Negara Hukum Indonesia Sudah Roboh

Bolehlah pemerintahnya melanggar hukum, bolehlah penegak hukumnya melanggar hukum, bolehlah macam-macam. Tapi kalau lembaga peradilannya kokoh, apapun yang mereka lakukan akan tumbang. Jadi kunci negara hukum itu apakah tetap tegak berdiri kita lihat pada keberadaan lembaga peradilannya…”

Benny K. Harman

Indonesia merupakan negara demokrasi yang segala sesuatunya didasarkan pada aturan hukum. Mulai dari kehidupan berbangsa hingga bernegara.

Berbicara soal Indonesia sebagai negara hukum, anggota DPR-RI dari Partai Demokrat Benny K. Harman menilai ada masalah dalam ideologi negara hukum Indonesia.

Doktor hukum dari Universitas Indonesia itu mengatakan tujuan hukum di antaranya adalah menciptakan ketertiban, keteraturan, melindungi HAM, menjamin kesetaraan semua orang di hadapan hukum, dan sebagainya.

“Tidak boleh ada kelompok yang menggunakan hukum untuk kepentingan kelompoknya, atau tidak boleh kekuasaan menggunakan hukum untuk kepentingan kekuasaan itu sendiri. itu akan menjadi problem, itu akan menjadi pertanyaan, bahkan itu akan menjadi krisis untuk negara hukum kita,” kata Benny dalam podcast bersama Budiman Tanuredjo di Back to BDM.

Gejala-gejala bahwa negara hukum kita tengah bermasalah, disebut Benny sudah mulai nampak. Misalnya digunakannya hukum untuk kepentingan kekuasaan, penerapan hukum secara diskriminatif, dan sebagainya.

Saat ini, mudah ditemukan hukum kerap digunakan untuk menyerang lawan politik, atau pihak yang dianggap berseberangan dengan penguasa. Padahal, semestinya hukum tidak hanya diarahkan pada pihak tertentu. Semua yang melanggar, entah itu penguasa, entah itu kelompok penyeimbang kekuasaan, atau bahkan rakyat sipil, semua harus berhadapan dengan hukum dengan mekanisme dan aturan yang sama.

“Kalau ada yang bersalah harus mendapatkan hukuman yang setimpal, yang sama, tidak boleh kalau saya salah saya dihukum sedangkan si B salah tidak dihukum atau hukumannya dikurangi. Apakah sekarang sudah berjalan seperti yang kita idealkan? Kita harus mengatakan belum, malah mengalami kemerosotan,” tegas Benny.

Bukan perkara aneh hari ini, ketika suatu kasus hukum tiba-tiba dimunculkan pada waktu tertentu, misalnya jelang masa pemilihan, karena ada kepentingan rezim terhadap pihak yang kasusnya dinaikkan tersebut.

Indikasi Runtuhnya Negara Hukum

Benny yang sudah 20 tahun malang-melintang menjadi anggota dewan di Senayan, mengatakan negara hukum tak bisa lagi disebut sebagai negara hukum jika lembaga-lembaga tinggi di dalamnya tak lagi independen menjalankan tugas pokok dan fungsinya masing-masing.

Dengan kata lain, lembaga-lembaga negara dalam bekerja dan mengambil keputusan mendasarkan pada arahan atau kemauan pihak tertentu, dalam hal ini salah satunya adalah pihak penguasa.

Misalnya DPR yang tak lagi menjalankan fungsi sebagai pengontrol dan penyeimbang pemerintah, KPK yang bekerja hanya berdasarkan pesanan, atau lembaga peradilan seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang kehilangan independensinya.

“Negara hukum ini akan survive apabila prasyaratnya ini lembaga-lembaga demokrasinya juga jalan, parlemennya jalan, hakim di pengadilannya jalan. Hakimnya harus independen. Kalau hakim Mahkamah Agung jadi perwakilan politik atau Mahkamah Konstitusi jadi kepanjangan tangan politik, kan susah. Kalau itu yang terjadi maka institusi penegak hukum ini mandul dan di situlah robohnya negara hukum itu,” jelas Benny.

