90 Menit Bersama Mahfud MD (3-Habis): “Dissenting Opinion” MK Sudah Dilupakan

“…Sudah lupa. Orang akan bilang, “sudah selesai tuh Pemilunya, Pilpresnya, sudah enggak usah ribut-ribut lagi.” Tapi bagi pengetahuan itu akan sangat penting karena isinya dalam...

Mahfud MD

Pendapat berbeda (dissenting opinion) tiga hakim konstitusi menarik digunakan sebagai kajian akademis untuk kepentingan disertasi. Dalam praktis politik, dissenting opinion dari Prof Dr Saldi Isra SH, Prof Dr Arif Hidayat SH, dan Prof Dr Enny Nurbaningsih SH, dalam perkara sengketa hasil Pemilu Presiden 2024, sudah dilupakan dan tak lagi dibicarakan.

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak sengketa hasil Pemilu Presiden 2024 yang diajukan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka telah ditetapkan KPU sebagai Presiden terpilih 2024-2029.

Paling tidak ada beberapa pesan dari MK soal jalannya pemilu presiden 2024. Hakim konstitusi Saldi Isra memesankan agar semua pihak tidak menjadikan MK sebagai keranjang sampah. Hakim Arif dan Enny Nurbaningsih misalnya mengingatkan perlu RUU Lembaga Kepresidenan serta pentingnya Mahkamah Etik Nasional.

Saya bertanya kepada mantan calon Wapres Mahfud MD yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, ada pesan dissenting dari tiga hakim konstitusi yang mengatakan bahwa perlu semacam Mahkamah Etik, perlu rule of ethics, dan perlu lembaga kepresidenan. Tapi itu sudah tak jadi isu?

Iya. Cuma, itu bagi ilmu pengetahuan penting. Pada suatu saat kalau orang mau menyusun naskah akademik, mau menyusun disertasi tentang kehidupan hukum, itu akan menjadi penting. Untuk politik praktisnya sekarang mungkin orang sudah lupa semua.

Sudah lupa ya?

Sudah lupa. Orang akan bilang, “sudah selesai tuh Pemilunya, Pilpresnya, sudah enggak usah ribut-ribut lagi.” Tapi bagi pengetahuan itu akan sangat penting karena isinya dalam. Apa yang dibacakan oleh Saldi, Arif, dan Enny itu isinya ‘dalam’ untuk sebuah naskah akademik dan penting. Untuk penelitian disertasi, itu bagus.

Tapi kalau menurut pengalaman Anda, Mahkamah Etik atau UU Lembaga Kepresidenan, itu memang sesuatu yang harus ada?

Sudah lama. Sudah sejak zaman Pak Harto disuarakan UU Kepresidenan itu, karena lembaga lain sudah pakai UU. Tapi pemerintah selalu menolak. Pak Harto dulu selalu menolak. “Sudah UU Kepresidenan sudah cukup di UUD. UU lain kan juga sudah membatasi presiden,” begitu dulu komennya.

Nah mungkin sekarang sudah sering disuarakan lagi, tapi tetap tidak bisa masuk Prolegnas.

Tidak bisa masuk Prolegnas karena memang kekuasaan tidak menghendaki?

Kekuasaan tidak menghendaki itu.

Karena memang hakikat kekuasaan tidak mau dibatasi ya?

Iya. Memang begitu.

Tapi bukannya kekuasaan itu juga memang harus dikontrol sebetulnya?

Ya memang. Sebenarnya kalau konstitusionalisme itu, ini kan negara konstitusi, kenapa ada konstitusi? Karena kita ingin membatasi kekuasaan. Kekuasaan itu harus dibatasi ruangnya. Kalau Anda legislatif, jangan masuk sini lho. Kalau Anda eksekutif, jangan menyeberang ke sini lho. Itu kan membatasi namanya.

Lalu waktunya, kalau Anda mau berkuasa, cukup lima tahun. Kalau Anda bagus sekali tambah lagi lima tahun. Tapi sudah, jangan nambah lagi. Itu kan membatasi. Sehebat apapun Anda jangan lebih dari dua tahun, atau dua kali masa jabatan. Itu kan cara membatasi. Ada yang sekali saja, tapi 8 tahun. Kayak Filipina. Kan bisa juga kayak begitu.

Tapi memang siapapun presiden memang enggak mau ya?

Selama ini begitu. Selama ini belum ada yang mau membuat RUU tentang Kepresidenan.

Hukum Jadi Industri

Beberapa kali Mahfud berbicara bahwa hukum telah menjadi industri. Pasal pasal bisa dipesan.

Anda mengatakan hukum sudah menjadi industri. Di udara, di laut, di darat sudah ada korupsi. Artikel Anda kan juga pernah mengatakan ada semacam operasi caesar sebagai cara mengatasi keambrukan dari budaya hukum dan institusi hukum.

Lahirnya reformasi itu adalah operasi caesar. Karena kalau mau melakukan pergantian pemimpin secara biasa, konstitusional di zaman Orde Baru itu enggak bisa. Sehingga, coba kita berpikir suksesi, akhirnya mati suri. Akhirnya muncul reformasi. Karena rakyat turun tangan sendiri membuat aturan dengan mobilisasi rakyat secara besar-besaran. Itu operasi caesar di zaman Orde Baru akhir. Jadi terpaksa dikeluarkan di luar ketentuan-ketentuan konstitusi karena kebutuhan.

Sekarang kalau saya lihat tingkat kesadaran elite, gerakan elite kelas menengah dari kampus, akademisi, semangatnya ke situ kan. Mengganti ini secara baik seperti reformasi. Tapi, apakah sekarang itu bisa mendapat sambutan dari rakyat, yang menggelombang seperti dulu atau tidak, nah kita belum tahu juga.

Apakah operasi caesar ke dua perlu dilakukan?

Dilakukan pembenahan secara sadar saja. Bahwa ini harus dibelokkan lagi ke arah yang benar. Kalau operasi caesar seperti Orde Baru mungkin sekarang belum ya. Apalagi sekarang ada medsos, lalu saling klaim. Siapa yang bisa mengklaim medsos paling banyak dengan biaya besar, mobilisasi besar lalu terjadi dominasi opini dan sebagainya.

Kalau Anda diminta membenahi kesemrawutan dunia hukum, mulainya dari mana?

Mulainya dari presiden. Makanya saya mau jadi cawapres. Mungkin bisa dekat dengan presiden. Kan gitu. Mulainya dari presiden. Apa yang tidak bisa dilakukan oleh presiden? Apa saja bisa. Menangkap orang yang tidak salah? Kalau mau, bisa saja dicari. Membebaskan orang yang bersalah, kalau mau bisa disuruh. “Menurut saya itu dilepas saja dulu, bahaya kalau ditangani, menimbulkan kegaduhan,” bisa saja presiden bilang seperti itu. OIeh sebab itu presiden harus punya feeling yang tinggi tentang penegakan hukum.

Hukum yang seperti ini yang menjadi sumber masalah dari masalah bangsa ini, salah satunya?

Apa maksudnya? Budaya hukum?

Iya, budaya hukum, penegakan hukum. Iya memang. Kalau membangun hukum kan ada tiga. Pertama, substansinya, legal substance. Kedua, legal structure, aparatnya. Ketiga, legal culture, budayanya. Nah kita sekarang punya masalah besar itu sebetulnya di structure, di aparat. Ke tata pemerintahan kita di bidang hukum. Itu teorinya begitu.

Artinya pada penegak hukumnya yang bermasalah?

Iya. Ini yang terjadi. Mengapa ini terjadi? Maka jawabannya menurut teori, ini sudah pasti karena legal structure-nya enggak benar. Kenapa legal structure-nya enggak benar? Karena hukumnya sengaja dibuat begitu, kemudian leadership-nya begitu. Nah di situ masalah sebenarnya.

Mimpi Mahfud

Salah satu artikel di Harian Kompas yang menulis soal kemenangan pasangan Prabowo-Gibran yang telah disahkan oleh MK.

Menurut Anda apa sih sebetulnya masalah bangsa yang paling hakiki menurut refleksi Anda?

Kalau masalah konkretnya di lapangan, itu lemahnya penegakan hukum. Lemahnya sandaran kita berhukum. Lemahnya kita berhukum itu, mulai dari pembuatan hukumnya enggak benar, penegakannya juga begitu. Itu kalau melihat masalah yang ada di lapangan. Kenapa ini terjadi? Leadership saja. Makanya pendekatan strukturalnya Pak Prabowo itu saya setuju. Itu dulu. Sehingga nanti yang populisme dan lainnya jalan dikawal oleh tindakan struktural yang kuat.

Cara kita berhukum, cara kita menegakkan hukum itu sangat bergantung kepada model kepemimpinan yang memang punya komitmen terhadap hukum?

Iya. Itu menurut saya. Tapi orang bisa punya pandangan lain.

Kita bisa berharap pada Presiden terpilih Prabowo Subianto dan wakilnya Gibran, untuk punya komitmen terhadap penegakan hukum itu?

Ya mudah-mudahan. Kita berharap. Tapi kita lihat perkembangannya. Kalau enggak, ya kita tinggal menunggu waktu saja.

