”Saatnya masyarakat sipil bergerak dan tergerak untuk menyuarakan keprihatinan nasib bangsa yang dirusak perilaku elite…”
Pengantar: Pada 25 Mei 2019 saya menulis catatan ini. Catatan untuk mengusulkan perlunya kekuatan tengah. Kekuatan masyarakat sipil untuk mengimbangkan kekuatan politik partai dan pemerintah. Kekuatan masyarakat sipil tetap dirasakan perlu lima tahun kemudian. Bdm
”…. Mohon jangan biarkan negeri ini rusak. Mari sama-sama kita buat lebih adem. Kasihan negeri ini. Kami mencintai negeri ini karena di sinilah tumpah darah kami. Seluruh keluarga kami dan anak cucu kami. Jangan biarkan ia terkoyak. Mari berdoa bersama untuk itu, apa pun agama dan kepercayaan Anda….”
Zainal Arifin Mochtar, dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menulis di dinding Facebook dan Instagram-nya. Ia menulis pada Rabu, 22 Mei 2019, pukul 11.20 saat unjuk rasa terjadi depan Gedung Bawaslu, serta di Petamburan, dan Slipi Jaya, Jakarta. Ia gundah atas nasib bangsa saat aksi kekerasan meletus di wilayah padat penduduk.
Aksi unjuk rasa damai memprotes Pemilu 17 April 2019 itu disusupi kelompok lain dan berubah rusuh pada Selasa-Rabu (21/22 Mei 2019). Sejumlah mobil dan motor dibakar. Warung dibakar. Pos polisi dibakar. Kekerasan kembali terjadi. Delapan orang meninggal. Ini patut disesali. Kekerasan kembali terjadi di Jakarta. Penyebab meninggalnya sejumlah orang patut diungkap agar publik mendapat informasi yang jelas.
Namun, apresiasi harus disampaikan kepada Polri yang mengawal dan mencegah demokrasi menjadi anarki. Pada Rabu tengah malam, Kepala Polres Jakarta Pusat Komisaris Besar Harry Kurniawan tampak kelelahan. Ia terduduk di pinggir jalan. Anggotanya memberi handuk dan air minum. Melalui megafon yang dipegangnya, didampingi Dandim Jakarta Pusat, Kapolres meminta bantuan koordinator lapangan pengunjuk rasa untuk sama-sama menjaga kedamaian unjuk rasa dari gangguan perusuh.
Kamis pagi, harian Kompas memasang foto seorang ibu memberikan makanan kepada polisi yang berjaga di Jembatan Slipi menjelang buka puasa. Masih banyak orang baik. Warganet pun tergerak membantu Usma, korban yang warungnya dijarah.
Kegundahan Zainal memuncak melihat unjuk rasa yang berkembang menjadi perusakan. Saya berkomunikasi dengan Zainal melalui Whatsapp.
”Saatnya masyarakat sipil bergerak dan tergerak untuk menyuarakan keprihatinan nasib bangsa yang dirusak perilaku elite.” Pernyataan keprihatinan dari sejumlah dosen Universitas Gadjah Mada mulai diinisiasi.
Suara Zainal dan suara warga negara lain punya peran signifikan daripada pernyataan tokoh politik yang justru memprovokasi, menghasut, dan membakar massa. Atau, kerja buzzer yang memproduksi hoaks untuk kepentingan politik semata.
Kontestasi Jokowi-Prabowo dalam Pemilihan Presiden 2019 telah membelah masyarakat. Elite politik terbelah. Pensiunan terbelah. Prinsip politik yang dikembangkan, If you are not with me, you are against me. Prinsip pembelahan itu mematikan kekuatan tengah. Kekuatan yang membangun jembatan, bukan membangun tembok komunikasi. Kekuatan yang tetap punya komitmen menjaga nation, menjaga bangsa.
Desain sistem politik pemilu yang memperhadapkan dua tokoh telah membelah publik. Hampir tiada lagi tokoh netral yang berada di tengah dan punya prinsip jelas. Hampir semua tokoh terafiliasi dengan kekuatan politik. Tawaran Joko Widodo bertemu Prabowo belum juga kesampaian.
Padahal, memori bangsa ini masih teringat ketika Jokowi-Prabowo berangkulan berbalut merah putih. Keduanya dipersatukan pesilat Hanifan Yudani Kusumah, Rabu, 29 Agustus 2019, dalam momen Asian Games. Publik juga masih ingat ketika Jokowi menyampaikan sinyal persahabatan tidak akan putus, ibaratnya rantai sepeda, saat debat capres.
Publik menantikan pertemuan kedua tokoh itu. Pertemuan diharapkan meredakan ketegangan. Pertemuan untuk meredam keinginan politisi avonturir memperalat rakyat. Biarlah medan pertarungan berada di forum terhormat, Mahkamah Konstitusi (MK). Langkah Prabowo-Sandiaga memilih jalur MK adalah pilihan elegan, pilihan tepat yang dijamin konstitusi. Langkah itu pernah diambil Prabowo-Hatta pada Pemilu Presiden 2014. Namun, yang harus dipahami, putusan MK adalah final dan mengikat. Apa pun putusan MK nanti, sembilan hakim konstitusi itu ibarat idu geni (lidah api). Apa pun putusannya, semuanya harus tunduk dan hormat. Ini tentunya ujian bagi elite politik.
Dalam sistem politik demokrasi, selalu ada top political class, di antaranya Jokowi, Prabowo, dan sejumlah ketua umum partai politik atau pimpinan ormas. Mereka mempunyai code of honor untuk meredakan ketegangan politik di tengah masyarakat, bukan malah memanfaatkannya untuk kepentingan politik.
Dalam politik selalu ada konflik dan konsensus. Konflik dalam format kontestasi politik telah terjadi pada 17 April 2019 dalam pemilu, dan hasilnya sudah diumumkan KPU. Pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin menang dengan selisih sekitar 11 persen suara atau 16,9 juta suara. Setelah KPU mengumumkan hasil pemilu, saatnya kini membangun konsensus. Seperti dalam peribahasa Jawa, Ana rembug dirembug, ana prakara ditata. Artinya, jika ada masalah, ya, dibicarakan bersama. Jika ada perasaan dicurangi, ya dibicarakan di Mahkamah sebagai tempat rembukan, bukan menyelesaikannya dengan pengerahan massa di jalanan meskipun itu hak. Kearifan inilah yang tampaknya terlupakan atau dilupakan.
Pudarnya kekuatan tengah menyulitkan rekonsiliasi. Bangsa ini kehilangan sosok Taufiq Kiemas, politisi PDI-P yang luwes dalam pergaulan politik lintas ideologi. Kekuatan masyarakat sipil sebenarnya berpotensi menjadi kekuatan tengah, yang bisa menjadi penjaga moral bangsa, dan terus menyuarakan kepentingan menjaga nation.
Jusuf Kalla, Wakil Presiden dan dikenal sebagai juru damai di dalam dan di luar negeri, bisa berperan untuk menjadi jangkar, berperan sebagai jembatan komunikasi antar-anak bangsa. Situasi saat ini akan menjadi ujian, apakah elite politik di Indonesia mempunyai code of honoruntuk meredakan ketegangan politik? Sejarah tentunya akan mencatat perilaku para elite politik tersebut.
(Budiman Tanuredjo, Kompas, 25 Mei 2019)
Leave a Reply