“…semakin ada badan-badan baru itu malah birokrasinya tambah rumit, koordinasinya lebih sulit. Maka saya kira saya belum menemukan urgensi daripada pembentukan Kementerian tersendiri terkait haji”
Mustolih Siradj
Permasalaah jemaah haji ilegal yang terus berulang menimbulkan permasalah tersendiri. Keberadaan mereka di Tanah Suci selain menyalahi aturan Kerajaan Saudi, juga tak jarang merebut hak fasilitas jemaah haji yang berangkat melalui jalur resmi.
Sementara di Tanah Air, kepergian mereka melalui “jalur belakang” tentu melukai perasaan ribuan atau bahkan jutaan muslim lainnya yang rela antre demi bisa pergi haji.
Di tengah carut-marut ini, perlu kah pemerintah membentuk badan baru, Kementerian khusus Haji misalnya?
Bersama Budiman Tanuredjo di Satu Meja The Forum Kompas TV, Wakil Ketua Komisi VIII Ace Hasan Sadzily mengaku tak sependapat dengan usulan itu.
Ia memandang lebih baik kita melakukan optimalisasi Direktorat Jenderal (Dirjen) yang sudah ada di Kementerian Agama (Kemenag).
“Sebetulnya kalau kita bisa memaksimalkan Irjen khusus terkait dengan haji, saya kira bisa lebih optimal ya. Memang soal penyelenggaraannya tidak bisa dilakukan secara sektoral, tetapi ini juga soal bagaimana perhubungannya, transportasi udaranya, hubungan diplomatiknya dengan pemerintah Arab Saudi. Nah jadi menurut saya kalau kita bisa mengoptimalkan Dirjen khusus terkait dengan haji ini kita bisa lebih maksimal,” ujar dia.
Di beberapa negara memang memiliki Kementerian khusus untum menangani haji, namun Ace menyebut di negara-negara itu tidak ada Kementerian Agama sebagaimana di Indonesia.
Di Indonesia, saat ini penyelenggaraan haji dilakukan oleh Kemenag, sementara pengelolaan keuangannya ada di bawah badan khusus bernama Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Hal yang sama juga disampaikan oleh Mustolih Siradj, Ketua Komnas Haji dan Umroh.
Ia menilai tidak perlu dibentuk Kementerian atau lembaga baru khusus haji. Pengadaan lembaga baru itu hanya akan menambah panjang koordinasi dan mempersulit birokrasi.
Selama ini, kata Mustolih, memang terjadi disharmoni antara Kemenag dengan BPKH di beberapa hal. Misalnya dalam menentukan biaya penyelenggaraan ibadah haji.
Pemerintah menggunakan dasar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, sementara BPKH menggunakan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.
“Persoalan ini apakah mesti solusinya mendirikan satu Kementerian Haji? Tidak juga. Saya setuju dengan Kang Ace, yang terpenting adalah bagaimana kalau ada disharmoni maka perlu ada harmonisasi regulasi dan ini kan juru raciknya adalah Kang Ace dan teman-teman di DPR. Kalau misalnya kita bikin kementerian lagi bikin lembaga lagi akan butuh berapa lama lagi untuk menjadikan lembaga itu firm? Belum lagi inefisiensi anggaran, inefisiensi SDM, belum lagi masalah koordinasi. Dan yang terpenting yang saya khawatirkan adalah justru semakin ada badan-badan baru itu malah birokrasinya tambah rumit, koordinasinya lebih sulit. Maka saya kira saya belum menemukan urgensi daripada pembentukan Kementerian tersendiri terkait haji,” jelas Mustolih.
Sementara itu, Irjen Kementerian Agama 2012-2017 Muhammad Jasin memiliki pendapat berbeda. Menurutnya kementerian atau lembaga baru terkait haji perlu dibentuk.
Lembaga baru ini merekrut orang-orang profesional dengan sistem meritokrasi. Sementara Kemenag dengan aparatur sipil negaranya tetap ada, tidak dihapuskan.
Kemenag menjadi regulator murni dan pengawas penyelenggaraan haji, sementara lembaga khusus dan BPKH menjadi badan-badan profesional yang ada di bawahnya.
Dengan adanya lembaga khusus ini, penanganan oknum-oknum nakal penyedia layanan haji ilegal disebutnya akan menjadi lebih tegas, tak hanya sekedar mencabut izin atau membubarkan perusahaannya saja.
“Kalau badan itu bisa lebih tegas gitu loh, tidak ada misalnya apabila ada transaksional uang, nyogok, sehingga dia (perusahaan travel) berdiri lagi dengan orang yang sudah pernah mendapatkan blacklist, maka dia akan ditegur atau menjadi ranah hukum untuk menangani kasus yang semacam itu,” ujar dia.
Solusi
Jika membentuk badan baru masih sebatas pada taraf opini yang diperdebatkan, lantas apa yang bisa dikerjakan saat ini sebagai bentuk solusi konkret bagi permasalahan haji ilegal?
Hal pertama yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan lobi dengan Pemerintah Arab Saudi agar memberikan kuota tambahan dengan jumlah lebih banyak. Terakhir, Indonesia diberi kuota tambahan sebesar 20.000 kuota haji.
Selanjutnya adalah dengan merevisi ketentuan kuota haji tiap negara yang saat ini formulanya adalah 1 persen dari total populasi suatu negara. Atau meminta kuota haji kepada negara yang setiap tahunnya selalu memiliki sisa kuota yang tidak terpakai.
“Kuota itu kan 1 persen dari total populasi di suatu negara. Ada yang negara percepatan atau pertumbuhan penduduknya itu lebih cepat dari negara-negara lain, itu memang harus di dibicarakan. Arab Saudi dengan negara-negara yang memberangkatkan jemaah haji perlu direvisi seperti itu. Atau mungkin juga untuk meminta kuota haji yang selalu tidak terpenuhi dalam penyelenggaraannya tahun pertahunnya. Misalnya di sekitar kita ada di Filipina, ada di Myanmar, ada di misalnya negara-negara yang lain seperti Yordan, di Mesir,” jelas Jasin.
Saat ini, jemaah haji asal Indonesia banyak yang memanfaatkan sisa kuota haji negara lain agar ia bisa berangkat haji lebih cepat. Jadi, mereka tetap menggunakan visa haji, namun mendaftar menggunakan kuota negara lain.
Indonesia merupakan salah satu negara yang tingkat pertumbuhan penduduknya lebih dari 1 persen dalam satu tahun.
Jadi, menurutnya, alangkah lebih baik apabila kuota tiap negara ditentukan berdasarkan kecepatan laju pertumbuhan penduduknya, bukan pukul rata 1 persen dari populasi.
Sementara itu Ace menyorot soal pembagian 20.000 kuota tambahan yang didapatkan hasil lobi Presiden Joko Widodo dengan Kerajaan Saudi.
Kemenag membagi kuota itu 10.000 untuk haji khusus dan 10.000 untuk haji reguler. Padahal, menurut Ace, semestinya pembagiannya sesuai dengan ketentuan undang-undang, bahwa jatah haji reguler adalah 92 persen dan haji khusus hanya 8 persen.
“Itu kami (DPR) pun juga sebetulnya keberatan, karena kami yakin betul bahwa tujuan dari lobi yang dilakukan oleh Presiden jokowi kepada Raja Arab Saudi sehingga kita mendapatkan 20.000 (kuota tambahan) itu tujuannya adalah untuk memperpendek ya mengurangi antrean yang cukup panjang, terutama pada haji reguler. Kami akan evaluasi kepada Kementerian Agama soal kebijakan adanya tambahan kuota haji 20.000 itu yang dibagi secara 50 persen. Itu jadi bahan perdebatan di Komisi VII, karena kepresnya sendiri yang tentang tambahan itu kita mengacu kepada undang-undang,” jelas Ace.
Dialog selengkapnya dapat disimak di dalam video berikut ini:
Leave a Reply