MA dan MK

Sebagai lembaga tinggi di bidang peradilan, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sudah semestinya berdiri tegak dan kokoh, menghadirkan keputusan-keputusan yang adil dan berkualitas.

Independensi adalah mahkota dari dua lembaga tinggi negara ini. Jika kerja MA dan MK sudah disetir, diarahkan, bisa ditekan, dan justru menjadu alat kekuasaan, maka hilang lah marwahnya.

“Apakah di Mahkamah Konstitusi ataupun di Mahkamah Agung, suka atau tidak suka, harus berani kita katakan bahwa kelemahan kita sekarang ada di dua institusi penegakan hukum ini. Menurut saya dua lembaga ini mengalami krisis pada saat ini, mengalami krisis roboh lah,” ujar Benny.

Ia menyebut salah satu contoh bagaimana krisis itu terjadi di MA, yakni terkait banyaknya keputusan yang sudah inkrah atau berkekuatan hukum tetap, namun tidak bisa dilaksanakan. Contoh lain, ketika Hakim MA memutuskan soal usia calon kepala daerah baru-baru ini.

Seseorang kini bisa mencalonkan diri sebagai kepala daerah dengan usia minimal 30 tahun saat dilantik. Padahal, waktu pelantikan adalah sesuatu yang belum pasti, karena kapan tanggal tepatnya belum disampaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Meski keputusan itu datang dari seorang hakim yang kompeten, memiliki latar belakang Profesor dan guru besar sekalipun, namun jika tidak masuk di akal, maka keputusannya akan selalu dipertentangkan. Pun dengan integritas sang hakim, akan menjadi dipertanyakan.

Benny meyakini ada intervensi atau tekanan hebat di balik keputusan ini, sehingga seorang Profesor dengan segala kompetensi dan kehebatan pikirnya bisa menghasilkan satu keputusan yang tidak masuk akal.

“Menurut saya si profesor yang memutuskan ini juga dia tahu bahwa ini enggak masuk di akal hukum begitu. Tapi kenapa dia kemudian memutuskannya begitu, kan melawan akal sehat. Akal sehat itu kan hanya bisa dirontok oleh kekuasaan dan duit. Itu kan rumus umum di mana-mana,” ujar anggota Komisi III DPR itu.

Itu MA, sama halnya dengan MK, yakni saat lembaga itu mengeluarkan putusan lagi-lagi soal syarat batas usia. Kali ini batas usia yang diturunkan ke angka tertentu untuk seseorang bisa mencalonkan diri menjadi calon presiden dan calon wakil presiden.

Meski ketidakjelasan terjadi di sana-sini, namun tidak ada lembaga negara lain yang merespons dengan tegas, termasuk DPR. Menyikapi hal itu, Benny pun berdalih DPR tidak hanya satu kepala, suara terbanyak lah yang akan menjadi arah tindakan yang diambil oleh lembaga dewan.

Hari ini diam, mungkin karena adanya tekanan, ancaman, kepentingan, menjaga hubungan baik, dan sebagainya. Namun jika esok, lusa, atau tahun depan mulai ada yang berbicara, itu bukan hal yang mustahil. Setidaknya itu yang dikatakan Benny.

Hal-hal semacam ini menurut Benny sudah mulai terendus sejak 5 tahun belakangan atau di masa periode kedua kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

KPK

Tidak berbeda jauh dengan MA dan MK, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengalami hal serupa.

KPK sebagai salah satu produk reformasi begitu dielu-elukan oleh masyarakat. KPK memiliki kewenangan untuk menelisik tindak kejahatan korupsi ke seluruh lembaga negara, termasuk kejaksaan, kepolisian, kementerian, dan semuanya.

Oleh karena itu, wajar menurut Benny apabila pihak-pihak tertentu merasa kehadiran KPK sebagai sebuah ancaman. KPK dianggap sebagai lembaha yang membahayakan bagi jalannya kekuasaan.

“Periode pertama Pak Jokowi, KPK itu masih tetap yang lama (bertaring dan disegani). Setelah dievaluasi, KPK ini enggak bisa menjadi sahabat penguasa, lalu dia perlahan dipreteli. Okelah dia tetap bergigi tapi diatur itu kapan dia harus menggigit dan siapa yang harus dia gigit,” ungkap Benny.

Di balik semua upaya pelemahan atau amputasi kewenangan KPK itu, Benny tidak ragu menyebut Presiden lah tokoh yang ada di balik itu semua. Presiden yang mengontrol agar KPK tak lagi “membahayakan” kekuasaan.

Pertarungan dua kekuatan

Melihat kondisi eksistensi lembaga-lembaga tinggi negara hari ini, Benny melihat sesungguhnya ada dua kekuatan yang tengah bertarung.

Kekuatan pertama adalah mereka yang ingin mempertahankan ideologi negara hukum. Mereka misalnya adalah masyarakat kelas menengah: akademisi, mahasiswa, guru, pekerja, dan sebagainya.

Kelompok ini menghendaki terciptanya keadilan dan berjalannya sistem yang berbasis meritokrasi.

Kekuatan kedua, yakni mereka yang ingin melemahkan dan menundukkan negara hukum ini agar bisa dikontrol oleh kekuatan politik. Siapa saja kekuatan kedua yang dimaksud, Benny tak mau menuturkan secara gamblang.

“Siapa-siapa di bawahnya itu kan kita bisa melihat sendirilah,” ujarnya.

Yang jelas, meraka adalah kelompok yang menginini lembaga-lembaga negara berjalan beriringan dengan kepentingan politik mereka. Jika berseberangan atau menghalangi, maka harus ditundukkan.

Dalam pertarungan dua kekuatan berseberangan ini, Benny menyebut semestinya Presiden sebagai pemimpin tertinggi negara berperan sebagai pelindung semua sistem kenegaraan, bukan malah menjadi bagian dari yang mengobrak-abrik.

Karena, ketika Presiden ada dalam kelompok kedua, maka apa lagi yang bisa diharapkan dari ideologi negara hukum Indonesia. Dan jika hal semacam ini terus dibiarkan terjadi, maka bersiaplah untuk kembali ke sistem negara otoriter sebagaimana pernah dijalani Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.

Kalau mau benahi, mulai dari mana?

Negara hukum yang sudah roboh ini harus segera diperbaiki. Pemerintahan baru yang akan dilantik lada 20 Oktober mendatang diharapkan dapat memberikan kerja terbaik guna mendirikan kembali ideologi negara hukum.

Caranya dimulai dari memperkuat sendi-sendi negara hukum itu sendiri, yakni lembaga MA, MK, dan KPK.

Bentuk konkret dari memperkuat itu, menurut Benny adalah dengan Presiden mengajukan rancangan undang-undang. Misalnya untuk mengembalikan kegarangan KPK dalam menumpas penjahat berdasi, kembalikan independensinya, dan menjadikan pegawai KPK tidak di bawag institusi kepolisian dan kejaksaan.

“Saya yakin (presiden baru akan mengembalikan kekuatan KPK), artinya dari kampanye dari retorika yang dia sampaikan kita punya keyakinan dan harapan kalau betul beliau serius ini yang dia harus lakukan. Tapi memang nanti dia harus berhadapan dengan kekuatan politik di parlemen. Ya mudah-mudahan nanti apa yang menjadi agenda beliau untuk memberantas korupsi ini menjadi agenda bersama kekuatan politik koalisi di parlemen. Saya rasa kalau ini dilakukan pasti berhasil,” jelas Benny.

Sementara terhadap MA, pembenahan juga perlu diadakan. Ia menyebut selama masa kepimpinan Jokowi, tidak ada produk hukum yang berorientasi pada penguatan lembaga peradilan.

Begitu pula terhadap MK. Pemerintahan baru nanti diharapkan dapat mengembalikan Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga yang benar-benar independen dan menjalankan tugasnya semata-mata sesuai dengan ketentuan konstitusi.

“Saya yakin kalau itu (pembenahan lembaga) dia lakukan, apa yang menjadi impian dia, ekonomi itu akan berjalan dengan sendirinya,  menopang dengan sendirinya. Ekonomi enggak bisa tumbuh kalau tumbuh dari praktik-praktik yang korup,” tegas Benny.

Dialog selengkapnya antara BDM dengan Benny K. Harman dapat disaksikan dalam video di bawah ini:


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *