Manuel Kaisiepo:Demokrasi Bukan Hanya Keterpilihan Tapi Keterwakilan

“Menghapus keberadaan utusan golongan di MPR dalam Perubahan UUD 1945 selain merupakan penyimpangan terhadap prinsip demokrasi deliberatif, yaitu musyawarah mufakat sesuai sila keempat Pancasila, juga berimplikasi pada praktik politik yang tidak demokratis saat ini. Tanpa adanya utusan golongan, parlemen dikuasai partai politik dengan kepentingan partainya sendiri”

Promovendus Manuel Kaisiepo mempertahankan disertasi berjudul, “Reposisi Kedudukan Utusan Golongan di MPR RI untuk mewujudkan demokrasi deliberatif : Perspektif Politik Hukum Pancasila” di Universitas Kristen Indonesia, Rabu 26 Juni 2024. Disertasi dipertahankan dengan baik oleh Manuel dengan predikat sangat memuaskan.

Dalam usia 71 tahun, mantan wartawan Kompas dan mantan Menteri di Kabinet Presiden Abdurrahman Wahid, meraih Indeks Prestasi 3,98. “Seharusnya cum laude, namun karena masa studi terlewati, yudisium menjadi sangat memuaskan,” kata Prof Dr Dhaniswara K Hardjono, Rektor Universitas Kristen Indonesia.

Manuel mempertahankan disertasi setelah diuji oleh Prof Dr John Pieris (Promotor), Maruarar Siahaan (Co promotor), Hardjono (co promotor), Dian Puji Simatupang, Margarito Kamis dan Nikson Gans Lalu. Sejumlah kolega Manuel ikut hadir dalam promosi terbuka itu antara Andrinof Chaniago, Michael Manufandu, Frans Maniagasi, Yorrys Raweyai, dan Amiruddin Al Rahab. Saya sendiri diundang Manuel, rekan diskusi saya selama bekerja di harian Kompas (1984-2000).

Selama bekerja di harian Kompas, Manuel adalah wartawan pembelajar dan sekaligus pemikir. Ia menjadi salah seorang arsitek atau pengarah sejumlah diskusi panel di harian Kompas dan menuangkannnya dalam laporan diskusi yang komprehensif. Manuel kemudian diangkat sebagai Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia oleh Presiden Gus Dur.

Dalam paparannya di promosi terbuka, Manuel menegaskan, partai politik di Indonesia berjarak dengan rakyat, lebih mengutamakan aspek keterpilihan dan cenderung mengabaikan aspek keterwakilan. Bahkan partai politk cenderung makin elitis dan oligarkis. Partai sibuk dengan dirinya sendiri, makin menjauh dari konstituen yang menjadi alasan keberadaannya. Semua citra buruk itu berakibat partai dan DPR menjadi institusi yang paling rendah tingkat keterpercayaannya berdasarkan penilaian publik.

Untuk mengatasi problem keterwakilan, Manuel mendorong dihidupkan kembali utusan golongan di MPR untuk menghadirkan corak representasi rakyat yang lebih berimbang, bersama wakil partai politik melalui DPR dan wakil daerah melalui Dewan Perwakilan Daerah. Utusan Golongan akan merepresentasikan aspirasi berbagai unsur yang belum terwakili DPR dan DPD.Utusan Golongan yang belum terwakili misalnya kelompok minoritas, komunitas marginaj; dan masyarakat adat, termasuk asosiasi profesi, asosiasi bisnis, dan kaum cendekiawan.

Dia mengaku sejarah mengajarkan kehadiran Utusan Golongan di MPR pernah dimanfaatkan sebagai instrumen pendukung kekuasaan dalam setiap kali pemilihan umum secara nyata pada Demokrasi terpimpin (1959-1965) dan pada era Orde Baru (1966-1998). Perubahan UUD sampai empat kali kemudian meniadakan Utusan Golongan dan meniadakan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. “Itu penafsiran yang keliru yang secara sengaja memanipulasi kedudukan dan peran MPR untuk kepentingan politik kekuasaan,” kata Manuel.

