Pilkada Jakarta 2 Atau 3 Poros?

“…Kami tidak menghendaki gubernur Jakarta ke depan hanya pencitraan, padahal persoalan yang terjadi di Jakarta begitu luas. Tidak hanya orang Jakarta, orang dari luar jakarta juga datang je Jakarta. Jadi bagi kamj bagaimana rakyag Jakarta itu semakin bahagia…”

Indonesia akan menjalani agenda politik Pilkada serentak pada November 2024. Lebih dari 500 daerah di Indonesia akan mencari sosok pemimpin melalui proses pemilihan ini. Daerah Khusus Jakarta (DKJ) adalah salah satu provinsi yang akan menyelenggarakan Pilkada.

Hingga pekan pertama Juli berlalu, belum ada satu pun pasangan calon gubernur dan wakil  gubernur yang dideklarasikan diusung oleh partai politik atau kelompok partai politik. Partai politik itu masih sibuk berdiskusi, menyusun langkah, dan melakukan lobi-lobi guna mendapatkan sepasang calon yang paling berpeluang memenangkan Jakarta.

Sebagai konteks, setidaknya ada 2 kubu politik yang kemungkinan akan bertarung di Pilkada Jakarta. Kubu pertama adalah partai-partai yang tergabung di Koalisi Indonesia Maju (KIM), koalisi yang mendukung Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024. Di dalamnya termasuk Golkar, Gerindra, PAN, Demokrat, dan PSI. Selanjutnya adalah Koalisi Perubahan yang menjagokan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dalam gelanggang yang sama, Pilpres 2024. Dalam koalisi ini, terdapat 3 partai yakni PKB, Nasdem, dan PKS.

Meski bersatu dalam Pilpres, pisah jalan antar partai koalisi bukan hal yang tidak mungkin terjadi. Partai-partai dalam dua koalisi tersebut bisa jadi akan menyeberang ke koalisi lain, atau bahkan membentuk poros sendiri.

Jangan lupa, di luar dua kubu tersebut, masih ada PDIP, satu partai besar yang juga memiliki jumlah kursi cukup banyak di Jakarta. Sama dengan partai lainnya, PDIP bisa bergabung ke dalam kubu yang sementara ini sudah ada, bisa juga membangun kekuatan poros baru dengan mengajak partai lain.

Di Jakarta, untuk Pilkada 2024 tidak ada satupun partai politik yang bisa mengusung calon sendiri, partai-partai harus berkoalisi. Itu disebabkan oleh tidak ada partai yang memiliki 22 kursi, jumlah minimal untuk bisa mengusung calon sendiri. Bahkan, PKS sebagai partai pemenang di Jakarta hanya memiliki 18 kursi saja.

Dinamika politik yang masih begitu cair memungkinkan semua hal untuk terjadi. Pilgub Jakarta bisa diisi oleh 2 kubu besar saja, atau akan terbentuk poros kekuatan ketiga.

Meski poros ketiga mungkin saja terjadi, namun ahli komunikasi politik Gun Gun Heryanto menganalisis hanya akan ada dua poros yang terbentuk dalam Pilgub DKJ nanti.

“Saya melihat sebenarnya potensi yang paling besar di Jakarta ini dua poros. Dua poros itu merepresentasikan kesinambungan dan perubahan,” kata Gun Gun saat menjadi narasumber Satu Meja The Forum Kompas TV (10/7/2024).

Jakarta sangat erat hubungannya dengan politik nasional. Jakarta merupakan wilayah yang sangat potensial untuk mendapatkan sorotan secara nasional. Jadi, siapapun yang memenangkan Pilkada Jakarta 2024, memiliki kans yang tinggi untuk maju dalam Pilpres 2029.

Jadi, dua kubu yang akan berlaga diprediksi adalah KIM, kubu yang merepresentasikan pemerintahan presiden terpilih dan kubu lainnya merepresentasikan kelompok yang ada di luar kekuasaan atau kelompok dari KIM tapi memiliki kepentingan tersendiri untuk 2029.

“Misalnya PDI Perjuangan, 2017 jelas-jelas positioningnya adalah the ruling party, dari awal eksplisit mengusung kader atau mendukung orang yang memang dari awal satu irisan ideologi. Tetapi di 2024 kita bisa lihat betapa cairnya komunikasi PDI Perjuangan, bahkan menyebut nama Anies Baswedan. Artinya, ruang jelajah komunikasi politik PDI Perjuangan tidak hanya dibaca dalam konteks landscape Pilkada Jakarta. tetapi juga on going proses PDI Perjuangan berada di luar kekuasaan,” jelas Gun Gun. 

Meski meyakini hanya akan ada 2 kubu yang bertarung, namun Gun Gun tidak menutup kemungkinan akan adanya poros ketiga yang muncul. Misalnya ketika partai-partai politik melakukan perhitungan ulang atau rekalkulasi, karena sekali lagi Pilkada Jakarta sangat erat kaitannya dengan politik nasional.

Atau, ketika akhirnya Ridwan Kamil tidak jadi maju di Jakarta, melainkan di Jawa Barat. Partai-partai di KIM mungkin akan menyusun strategi sendiri-sendiri, di sini poros ketiga bisa terbentuk.

“KIM ini nanti satu atau enggak dalam mengusung nama, karena ketika Ridwan Kamil misal tidak jadi maju di Jakarta, KIM mungkin saja juga bisa punya strategi sendiri sendiri,” ujar Gun Gun.

Sama dengan Gun Gun, Politisi PDIP Eriko Sutarduga juga menduga pilgub Jakarta hanya akan diisi oleh 2 kubu politik, meski pada perjalanannya bisa saja muncul kubu ketiga.

Ia menyebut semua kemungkinan masih bisa terjadi, apalagi per hari ini belum ada nama pasangan calon yang dipastikan akan berlaga.

“Saya menduga bisa menjadi dua poros. Kalau Kang Emil tidak ke sini (Jakarta), ini bisa menarik ini. Bisa nanti kan tahu-tahu KIM sama Anies lagi, gabung, kan bisa kan. Dikatakan tidak bisa itu is dinamis, dunia ini adalah selalu berubah,” kata Eriko.

Gun Gun menjelaskan ada beberapa hal yang bisa memengaruhi terbentuknya poros ketiga. Pertama adalah soliditas partai-partai di KIM. Jika ditotal, kursi partai-partai di KIM berjumlah.
Kedua, soliditas poros yang potensial mendukung Anies Baswedan.

“Sekarang kan sudah didukung oleh PKS 18 kursi, kemudian PKB 10 kursi. Apakah kemudian jadi satu poros, misalnya, dan mampu meyakinkan Nasdem menjadi penguat, atau jadi satu simpul poros tersendiri? Dan juga posisi PDI Perjuangan akan menentukan, menjadi game changer munculnya poros ketiga atau tidak. Menurut saya dengan posisi sekarang PDI Perjuangan juga masih bisa memberi semacam stimulan pada kekuatan lain untuk menghidupkan poros ketiga,” papar Gun Gun.

Dua atau tiga poros di Jakarta masih sangat mungkin terjadi, terhantung pada persetujuan-persetujuan politik yang akan diambil dalam negosiasi para elit partai.

Ada 3 faktor dalam ilmu politik, yang membuat partai-partai memutuskan untuk berkoalisi. Faktor pertama adalah opportunity structure perspective atau probabolitas perolehan suara. Dalam faktor pertama ini, sosok yang memiliki angka elektabilitas tinggi pasti akan menjadi rebutan partai-partai politik.

Faktor kedua adalah benefit of office atau keuntungan dalam kekuasaan. Faktor ini harus dilihat dengan kacamata yang lebih luas, tidak sebatas pada keuntungan di dalam DKJ, tapi juga nasional.

Faktor ketiga adalah cost of entry atau biaya masuk gelanggang pertarungan.

Jakarta panggung politik nasional

Siapa saja orang yang menjadi pemimpin dj Jakarta pasti akan disorot oleh media dan beritanya akan menjadi konsumsi masyarakat secara nasional. Hal itu tidak bisa lagi dibantah.

Jakarta merupakan provinsi khusus, yang sekian lama menjadi ibu kota negara Indonesia. Di sana terdapat pusat pemerintahan, pusat bisnis, budaya, pendidikan, dan sebagainya. Jakarta jadi provinsi dengan wilayah yang terbilang kecil namun memiliki anggaran yang fantastis, lebih dari Rp 80 triliun. Jangan lupa, Jakarta juga memiliki kompleksitas permasalahan yang tinggi jika dibandingkan dengan provinsi yang lain.

Tak heran, jika panggung politik di Jakarta bisa mengantarkan pelakunya menuju panggung politik nasional, sebut saja dalam pemilihan presiden. Bahkan, gubernur Jakarta kerap dijuluki sebagai RI-3.

Politisi Gerindra yang juga mantan wakil gubernur Jakarta, Ahmad Riza Patria menyebut Jakarta sebagai episentrum, pusat segala pusat berbagai hal di Indonesia. Besarnya anggaran yang dimiliki juga bisa membuat gubernur Jakarta leluasa menunjukkan kreativitasnya membangun berbagai hal yang bersifat fisik.

Dengan segala kondisi yang ada di dalamnya, tak heran jika Jakarta menjadi etalase politik nasional, gerak-gerik gubernur Jakarta akan selalu mendapat perhatian.

“Memang Jakarta ini satu tempat yang penting bagi pemimpin yang ingin menjadi presiden ya. Sehingga tidak salah semuanya melihat sejak Pak Jokowi menjadi presiden, dari Solo ke Jakarta, kemudian semuanya berbondong-bondong menghitung bahwa Jakarta menjadi penting. Termasuk juga partai-partai melihat Jakarta adalah tangga untuk ke Pilpres,” kata Riza.

Namun, KIM melihat Jakarta sebagai kota yang beririsan langsung dengan pemerintah pusat, sehingga sebisa mungkin mereka akan mendukung calon pemimpin yang sejalan dengan pusat.
Politisi dari PKB, Luluk Nur Hamidah bahkan meyakini Jakarta akan tetap menjadi pusat perhatian meskipun ibu kota negara sudah di pindahkan ke Nusantara, Kalimantan Timur.

“Betapa penting dan strategisnya Jakarta, karena sekian dekade menjadi ibu kota, belum lagi sejarah panjang yang dimiliki Jakarta sejak era kolonial, itu tidak memungkinkan untuk tiba-tiba kemudian di-deny hanya karena kita punya IKN. Jadi mau ada IKN atau tidak, Jakarta tetap penting,” ujar Luluk.

Oleh karena itu, siapapun yang memimpin Jakarta nantinya diharapkan memiliki kompetensi yang tinggi, bekerja serius untuk mensejahterakan rakyat Jakarta, dan tidak sekadar memanfaatkan Jakarta untum menumpang panggung demi ambisi pribadi/kelompok menuju kontestasi pemilihan presiden.

Dialog selengkapnya bisa Anda simak dalam video berikut ini:



Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *