“Soal Pentjoleng ekonomi sekarang, ramai dibitjarakan lagi. Dibitjarakan lagi, sebab sudah pernah bahkan sering hal itu didjadikan pembicaraan. Jang ditunggu rakjat sekarang bukanlah ‘pembitjaraan lagi’ tapi tindakan kongkrit: tangkap mereka, periksa, adili, hukum, tembak!”
Tajuk Rentjana “Kompas”, 14 September 1965
Melacak jejak korupsi di Indonesia memang begitu panjang. Kata korupsi sepertinya telah menyertai perjalanan bangsa ini, bahkan lebih jauh daripada kelahiran perdana koran ini, 28 Juni 1965. Melalui pencarian diksi korupsi di Pusat Informasi ”Kompas”, kita bisa mendapati jejak korupsi sejak 16 Juli 1965. Diksi korupsi yang bertebaran di koran ini menyangkut penindakan, diskusi, dan isu pendidikan di dalam maupun di luar negeri.
Penyakit Korupsi Tak Pernah Pergi
Jika mau dilacak lebih jauh, yang tidak bisa didapati di Pusat Informasi Kompas (PIK), tulisan Dukut Imam Widodo dalam tulisan bertajuk Soerabaia Tempo Doeloe juga menggambarkan cikal bakal korupsi telah berakar demikian dalam. Dukut menuliskan pengalaman Nicolas Engelhard, Gubernur Pantai Timur Jawa. Dalam pengalaman yang ditulisnya, 15 April 1805, Engelhard mengungkapkan dirinya menjadi kaya raya karena sogokan orang-orang pribumi yang menginginkan jabatan.
Lalu, apa yang membedakan korupsi zaman VOC, zaman pergerakan, zaman kemerdekaan, zaman Orde Lama, zaman Orde Baru, dan zaman Orde Reformasi? Sebenarnya tak ada yang berbeda dari praktik penyalahgunaan kekuasaan itu. Yang membedakan hanya istilahnya yang menjadi akademis. Korupsi pada intinya adalah perampokan uang negara untuk kepentingan pribadi. Namun, dalam praktiknya terjadi sofistifikasi menjadi kolusi, nepotisme, gratifikasi. Istilah itu seakan mengaburkan pemahaman korupsi yang pada intinya adalah perampokan uang rakyat.
Tajuk Rencana Kompas, Selasa, 14 September 1965, berjudul ”Pentjolengan Ekonomi” menggambarkan bagaimana koruptor adalah pencoleng ekonomi. Tajuk itu mengomentari berlepotannya Orde Lama dengan korupsi. Ada berita mengenai manipulasi benang tenun, manipulasi minyak dan pupuk, serta persidangan salah satu direktur pabrik gula Kebon Agung di Malang yang diadili gara-gara menerima suap dari pembuatan parit dan pembangunan gedung.
Melacak jejak korupsi tahun 1965 membuat semua pihak berefleksi apakah bangsa ini bisa belajar dari satu kasus korupsi ke korupsi lainnya? Apakah bangsa ini serius memberantas korupsi? Kompas, 13 September 1965, menulis ada direktur pabrik gula menerima suap Rp 1,5 juta pada saat pembangunan parit dan pembangunan gedung. Bukankah kejadian itu sama dengan suap/gratifikasi dalam pembangunan proyek sarana olahraga Hambalang di era Reformasi tahun 2012?
Korupsi yang paripurna dan masif di era Reformasi seakan membuka lagi perdebatan bagaimana strategi memberantas korupsi. Ruang diskusi di hotel, kampus, media, termasuk di media sosial, semua berwacana soal korupsi. Reformasi ditandai dengan kritik soal vonis hakim yang ringan, gagasan soal perlunya pakta integritas, usulan soal pemiskinan koruptor, ada permintaan potong jari, ada ungkapan gantung di Monas. Akan tetapi, semua itu berhenti pada wacana. Pandangan Kompas, 14 September 1965, masih relevan. ”Yang ditunggu rakyat bukanlah pembicaraan lagi, melainkan tindakan konkret: tangkap mereka, periksa, adili, hukum, gantung, dan tembak! Pendapat harian ini pada tahun 1965 ternyata masih relevan sampai sekarang.
Hanya memproduksi isu
Orde Lama berakhir dan diganti Orde Baru dengan semangat melakukan koreksi total atas kesalahan Orde Lama. Namun, Presiden Soeharto yang berkuasa hampir 32 tahun terjungkal karena kasus korupsi. Ironisnya, pada era Reformasi produksi berita korupsi justru melonjak sangat signifikan.
Lonjakan tajam mengenai penggunaan diksi korupsi di harian Kompas justru terjadi pada era Reformasi. Pada era ini (1998-2013), hingga Oktober rata-rata diproduksi 3.223 berita korupsi. Itu berarti setiap bulan terdapat 267 berita korupsi. Itu berarti setiap hari ditemukan 8,9 diksi mengenai korupsi! Sebuah lonjakan yang amat luar biasa, lebih dari 700 persen!
Pada Orde Baru, produksi diksi korupsi memang lebih rendah dibandingkan reformasi. Keterbukaan politik dan kebebasan pers bisa saja menjadi salah satu faktor banyaknya kasus korupsi yang diungkap pada era Reformasi. Pada Orde Baru, ketika Soeharto berkuasa, hampir tak ada pers yang berani mengungkap skandal korupsi. Pemberedelan media menjadi ancaman nyata.
Menganalisis data yang ada di PIK, tampak ada tren diskursus korupsi meningkat menjelang berakhirnya kekuasaan seorang presiden sampai terbentuknya pemerintahan baru. Pada masa Orde Baru, diskursus soal korupsi meningkat pada 1997 dan terus meningkat sampai mundurnya Presiden Soeharto, 21 Mei 1998. Pada 1999, saat pemilu demokratis digelar pertama kali pasca-Orde Baru, isu korupsi juga dominan dan mencapai angka 2.631 berita mengenai korupsi. Pola serupa terjadi sepanjang tahun 2004 saat pemilu dilangsungkan: produksi isu korupsi mencapai 3.223 berita dan 2009 diproduksi 3.176 berita.
Korupsi memang menjadi isu yang digunakan menjelang sirkulasi kekuasaan sehingga produksi isu korupsi ramai menjelang dan saat pemilu. Korupsi menjadi alat melegitimasi, tetapi juga mendelegitimasi kekuasaan. Jadi, bisa diprediksi pula isu korupsi akan mencuat kembali pada akhir 2013 dan tahun 2014.
Melihat realitas yang ada, meski waktu bergerak, pandangan soal korupsi di Indonesia tak kunjung beranjak. Korupsi masih dipandang sebagai minyak pelumas sistem ekonomi Indonesia. Korupsi adalah grease the wheels. Inilah pandangan para corruption apologist dalam buku Korupsi Mengorupsi Indonesia. Dalam pandangan para corruption apologist, suap dipandang sebagai insentif agar birokrasi melayani publik dengan sebaik-baiknya.
Dalam realitas sosiologis, pandangan corruption apologist tecermin ketika pejabat yang tertangkap KPK dianggap sebagai apes, dianggap sial karena ketahuan. Ketika ada pejabat yang meminta didoakan karena tertangkap tangan oleh KPK dianggap sebagai musibah keluarga. Pandangan itu tentunya dilatarbelakangi cara berpikir bahwa praktik korupsi adalah biasa saja dan lazim terjadi. Pandangan itu juga menjelaskan mengapa terdakwa yang terbukti korupsi di pengadilan tak pernah meminta maaf dan menyesali perbuatannya.
Korupsi adalah perang yang belum kita menangi. Perang melawan korupsi belum bisa dimenangi karena masih ada paradigma yang menganggap korupsi adalah mesin pelumas sistem ekonomi. Untuk memenangi perang itu harus diawali dengan mengubah pola pikir korupsi bukanlah mesin pelumas, melainkan pasir dalam sistem ekonomi yang pada saatnya akan mengambrukkan kekuasaan.
Budiman Tanuredjo, Kompas, 25 Oktober 2013
Leave a Reply