Suatu Malam di Casablanca…

“Casablanca yang romantis di malam itu sekaligus juga menunjukkan pesan keberhasilan sistem monarki menjadikan Islam dan modernitas berjalan sering. Maroko tampak tampil dengan dua wajah, Islam dan kemodernan (Barat) yang berpadu harmonis dalam sosial, budaya, ekonomi, dan politik.”

Pesawat Boeing 787-8 Dreamliner Qatar Airways mendarat mulus di Bandara Internasional Casablanca, Maroko, Kamis 11 Juli 2024, pukul 12.00 waktu setempat setelah menempuh perjalanan sekitar 6 jam 30 menit dari Bandara Doha, Qatar. Hampir tak ada goncangan berarti selama penerbangan. Sejumlah penumpang memberikan applaus atas pendaratan yang hampir sempurna.

Jika dihitung dari Jakarta, perjalanan ke Casablanca (Maroko) dari Bandara Soekarno Hatta ditempuh hampir 24 jam dengan transit di Doha selama tiga jam. Perjalanan panjang yang cukup melelahkan.
Pendaratan di Casablanca adalah awal perjalanan mengeksplorasi sejumlah kota di Maroko, kota di Afrika bagian utara.

Saya bersama dengan sejumlah wartawan Indonesia diundang Duta Besar Quadia Benabdella untuk berkunjung ke sejumlah kota di Kerajaaan Maroko. Rombongan itu dipimpin Ketua Persahabatan Indonesia-Maroko Teguh Santoso. Kota pertama yang dikunjungi adalah Casablanca atau “Rumah Putih”. Sebagian rumah-rumah di Casablanca berwarna putih.

Dubes Maroko untuk Indonesia Quadia Benabdella di rumah dinas duta besar di Jakarta.

Casablanca adalah kota perekonomian sekaligus kota bisnis di Maroko. Adapun ibukota Maroko adalah Rabat. Di Casablanca sudah dibangun Casablanca Financial Center. Kawasan dibangun di areal bekas bandara udara lama di Casablanca. Kawasan CFC adalah kawasan yang sedang bertumbuh di Maroko. Sejumlah lembaga keuangan internasional berkantor di kawasan CFC.

CFC bukanlah bagian dari pemerintahan Maroko. CFC mulai diuncurkan pada tahun 2010 dengan sistem publik private partnership (PPP). Mourad Fathallah, Head of Strategy and International Partnership, kepada sejumlah wartawan Indonesia, di Kantor CFC mengatakan, Benua Arika adalah benua yang sedang tumbuh dan berkembang.

Mourad mengutip narasi pernah yang dibangun Majalah The Economist: From Hopeless to a Hopefull Nation? The Economist menggambarkan pada tahun 1900 benua Afrika sebagai Afro-pessimism era, kemudian tahun 2000 menjadi Aid Era dan pada tahun 2010 menjadi Trade Era. The Economist menggambarkan narasinya soal benua Afrika dari The Hopeless continent, Battling with Aids, Africa Elusive down, How to Make Africa Smile, Helping Africa to help itself, Africa Rising, Aspiring Africa, dan A Hopefull Continent.

Mourad Fatahillah, Head of Strategy and International Partnership.

Perkembangan narasi positif yang menggembirakan. Perkembangan benua Afrika tentunya tak bisa dilepaskan visi dari Raja Maroko Mohamed VI. Raja Mohammed VI mengatakan, “Africa’s time arrived. The century must be Africa’s One.” Dan, CFC melihat sejumlah potensi Afrika yakni demografi dividen, pembangunan infrastrukur, urbanisasi, sumber daya alam, transformasi digital, diversifikasi ekonomi, pemerkayaan tata kelola, dan integrasi regional di kawasan.

Casablanca terus bergerak. Kota yang luasanya 387 kilometer persegi dan dihuni sedikitnya 4,2 juta jiwa menjadi kota terbesar dan pusat ekonomi Maroko. Dari sisi kepadatan penduduk dan fungsi, Casablanca tidak jauh beda dengan Jakarta di Indonesia. Jakarta dan Casablanca menandatangani “sister province” yang ditandatangani 18 April 2018.

Casablanca juga memiliki sisi-sisi kota yang berbeda. Ada sisi kota penuh dengan bangunan tinggalan Perancis pada awal 1900-an yang cantik, tetapi tampak kurang terurus. Sisi lain, seperti di sepanjang Pantai Tahiti tepat di tepi Samudra Atlantik, ada bagian kota yang amat tertata, modern, dan bersih.

Casablanca di Kamis malam, terasa romantis dengan wajah berbeda. Di Café Imperial tampak sejumlah warga masih santai dan bercengkerama sambil ngopi. Casablanca menawarkan multi wajah dan multi kebudayaan. Kantor lembaga keuangan internasional, BNP Paribas, hotel-hotel terkenal beroperasi di kawasan sejenis pasar malam seperi di Tanah Abang Jakarta.

Suasana petang di salah satu sudut kota Kota Casablanca, Maroko.

Masjid Hasan II menjadi salah satu landmarak Casablanca. Di seberang jalan dari kafe itu berdiri menjulang Hotel Hyatt Regency yang megah dan modern. Tak jauh dari hotel itu tampak pula hotel-hotel lain berbintang lima. Hiruk-pikuk kendaraan dari berbagai merek melintasi jalan raya besar yang membelah antara Hotel Hyatt Regency dan pusat pertokoan di jantung kota Casablanca itu.

Geliat modernitas bisa dilihat dari suasana café. Casablanca merupakan kota terbesar di Maroko serta dikenal sebagai kota perdagangan dan keuangan di negara tersebut. Kehadiran Masjid Hassan II sebagai salah satu ikon kota dan geliat kehidupan modern di kota Casablanca sesungguhnya merupakan potret dari karakteristik negara Maroko yang menganut sistem monarki.

Casablanca yang romantis di malam itu sekaligus juga menunjukkan pesan keberhasilan sistem monarki menjadikan Islam dan modernitas berjalan sering. Maroko tampak tampil dengan dua wajah, Islam dan kemodernan (Barat) yang berpadu harmonis dalam sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

Jika Casablanca terus tumbuh dan bergerak seharusnya sisternya di Indonesia, Jakarta yang segera akan menanggalkan status Ibu Kota karena berpindah ke Ibu Kota Nusantara, juga terus tumbuh dan bergerak…

Sudut Kota Casablanca di satu pagi.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *