“Bangsa ini butuh keteladanan, bukan kemunafikan. Bangsa ini butuh pemimpin yang satunya kata dan perbuatan, bukan yang kebalikannya,”
Cerita ini saya petik dari tulisan rekan saya, Luki Aula di Harian Kompas, 6 Juli 2024. Judul features itu adalah “Rutte dan Mujica Pensiun Tanpa Rumah dan Mobil Mewah.” Mark Rutte adalah Perdana Menteri Belanda. Sedang Jose Mujica adalah mantan gerilyawan Uruguay yang menjadi Presiden Uruguay (2010-2015).
Kisah-kisah di luar negeri selalu punya daya tarik. Harian Kompas punya kebijakan editorial untuk menulis kisah-kisah di luar negeri sebagai cermin atas problem domestik. Kisah Rutte dan Mujica tentunya bisa digunakan sebagai cermin oleh sejumlah penyelenggara negeri ini.
Masa jabatan Perdana Menteri Mark Rutte berakhir Selasa 2 Juli 2024 setelah menjabat 14 tahun sebagai PM Belanda. Rutte meninggalkan Kantor PM dengan sepeda. Rutte memang selalu menggunakan sepeda untuk pulang pergi ke kantor PM Belanda dari apartemennya. Rutte pulang ke apartemen tanpa pengawalan atau rombongan yang mengantarkannya.
Di Jakarta sangat jarang ada pejabat yang menggunakan sepeda ke kantornya. Padahal di sejumlah wilayah di Jakarta, jalur sepeda sudah dibuat. Karena tidak dipakai, jalur sepeda itu diokupasi menjadi tempat parkir motor yang memarkir motornya sambil makan malam di pinggir jalan. Kalau ada yang pura-pura bersepeda mungkin hanya sekadar untuk kepentingan konten. Era konten adalah era realitas semu. Bukan sejatinya.
Saat meninggalkan Kantor PM, Rutte juga tidak mau mau berpidato. Dan, juga tidak mau diberi kado. Ketika ditanya pers bagaimana dengan kinerjanya, Rutte mengatakan, “Biasa-biasa saja. Mungkin nilainya 6 atau 6,5. Memuaskan, tapi tidak terlalu bagus,” ucapnya.
Gaya hidup Rutte menarik. Ia menyetir mobil sendirian. Datang ke kafe sendirian tanpa staf, tanpa ajudan. Dia sering belanja ke supermarker sendirian. Bahkan ada video yang viral, Rutte sempat menumpahkan kopi di kantornya, dan dia mengepelnya sendiri.
Ia hidup biasa saja. Sama dengan rakyat biasa. Layak kita bercermin pada Rutte. Bagaimana polah tingkah pejabat kita. Kemana-mana pergi dikeliling danyang-danyang. Dengan mobil plat nomor khusus. Dikawal polisi. Ada tim advanced, tim pendamping, tim media. Pokoknya, seabrek dayang-dayang menyertai kemana pejabat itu pergi. Padahal, itu semua pemborosan uang negara.
Jose Mujica juga menarik. Mantan gerilyawan dan menjadi Presiden Uruguay 2010-2015 disebut sebagai Presiden termiskin di dunia. Ia tidak mau tinggal di Istana. Ia tinggal di rumah sederhanannya di daerah pertanian miskin dan menyumbangkan 90 persen gajinya untuk amal. BBC pada 12 november 2012, pernah menulis, banyak baju dijemur di rumah jemuran. Ilalang tumbuh. Hanya ada dua orang polisi menjaganya.
Kisah menarik juga ditemukan pada diri Paus Fransiskus. Pemimpin tertinggi Umat Katolik yang akan datang ke Indonesia September 2024. Paus Fransiskus dikenal sebagai sosok yang memiliki gaya hidup yang sederhana. Ia tidak mau tinggal di istana kepausan, tapi dia tinggal di apartemen. Paus Fransiskus lahir dengan nama Jorge Mario Borgoglio pada 17 Desember 1936. Dia adalah Paus ke-266. Saking sederhananya, kedatangan Paus ke Indonesia bisa merepotkan. Dia tak ingin menggunakan mobil antipeluru. Dia akan menggunakan mobil biasa saja. “Kemungkinan Kijang,” kata seorang petinggi gereja di Jakarta.
Kisah-kisah inspirasi pemimpin negeri, mengingatkan saya akan kisah Mohammad Hatta, proklamator dan Wakil Presiden. Untuk membeli sepatu Bally saja, Hatta dilaporkan tidak mampu membelinya. Sukidi menulis esai di Harian Kompas, 30 September 2021. Judulnya: Jalan Penderitaan Pemimpin. Sukidi menulis demikian, “…. Atas nama pengabdian kepada negara dan rakyatnya, Soekarno memilih hidup sederhana dan berkata: ”Aku satu-satunya presiden di dunia yang tidak punya rumah sendiri. Baru-baru ini rakyatku menggalang dana untuk membangun sebuah gedung buatku, tapi di hari berikutnya aku melarangnya. Ini bertentangan dengan pendirianku. Aku tidak ingin mengambil sesuatu dari rakyatku. Aku justru ingin memberi mereka” (Asvi W Adam, 2010:41).
Sebagai pendiri bangsa, Soekarno memberikan teladan terbaik dalam etika bernegara bahwa kepemimpinan adalah jalan panggilan dan pengabdian hidup, menangis dan tertawa bersama rakyat, dan tidak terpikirkan untuk mengambil sedikit pun dari rakyatnya, tetapi justru menjiwai spirit pengabdian untuk rakyatnya
Seperti Soekarno, Mohammad Hatta telah menjadi legenda dalam memilih jalan hidup yang sangat sederhana. Selepas dari pengunduran dirinya menjadi Wakil Presiden RI pada tahun 1956, Hatta tak punya uang pensiunan yang cukup hanya untuk membayar tagihan listrik dan air dan impiannya untuk memiliki sepatu dengan merek Bally pun tidak terwujud hingga akhir hayatnya.
Meutia Hatta, putri pertama Hatta, pernah membacakan wasiat yang ditulis oleh Hatta pada tahun 1975: ”Apabila saya meninggal dunia, saya ingin dikuburkan di Jakarta tempat diproklamasikan Indonesia merdeka. Saya tidak ingin dikubur di makam pahlawan (Kalibata). Saya ingin dikubur di tempat kuburan rakyat biasa, yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya.” Pesan wasiat ini tentu menggetarkan hati nurani kita, karena kita disadarkan tentang spirit pengabdian dan keteladanan hidup Hatta yang didedikasikan sepenuhnya untuk negara dan rakyatnya. Hatta menjiwai sepenuh hati tentang arti kehidupan rakyat biasa, dengan penuh sadar dalam memilih jalan hidup yang sangat sederhana sebagaimana yang dialami oleh rakyat biasa.
Bangsa ini butuh keteladanan, bukan kemunafikan. Bangsa ini butuh pemimpin yang satunya kata dan perbuatan, bukan yang kebalikannya. Soekarno maupun Hatta telah memberikan teladan terbaik tentang pentingnya spirit pengabdian untuk negara dan rakyatnya. Konsekuensi logis dari spirit pengabdian itu adalah ketulusan hidupnya untuk menempuh jalan penderitaan bersama rakyatnya.
Kisah lain bisa dilihat Agus Salim. Ia hidup dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya, pernah hidup tanpa listrik, dan tidak pernah punya rumah sampai akhir hayatnya. Pada tahun 1925, Mohammad Roem pernah diajak oleh Kasman dan Soeparno, keduanya pelajar Stovia, ke rumah Agus Salim di Gang Tanah Tinggi, Jakarta. Dalam pertemuan itu, Kasman berkata, ”Jalan pemimpin bukan jalan yang mudah. Memimpin adalah jalan yang menderita.” Menurut Mohammad Roem, ”Ucapan Kasman tidak mempunyai arti sastra kalau dikatakan dalam bahasa Belanda. Dalam bahasa Belanda, ada dua kata yang berbunyi sama, tapi ditulis berbeda: leiden (memimpin) dan lijden (menderita)” (Mohammad Roem, Prisma, No 8, 1977). Testimoni Mohammad Roem ini merefleksikan arti penting makna kepemimpinan sebagai jalan penderitaan yang dijalani oleh Agus Salim.
Kini dan saat ini, mencari keteladanan bisa mencari ke masa lalu. Tapi bisa saja mencari ke negara lain seperti Mark Rutte Jose Mujica.
(Budiman Tanuredjo)
Leave a Reply