Partai Politik Menakar Langkah di Pilgub Jakarta 2024

“Jakarta tuh berapa juta jumlah penduduknya. Sekian juta itu yang akan kita pertaruhkan dalam pemilihan orang-orang (pasangan calon gubernur dan wakilnya) itu. kita sudah timbang matang-matang saja bisa salah, apalagi kemudian sekedar pilih gitu loh”

Adian Napitupulu-Politisi PDIP

Pemilihan Kepala Daerah 2024 akan segera digelar 27 November mendatang. Tak kurang dari 500 daerah di Indonesia akan menggelar proses pemungutan suara serempak untuk mencari sosok kepala daerah mereka masing-masing.

Tak seperti kebanyakan pilkada yang relatif senyap atau kurang tersorot, pemilihan gubernur provinsi-provinsi yang ada di Pulau Jawa biasanya lebih mendapat perhatian. Khususnya untuk akhir-akhir ini adalah Pilgub di Daerah Khusus Jakarta (DKJ). Jakarta merupakan kota megapolitan, pusat bisnis, dan saat ini masih menjadi pusat pemerintahan dimana pemimpinnya biasa disebut sebagai RI-3. Menunjukkan betapa penting posisi Gubernur Jakarta.

Sejumlah nama mulai muncul untuk kontestasi di DKJ. Yang paling santer dibicarakan adalah Anies Baswesan dan Ridwan Kamil. Anies yang datang dari kalangan nonpartai banyak dilirik partai politik untuk diusung di Jakarta. Sementara Ridwan Kamil yang saat ini tercatat sebagai kader Golkar sedang ditawari 2 opsi, maju di Jakarta atau Jawa Barat. Namun, kurang dari 2 bulan jelang masa pendaftaran pasangan calon, hingga saat ini belum ada satu pun pasangan calon gubernur dan wakil gubernur untuk DKJ yang resmi dideklarasikan.

Partai-partai politik masih menyusun strategi dan terus berdialog dengan berbagai pihak demi memperoleh pasangan terbaik di tiap daerah dan kantongi suara mayoritas.

Sebagian besar dari mereka masih terus memantau hasil survei dan menimbang opsi-opsi kekuatan yang harus dibangun demi memenangikan Pilkada.

Sejumlah politisi dari berbagai partai politik juga pengamat hadir berdialog di program Satu Meja The Forum Kompas TV (3/7/2024) dan membahas langkah mereka menuju Pilkada 2024.

Politisi Golkar Ace Hasan Syadzily menjelaskan mengapa partainya menugaskan mantan wali kota Bandung Ridwan Kamil antara ke Jakarta atau ke Jawa Barat. Alasannya adalah elektabitas RK di dua provinsi tersebut yang relatif tinggi.

“Yang namanya survei itu kan sangat dinamis ya,  kami juga harus bisa memastikan. Apalagi waktu itu konfigurasinya masih belum sangat jelas nanti yang akan maju di Jawa Barat siapa, yang akan maju di DKI Jakarta siapa.

Dalam survei SMRC, 73 persen masyarakat Jawa Barat menginginkan RK untuk kembali maju di Pilgub Jabar untuk kedua kalinya. Survei di Jakarta pun cukup mentereng sebelum Anies Baswedan dideklarasikan oleh PKS.

Namun, pasca peristiwa politik itu, belum ada lagi hasil survei elektabilitas yang hasilnya bisa dijadikan acuan.

“Dari dua survei di dua daerah tersebut itulah yang nanti akan diputuskan. Sejauh ini, Kang Emil sendiri mengatakan bahwa itu baru diputuskan pada bulan Juli dan kami harus fatsun terhadap apa yang disampaikan oleh Pak Emil,” kata Ace.

Beralih ke Gerindra, partai yang dipimpin oleh Prabowo Subianto ini juga belum menentukan nama yang akan maju di Jakarta.

Wakil Ketua Umum Gerindra, Habiburokhman menegaskan partainya maupun partai-partai di Koalisi Indonesia Maju (KIM) belum memiliki pasangan yang disepakati.

“Semua kita masih lihat dinamika yang terus berjalan. Kembali lagi rumusnya kalau partai Gerindra, kalau bisa kader kami sebagai gubernur, kalau enggak bisa ya sebagai wakil gubernur, kalau enggak bisa ya kader dari rekan koalisi (yang jadi cagub/cawagub). Ini prosesnya terus berjalan,” ujar Habib.

Tak hanya Golkar dan Gerindra, PKS yang sudah resmi menyatakan dukungan pada Anies Baswedan dan mengusung kadernya Sohibul Iman pun belum mematenkan pasangan AMAN itu sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di Jakarta. Semua masih dalam proses pembahasan dan belum bisa diputuskan saat ini.

“Pertama, PKS walaupun menang di DKI tidak dapat sendirian (mengusung paslon), harusnya 22, kita 18, kurang 4. Jadi enggak punya golden ticket. Yang kedua kita memahami Pilkada itu urusan figur tokoh. Ada tokoh besar yang selama ini sangat dekat kolaboratif dengan PKS  Anies Baswedan. Akhirnya kita mengajukan Anies-Sohibul Iman disingkat AMAN, tapi Itu versinya PKS,” jelas Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera.

Demi mendapatkan kekurangan kursi, saat ini PKS masih terus berkomunikasi dengan PKB, Nasdem, bahkan PDIP.

Terkait belum adanya nama calon pasangan yang resmi diusung di Jakarta, pengamat politik Ahmad Khoirul Umam menyebut Jakarta memiliki kompleksitas tersendiri, sehingga perlu strategi yang amat matang dari tiap parpol untuk mengajukan calonnya di sana.

“Kalau di sisi KIM, transformasi KIM itu sepertinya betul-betul ingin dilakukan terutama di Jakarta untuk menghadirkan kekuatan, supaya tidak memberikan panggung yang begitu besar kepada nama yang berpotensi menjadi potential challenger yang sangat besar di pemilu 2029,” ujar Umam.

Satu Meja The Forum (3/7/2024).

Seperti disebutkan sebelumnya, Jakarta adalah provinsi yang begitu disorot seolah menjadi etalase politik nasional, sehingga gubernurnya pun kerap dijuluki sebagai RI-3.

Umam melihat, hingga hari ini masih ada kegamangan, tarik ulur kandidat, karena pertaruhannya yang cukup besar.

Menyoal RK, Umam memahami mengapa namanya seolah disimpan untuk Jawa Barat.

“Jawa Barat itu  provinsi yang memiliki kontribusi suara dan kursi yang sangat besar dalam konteks pemilu dan Golkar sendiri baru saja mampu melakukan konsolidasi di sana. Kalau misal dilepaskan, tentu hitung-hitungannya menjadi berbeda,” sebut Umam.

Beralih pada pasangan AMAN, Umam menyebut Anies jika dipasangkan dengan Sohibul Iman dari PKS tak akan menambah ceruk suara. Keduanya diidentifikasi memiliki basis suara yang sama.

Dalam Pilpres sebelumnya, Anies unggul di Jakarta Timur, Jakarta Selatan, dan Jakarta Pusat. Jika ingin mendongkrak suara di Jakarta Utara dan Jakarta Barat, semestinya ada nama lain yang disandingkan bersama Anies, selain dari PKS.

“Kalau menggunakan logika potensi kemenangan lebih besar, harusnya melakukan advancement dalam konteks basis pemilih tadi. Di sinilah kemudian proposal dari PDIP yang cukup menarik untuk mengajukan Anies Baswedan dengan salah satu nama dari PDIP,” sebut dia.

Meskipun masih dipertanyakan apakah memungkinkan PKS dan PDIP bergandengan dalam satu koalisi mengingat keduanya memiliki ideologi yang berbeda dalam menjalanakan politik di Indonesia.

Jika perbedaan ideologi itu berhasil dihilangkan, maka Umam memperkirakan akan terjadi kejutan menarik di Pilgub Jakarta. Perkawinan PKS dan PDIP bisa menjadi game changer.

Politisi PKB, Daniel Johan setuju dengan Umam soal kompleksnya pilkada dan Jakarta.

“Pilkada di DKI itu sangat khusus ya, karena mungkin nanti kalaupun ibukota pindah, tetapi kan kemenangan Pilkada di DKI atau DKJ itu tetap harus 50 plus 1, sehingga kami harus memastikan untuK kemenangan adalah yang terbaik, siapa yang harus mendampingi Pak Anies. Sejauh ini bisa saja dengan PDIP, misalkan siapun nanti calon dari PDIP kita lihat mana terbaik. Kita terbuka dengan siapa saja,  kalau Gerindra mau gabung pun kita terbuka, “ujar Daniel.

Menanggapi hal itu, Ketua Tim Pemenangan Pilkada PDIP Adian Napitupulu partainya memiliki banyak landasan dan pertimbangan sebelum mengeluarkan nama untuk pilkada di daerah mana pun. Tidak cukup hanya survei. Survei tetap digunakan, namun hanya menjadi salah satu indikator saja.

“Survei menjadi salah satu alat ukur, betul, tapi kalau kemudian secara ideologi dia tidak sama, tidak punya seradisitas dengan kita dalam konteks melihat keberagaman, melihat hal-hal kita sama-sama menolak, diskriminasi dalam segala macam bentuknya, dan sebagainya dia berbeda, kita kan bertimbang-timbang dong. Kalau kemudian dia lebih berpihak pada pengerusakan lingkungan, ya kita pasti bertimbang-timbang juga,” ujar Adian.

PDIP meyakini, meski lama namun nama yang mereka usung adalah nama terbaik yang sudah melalui proses penyaringan di berbagai aspek.

Partai Wong Cilik itu meyakini, baik buruknya pemerintahan selama satu periode atau 5 tahun, menjadi tanggung jawab moral dari partai yang mengusung si pemimpin di daerah tersebut.

Meski nantinya Jakarta tak lagi menjadi ibu kota negara Indonesia, namun banyak pihak meyakini Jakarta akan tetap menjadi kota di mana peradaban terpusat.

“Ini memang provinsi yang sangat penting menurut saya, karena pusat informasi, pusat bisnis, dan lain sebagainya. Penting bukan hanya untuk warga di Jakarta sendiri, karena juga ada efeknya untuk daerah-daerah yang lain. Karena itu kami menjadikan Jakarta sebagai salah satu provinsi yang sebisa mungkin kita harus menang. Dan kalau bisa Insya Allah ini adalah hattrick ketiga kalinya bagi kami memenangkan Pilkada di Jakarta,” jelas Habib.

Sebelumnya, Gerindra memenangkan Pilkada DKI Jakarta di tahun 2012 (Jokowi-Ajok) dan 2017 (Anies-Sandiaga).

Dialog selengkapnya dapat disaksikan melalui tautan video berikut ini:


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *