, selama yang bersangkutan berpengalaman sebagai pejabat negara atau kepala daerah yang merupakan hasil dipilih langsung oleh rakyat. Ini tertuang dalam putusan MK No 90 dan menjadi karpet merah bagi sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka untuk maju di kontestasi nasional menjadi calon wakil presiden dari Prabowo Subianto.
Kemudian, untuk bisa menjadi seorang kepala daerah syaratnya adalah berusia minimal 25 tahun untuk tingkat kota/kabupaten dan minimal 30 tahun untuk tingkat provinsi. Batasan usia itu terhitung saat calon dilantik, bukan saat ditetapkan sebagai calon. Ini merupakah buah keputusan dari MA, yang disinyalir menjadi gerbang untuk putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep maju di Pilkada 2024.
Padahal, menurt Prof. Djoher, saat masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto syarat usia minimal calon gubernur adalah 35 tahun, sementara wali kota/bupati 30 tahun.
“Iya orde baru zaman Pak Harto itu 25 tahun itu undang-undang nomor 5 tahun 1974 berlakunya enggak pernah berubahan sekalipun. Itu Gubernur 35, Bupati/Walikota 30 tahun, kemudian (pasca) reformasi dimuda-mudain 30 tahun (baik bupati/walikota maupun gubernur). Tiba-tiba (sekarang) dibikin muda lagi, diturunkan lagi dari 30 standar baku menjadi 25 untuk bupati/walikota, untungnya Gubernur masih dibikin 30,” jelas dia.
Diturunkannya batas usia calon pemimpin daerah ini menurut Prof. Djoher yang saat itu ada di pemerintahan sebagai Dirjen Otonomi Daerah, merupakan suara kaum milenial yang diaspirasikan melalui DPR.
Meski sempat keberatan karena dirasa tidak memiliki dasar yang kuat untuk menurunkan batas usia itu, akhirnya pemerintah menyetujuinya karena ada tawar-menawar kebijakan antara DPR dan pemerintah ketika itu.
“Kpentingan politiknya keras, sehingga Kalau kami tidak akomodasi nanti ada bagian-bagian pasal tertentu yang mereka (DPR) enggak setuju dengan pemerintah. Jadi ini semacam tawar-menawar, mungkin juga ada kesusupan kaum dinastiwan, karena banyak juga anak-anak bupati/walikota yang bapaknya itu ketua partai di daerah, tentu mereka berkomunikasi sama fraksi-fraksi, sama pimpinan partai di pusat. Nah di situ saya perkirakan masuk juga kepentingan, karena terbukti setelah undang-undang ini berlaku mulailah orang-orang yang muda umurnya 25-26 itu daftar jadi calon bupati/ walikota,” sebutnya.
Padahal, di rentang usia 25 tahunan, menurut Djoher seseorang belum lah matang untuk bisa menjadi seorang pemimpin. Perlu diingat, menjadi gubernur, bupati, atau walikota akan memimpin sekian banyak birokrasi, ratusan ribu bahkan jutaan penduduk. Oleh karenanya, kematangan itu diperlukan.
Kematangan kepemimpinan sendiri baru bisa didapatkan apabila seseorang sudah memiliki jam terbang, track record, dan sudah menjalani berbagai macam peran dalam hal mengurus kepentingan masyarakat.
“Kalau 25 tahun, itu anak-anak S1 kan tamat umur 22 lah, lalu mereka kerja 2-3 tahun. Dapat apa sampai 25 tahun boleh mendaftar? Tentu enggak cukup pengalamannya untuk secara kematangan leadership memimpin wilayah daerah, memimpin birokrasi. Ya kematangan emosional, juga jam terbangnya kan kurang,” kata dia.
Jadilah peraturan itu tertuang dalam Undang-Undang No 22 Tahun 2014. Namun, umur UU itu hanya 3 hari, karena SBY yang ketika itu menjaabat presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2014. Perpu dikeluarkan, karena datang tuntutan yang luas dari masyarakat menganggap diturunkannya batas usia calon pemimpin daerah itu mencederai atau membunuh demokrasi.
Bedanya dengan keputusan MA hari ini, batas usia uang diberlakukan menurut UU 22 Tahun 2014 adalah dihitung saat penetapan calon bukan saat pelantikan. Sementara sekarang, batas usia dihitung saat yang bersangkut dilantik menjadi kepala daerah.
Membayangkan pemimpin daerah berusia 25-30 tahun, Djoher pun menyebut bahwa mayoritas pejabat-pejabat tinggi di tingkat provinsi itu berusia 35 tahun atau lebih, seperti Kapolda yang rata-rata berusia 40 tahunan. Jadi, batas usia yang saat ini diberlakukan untuk pemimpin daerah memang dirasa terlalu rendah.
Untuk menyesuaikan kondisi itu, Djoher menilai, sewajarnya usia bupati/walikota paling rendah adalah 30 tahun, gubernur 35 tahun, dan presiden 40 tahun.
“Itu satu periode jadi bupati berhasil atau walikota berhasil, naik jadi gubernur, dia populer 35 tahun dapat kan slotnya. Kemudian gubernur yang terbaik pun di usia 35 tambah 5 tahun. 40 tahun kan boleh running untuk presiden. nah ini yang secara sekuensi saya lihat itu yang paling kena,” kata Djoher.