Manuel Kaisiepo berfoto bersama para Dewan Penguji pasca Sidang Terbuka (Promosi Doktor) di UKI 26 Juni 2024.

Dalam disertasinya, Manuel mempersoalkan rumusan dalam sila ke-4 Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,” dalam praksisnya. “Di mana hikmat kebijaksanaan, dimana musyawarah mufakat sebagai hakekat demokrasi Pancasila. Berbeda dengan demokrasi liberal yang bersendikan prinsip hak individual dan suara terbanyak, demokrasi Pancasila lebih mengutamakan consensus kepentingan bersama yang dalam ilmu politik dikenal sebagai demokrasi deliberatif.”

Manuel mengatakan, dalam prinsip musyawarah-mufakat, keputusan tidak ditentukan oleh mayoritas (mayorokrasi) atau oleh kekuatan minoritas elite politik dan pengusaha (minorrokrasi), melainkan dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan yang mengutamakan daya rasionalitas deliberative dari kearifan setiap warga negara.”

Salah satu yang muncul dalam promosi doktor adalah bagaimana merumuskan Utusan Golongan dan bagaimana memilih Utusan Golongan. Manuel mengakui penyusunaan kriteria utusan golongan penting untuk mewakili kemajemukan masyarakat Indonesia. Bagaimana mekanisme pemilihan Utusan Golongan tetaplah harus dipikirkan secara bersama oleh pembuat undang-undang, pemerintah dan DPR.

Reposisis Utusan Golongan membutuhkan perubahan UUD 1945. Pertanyaan berikutnya adalah kapan perubahan UUD 1945 itu akan dilakukan. Dalam sejarahnya, Perubahan UUD selalu terjadi pada saat krisis. “Tapi apakah kita harus menunggu krisis terlebih dahulu untuk melakukan perubahan UUD,” kata salah seorang penguji.

Kini dalam masyarakat ada beberapa aspirasi politik yang berkembang terkait dengan perubahan UUD 1945. Ada kelompok yang menghendaki kembali ke UUD 1945 yang asli, ada yang menghendaki perubahan UUD 1945 secara parsial dan ada juga aspirasi yang mengkaji ulang UUD 1945 dan mengubahnya dengan sistem addendum.

Manuel membuka kesadaran baru soal praktik bernegara dan berkonstitusi. Saya pun menyadari sejumlah isu krusial yang patut didiskusikan oleh elite bangsa ini. Misalnya soal “musyawarah-mufakat” dalam sila keempat Pancasila, dimana praktik khas “demokrasi desa” itu mewujud dalam praksis politik. Sebut saja dalam pemindahan Ibu Kota Negara dari Jakarta ke IKN. Di mana praksis musyawarah mufakat dengan masyarakat adat di Kalimantan maupun di Jakarta dilakukan. Apakah cukup dengan konsensus DPR dan Pemerintah.

Sebenarnya, Mahkamah Konstitusi telah merumuskan meaningfull participation (partisipasi bermakna) dalam penyusunan dan pembahasan RUU. Namun, dalam praktik pembahasan RUU “meaningfull participation” hampir tak pernah dipraktikkan. MK merumuskan partisipasi bermakna sebagai (1) hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, (2) hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan (3) hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.

Begitu juga halnya dengan makna demokrasi yang hanya ditulis dalam dua pasal dalam konstitusi, demokrasi dan demokratis. Namun, tidak pernah ada pemahaman bersama soal demokrasi, apalagi jika dikaitkan dengan definisi demokrasi dalam buku-buku politik seperti demokrasi deliberatif, demokrasi liberal, ataupun demokrasi Pancasila.

Lalu apa itu demokrasi Indonesia…?

(Budiman Tanuredjo)


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *