“Dalam hukum dikenal ‘biarpun langit runtuh, keadilan harus ditegakkan’ dalam hukum juga dikenal pandangan ‘lebih baik membebaskan 10 orang bersalah daripada menghukum seorang yang tidak bersalah’. Hukum harus bisa menghadirkan keadilan sekaligus kepastian. Segera tuntaskan kasus Vina, karena banyak kasus lain berdimensi kerakyatan yang juga butuh perhatian…”
Kasus kematian Vina Dewi Arsita dan Muhammad Rizky Rudian atau Vina dan Eky pada Agustus 2016 kembali hangat diperbincangkan pasca ditayangkannya film Vina: Sebelum 7 Hari pada 8 Mei 2024 di bioskop.
Kematian keduanya yang disebut sebagai hasil pembunuhan sadis, telah membuat 8 orang menjalani hukuman penjara (seorang telah bebas atas nama Saka Tatal) dan 3 orang lainnya masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) kepolisian. Salah satu dari 3 DPO tersebut berhasil ditangkap oleh pihak kepolisian. Dia adalah Pegi Setiawan alias Pegi Perong.
Sayangnya, penetapan Pegi sebagai tersangka menuai banyak penolakan, mulai dari pihak keluarga dan pengacara yang menyangkal, hingga sebagian besar netizen yang tak meyakini kebenaran hasil tangkapan pihak berwajib itu dan justru meyakini Pegi dijadikan kambing hitam untuk mengamankan pihak lainnya.
Tim pengacara keluarga Pegi bahkan berencana menempuh jalur praperadilan demi membuktikan bahwa kliennya tidak memiliki sangkut-paut dengan kasus pembunuhan ini, dan kliennya bukan lah DPO yang dicari oleh polisi. Dalam dialog di program Satu Meja The Forum Kompas TV (19/6/2024), pengacara Pegi, Sugiyanti Iriani menjelaskan alasan di balik pengajuan pra peradilan tersebut.
Setidaknya ada dua alasan utama mengapa praperadilan akan ditempuh. Pertama, tidak ditunjukkannya dua alat bukti yang menegaskan bahwa Pegi adalah pelaku pembunuhan Vina dan Eky. Kedua, Pegi Setiawan memiliki ciri-ciri fisik yang berbeda dengan Pegi alias Perong yang menjadi DPO.
“Salah orang. Pegi Setiawan klien kami bukan (Pegi Perong), kenapa saya berada di sini, di garda terdepan, karena ibunya pegi adalah ART di rumah saya. Kebetulan di rumah saya dia sudah bekerja dari tahun 2014 ikut dengan saya dan saya tahu persis Pegi Setiawan itu siapa, seperti apa anaknya. Pada saat penggeledahan di tahun 2016 pun terhadap rumah Pegi Setiawan pada tanggal 30 Agustus 2016, setelah 3 hari kejadian (kematian Vina dan Ek), Pegi tidak ada di tempat, dia sedang bekerja di Bandung,” jelas Sugiyanti Iriani.
Ia mempertanyakan tidak adanya surat penggeldedahan, surat penetapan pengadilan, maupun izin penggeledahan dari RT RW saat penggeledahan itu berlangsung. Ia juga bertanya-tanya, mengapa kepolisian tidak melakukan tindak lanjut, seperti pemanggilan resmi, setelah menggeledah rumah dan tidak menemukan Pegi ada di sana.
Merespon apa yang disampaikan pihak pengacara Pegi Setiawan, Kepala Divisi Humas Mabespolri Irjen Sandi Nugroho mengklaim pihak kepolisian dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka pasti memiliki latar belakang argumen dan bukti yang kuat. Soal pendapat tidak adanya bukti yang relevan dan menunjukkan Pegi sebagai pelaku kejahatan, menurutnya karena bukti-bukti hanya akan dipaparkan di muka persidangan.
“Kalau tadi disampaikan bahwa tidak ada alat bukti atau alat buktinya tidak mencukupi ataupun mungkin tidak ada relevansinya dengan perkara, itu kan boleh-boleh saja dan itu sah-sah saja. Karena apa, karena ini bukan ruang persidangan sedangkan penyidik menyiapkan alat bukti itu nanti untuk kepentingan penyidikan yang nantinya akan diuji oleh JPU atau Kejaksaan dan lanjutnya akan nanti akan di uji di dalam sidang pengadilan,” kata Sandi.
Sandi melanjutkan, pihak kepolisian sudah melakukan proses pencarian yang panjang dan matang, mengingat kasus ini juva sudah terjadi 8 tahun lamanya. Misalnya mendalami 19 orang dengan nama yang sama di daerah tersebut hingga menemukan Pegi Setiawan di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang dinilai memiliki kecocokan dengan DPO yang dicari.
“Mohon maaf Bu, bapaknya Pegi itu memperkenalkan Pegi di tempat kosnya dia bukan sebagai Pegi, tapi sebagai Robi yang dibilang adalah keponakan dia. BAP juga sudah kita ambil, tanda tanya kalau memang itu anaknya, kalau memang itu tidak ada masalah kenapa harus pakai nama yang lain?” tanyanya.
Di sisi lain, pensiunan petinggi Polri Komjenpol Purnwirawan Oegroseno justru mempertanyakan ketidaklengkapan prosedur yang dilakukan polisi saat melakukan penggeledahan ke kediaman Pegi 2016 lalu. Semestinya, dalam mendatangi tempat kejadian, mengambil barang bukti, dan sebagainya, polisi musti menunjukkan surat perintah, memperkenalkan diri, dan disaksikan oleh Kepala lingkungan setempat.
“Hal-hal seperti ini harusnya ditempuh dari awal, karena jangan sampai pola-pola seperti ini, ini ada kejadian dianggap saja OTT seperti kalau penangkapan (kasus) korupsi. Bukan, ini penyidikan yang membutuhkan perencanaan yang matang, administrasi penyidikan yang bagus, kemudian ditindak lanjuti lagi ya. Kan sayang kalau setelah diambil sepeda motor, diberikan surat panggilan juga ke rumah tadi saya tanya juga enggak ada. Jadi kenapa berhenti di sin? Itu saja yang masih dalam tanda tanya saya,” ungkap Wakapolri 2013-2014 itu.
Pandangan senada juga dikemukakan oleh Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel. Reza merasa bingung dengan ketidaksesuaian antara laporan atau hasil pemeriksaan di kepolisian dengan bukti visum dan autopsi.
Misalnya, pada hasil visum entrepertum hanya dikatakan Vina dan Eky meninggal dengan kematian tidak wajar. Padahal dalam sudut pandang ilmu forensik, kematian tidak wajar itu bisa saja akibat kecelakaan, bunuh diri, atau hasil perlakuan orang lain, seperti dibunuh. Jadi, tidak bisa disimpulkan bahwa keduanya merupakan korban pembunuhan.
Termasuk juga ketidaksesuaian antara laporan ayah Ek, Rudiana, yang menyebut adanya bekas tusukan di kedua tubuh korban, dengan hasil autopsi.
“Di laporan (31/8/2016) itu, Rudiana mengatakan kurang lebih kedua korban ditusuk dan kedua korban meninggal di TKP, sementara autopsi dilakukan setelah itu kurang lebih tanggal 6 September. Ketika aotopsi dilakukan oleh dokter, lagi-lagi tidak ada yang menyebut bahwa misalnya almarhum Eky meninggal akibat tusukan, tidak ada. Bahkan dokter menulis bahwa almarhum Eky meninggal akibat trauma tumpul. bahkan trauma tajam pun tidak. Sementara pada almarhumah Vina memang ditemukan adanya trauma tumpul dan trauma tajam, posisi trauma tajamnya di mana di punggung telapak tangan dan di daerah pipi,” papar Reza.
Tak hanya pro kontra soal penangkapan Pegi Setiawan, gonta ganti pengakuan saksi juga terjadi dan membuat kasus ini semakin panjang. Salah satunya perubahan kesaksian dari Liga Akbar, salah satu saksi kunci dari kasus kematian Vina dan Eky.
Liga mencabut beberapa keterangan yang ia berikan di tahun 2016, salah satunya soal kronologis kejadian di malam peristiwa. Pengacara Liga Akbar, Yudia Alamsyah menjabarkan beberapa poin kesaksian yang dicabut kliennya.
Pertama, kronologis waktu terakhir Liga bertemu dan bersama dengan Vina dan Ek. Di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tahun 2016, Liga menyebut dirinya bersama Vina dan Eky nongkrong di sebuah warung, kemudian mereka jalan bersama ke arah Jembatan talun karena akan menuju ke Kuningan. Di sana ada kejadian teriakan, lemparan, dan kemarin terhadap mereka.
Namun terkini, pernyataan tersebut dicabut Liga.
“Sebenarnya peristiwa tersebut tidak ada, yang ada bahwa pada saat Vina, Eky, dan Liga Akbar di warung depan SMA 4, Eky dan Vina berpamitan, berduaan ini, untuk menuju ke Kuningan. Sedangkan Liga Akbar tidak ikut dengan mereka. Ini peristiwa kronologisnya itu terputus gitu,” jelas Yudia.
Saat ditanyakan secara langsung kepada Liga, ia mengaku saat memberikan keterangan di tahun 2016, dirinya diarahkan oleh petugas pemeriksa untuk menyatakan demikian. Pernyataan sebagaimana arahan petugas itu juga tetap ia kemukakan di depan persidangan. Namun belakangan, ia mencabut keterangan lamanya karena mengaku sudah lebih tahu soal urusan hukum.
“Krena saya awalnya enggak tahu kalau itu mau ada pemeriksaan, tiba-tiba kan dijemput di rumah dibawa ke Polres Kota. Saya enggak tahu kalau mau ada pemeriksaan BAP. Dulu saya awam hukum, tidak tahu kalau BAP bisa dicabut, sekarang didampingi kuasa hukum saya,” jelas dia soal mengapa baru sekarang merevisi kesaksiannya.
Melihat apa yang terjadi hari ini, dimana terjadi huru-hara, saling-silang, dan gerakan di masyarakat setelah munculnya sebuah karya film, Budayawan Sujiwo Tejo menilai hal itu sebagai sebuah pengaruh karya seni yang sudah sejak lama terjadi. Oleh karena itu, ia menyarankan untuk para sineas yang tertarik mengangkat cerita berdasarkan fakta untuk juga melakukan hal yang sama.
“Jadi pertama, mengimbau teman-temann seniman terutama di film, yang punya minat bikin film atas dasar fakta, bikinlah film atas dasar fakta tentang apapun itu, ternyata pengaruhnya besar. Tapi pasti ada kritik, itu biasa,”
Sementara itu, dari kacamata seorang purnawirawan Polri, viralnya sebuah kasus setelah adanya sebuah film, dianggap sebagai hidupnya kontrol sosial yang berdampak baik bagi kinerja kepolisian. Polri, menurutnya harus berterima kasih jika publik memberikan perhatian lebih seperti saat ini pada kasus Vina Cirebon.
“Misalnya film itu, ditanggapi dengan hati dingin, kepala dingin. Ada apa ini? Kalau itu bisa dijawab bahwa film itu hanya fiksi, ya sudah. Tapi kalau misalnya itu mengarah pada suatu kejadian, ya mau enggak mau ditelusuri,” katanya.
Dialog dan diskusi selengkapnya mengenai tema bisa disaksikan melalui video berikut:
Leave a Reply