“Hanya syaratnya gini, satukan pengaturan Undang-Undang Pilkada dengan Undang-Undang Pemilu kita. Sekarang kan sendiri-sendiri, jadiin satu undang-undangnya, jadi dia bisa dibaca dengan satu kesatuan yang utuh, bukan belah-belah,” lanjut dia.
Mengapa MA mengabulkan uji materi soal batas usia terhitung saat pelantikan, Prof. Djoher pun mengakuinya sebagai hal yang tidak logis.
Itu sangat tidak logis, enggak masuk nalar, enggak masuk pakem juga. Jadi memang ini mengada-ada, ngarang-ngarang memang. Kayaknya sih, karena ada interest-interest dan kepentingan-kepentingan tertentu,” sebut Djoher.
Kondisi ini pun memunculkan sinisme di masyarakat yang dengan kritis memlesetkan MK sebagai Mahkamah Kakak dan MA sebagai Mahkamah Adik. Mengingat dua keputusan lembaga peradilan ini seolah dilahirkan untuk Gibran dan Kaesang, meskipun secara formal asumsi itu sulit dibuktikan.
Lantas menjadi pertanyaan, bukankah para hakim yang memutus di MA dan MK merupakan orang-orang kompeten, dengan latar belakang sebagai guru besar, dan sebagainya. Bukankah semestinya mereka memiliki integritas yang kuat? Namun mengapa kelutusan-keputusan semacam ini bisa dilahirkan?
Prof. Djoher menjawab dengan sederhana. Menurut teori authoritarian legalism, di dunia ini memang ada banyak kasus kekuasaan kaum otoritarian yang bisa mengendalikan legistatif, yudikatif, dan eksekutif.
Jadi, kita hanya perlu mencari cara bagaimana untuk bisa memperbaikinya. Saat ini, sudah ada kelompok-kelompok masyarakat yang mengajukan gugatan ke MK. Mereka menggugat bahwa pengertian syarat usia itu seharusnya dikaitkan dengan usia ketika calon ditetapkan penetapan, bukan pelantikan. Masih ada harapan MK mengabulkan gugatan dan akan mengembalikan aturan itu kepada khitohnya.
Jika gugatan kelompok masyarakat itu dikabulkan oleh MK, maka KPU harus mengikuti putusan MK yang sifatnya final dan mengikat, bukan lagi putusan MA.
“Putusan MK itu adalah gugatan terhadap undang-undang yang dianggap bertentangan dengan undang-undang dasar, sementara yang terkait dengan putusan Mahkamah Agung itu kan konteksnya adalah perubahan pada PKPU-nya dikaitkan dengan undang-undang sendiri jadi tidak konstitusi. Jadi kalau dilihat dari pemahaman level-level aturan perundang-undangan, hierarki maka MK memiliki posisi yang lebih kuat daripada MA,’ jelas Djoher.
Kekuasaan yang disalahpersepsikan
Kasus-kasus utak-atik aturan yang ada hari ini, diartikan Djoher sebagai semangat yang berbeda orang dalam mempersepsikan kekuasaan.
Jika dulu kekuasaan ditempatkan sebagai hal yang sangat sakral dan mulia, sekarang ini kekuasaan dimaknai sebagai sesuatu yang harus didapatkan, dipertahankan, dimanfaatkan untuk mendapatkan keuntungan,
“Jadi memaknai kuasa ini yang agak berbeda dari elit politik kita belakangan ini, jadi sangat greedy of power (serakah atau tamak),” sebut Djoher.
Politisi di era ini banyak yang mati-matian melakukan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan, mulai dari mempraktekkan politik uang, mengandalkan kekuatan orang dalam, menjatuhkan lawan dengan fitnah, dan lain sebagainya.
Setelah kekuasaan didapat, mereka berupaya agar bagaimana caranya kekuasaan bisa digemburkan, dipertahankan, dan diperluas. Salah satunya dengan membangun dinasti, menjadikan sanak atau kerabat dekat sebagai penerusnya.
“Kita ajak anak mantu kita untuk juga tambah atau ikut berkuasa, padahal anak mantu kita kan jual pisang goreng, martabak, itu kan juga enggak kalah mulianya,” kata Djoher menyinggung dinasti Jokowi.
Politik dinasti atau politik kekerabatan di Indonesia sejatinya bukan hal baru, itu merupakan warisan dari masa lalu, dari masa pra kemerdekaan yang belum bisa sepenuhnya dihapuskan.
Carut-marut demokrasi yang ada hari ini baru akan mereda ketika rezim jatuh. Di saat itu, maka orang-orang yang ada di belakangnya akan bertaubat, aliran anti nepotisme, anti korupsi akan bermunculan.
Namun, masa itu tidak berlangsung lama, katakanlah hanya dua dekade saja, masyarakat sudah kembali lupa.
“Jangan gitulah, masa mau reformasi jilid 2. Bagaimana elit politik yang memegang kuasa itu mengendalikan dirinya untuk berkuasa dengan pantas, dengan wajar, bukan mau memupuk kekuasaan. Kan banyak contoh-contoh kita ada Hatta ada Hoegeng, masa lupa sih orang-orang kayak gitu itu,” ujar Djoher.
Dialog selengkapnya dapat disaksikan di video berikut ini:
Leave a Reply