Tinggal menunggu waktu?

Iya, seperti yang saya katakan tadi. Kengerian, terhadap apa yang akan terjadi.

Kengerian ini kalau dibikin skala 1 sampai 10, tingkat kegawatannya di angka berapa?

Enggak. Saya belum membuat indikasinya.

Negara yang menjadi idaman atau sesuai cita rasa Anda negara mana

Sebenarnya negara di awal zaman-zaman kemerdekaan itu kan bagus. Cuma waktu itu ekonomi masih kocar kacir. Sebenarnya gabungan kekuatan negara, kekuatan penegakan hukum, seperti di era Orde Lama sebelum tahun 1959, itu kan hakim bagus, jaksa bagus. Tapi pada waktu itu ekonominya buruk.
Jadi menurut saya ya gabungan. Pembangunan ekonomi Orde Baru dengan cara berhukum di masa lalu, ya pasti adalah pelanggaran hukum pasti banyak, tapi di masa lalu itu kan bisa dihitung ya. Dan sangat menonjol sekali kalau orang melanggar hukum dulu itu. Wah bisa jadi perhatian orang. Tapi sekarang di mana-mana orang melanggar hukum.

Biasa saja?

Ya biasa saja kadang-kadang. Kita dapat kabar di sana ada orang korupsi tiga miliar. Ya enggak peduli, wong di sana Rp 300 triliun.

Kalau pemimpin idola atau pemimpin idaman dari seorang Mahfud, kalau di luar atau di dalam negeri?

Wah saya enggak punya satu. Saya kombinasi saja. Ketelitian dan kebersihan, itu seperti Hatta. Kecerdasan dan nasionalismenya yang berkobar-kobar itu seperti Bung Karno, kesalehan itu orang seperti Natsir. Ya gabung-gabung saja. Enggak ada yang satu. Oleh sebab itu orangnya juga harus terdiri dari yang macam-macam itu. kesalehan, ketegasan, kesetiaan pada republik, Pancasilais, jangan dicampur dengan korup. Bisa merusak. Jangan dicampur-campur lagi.

Zaman dulu bisa muncul orang seperti Hatta, bisa muncul orang seperti Hoegeng, bisa muncul orang seperti Agus Salim. Kenapa orang-orang seperti itu tidak muncul di zaman yang sudah maju?

Pertama, moralnya memang sudah baik. Kan dididik sejak kecil pendidikannya sudah bagus. Pendidikan kita di zaman Belanda sudah bagus sebenarnya. Pendidikan moral, sopan santun, adat dan budaya kita kan lumayan. Dan yang kedua, tantangannya kan belum banyak waktu itu. Yang mau direbut itu belum banyak sehingga lebih mudah mengaturnya. Orang jujur, orang tegas, mengaturnya lebih mudah. Karena enggak banyak dan permasalahannya enggak rumit. Sekarang sudah luar bisa. Tambang kita sudah begitu banyaknya, harus dikelola, dari pada tidak, lalu di situ muncul macam-macam.
Tantangannya juga lebih banyak sekarang. Tapi yang mendasari itu semua moralitas dan etika. Mereka kan pendidikannya juga berada di jalur yang tepat. Dulu kan orang dididik malu untuk berbuat salah, waktu kita sekolah kita keliru mau ngambil tas teman saja kan malu. Kita salah bawa punya teman saja malunya luar biasa. Kalau dulu anak sekolah dibilang bapakmu jahat, malunya luar biasa jadi anak sekolah. Bapakmu koruptor, malu sekali. Kalau sekarang, wah bapakmu koruptor, anaknya ya tertawa saja.

Apa yang terjadi ? kan ada Tap MPR soal Etika Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, ada budaya malu, ada budaya mundur, tapi itu kok hanya menjadi teks yang mati?

Iya. Moralitas kita itu ya seperti itu. Mungkin ilmu lain yang menjawab, bukan ilmu hukum. Mungkin ilmu filsafat, etika, atau ilmu apa yang bisa menjawab seperti itu? Makanya saya pernah, ingat enggak, saya pernah menulis di Kompas dulu, “Sudah Habis Teori di Gudang.” Apa yang kata teori itu bagus, sudah kita jadikan UU semua. Tapi enggak jalan.

Dulu dibilang, bentuk KPK, kita bentuk. Bentuk Komnas HAM, kita bentuk. Semua dibentuk. Sesudah itu ingin dibuat UU-nya lagi, ingin diubah lagi. Apa ini? Berarti persoalannya bukan pada teori. Teorinya sudah habis. Teori apa sudah habis.

Sekarang, yang bisa menjelaskan adalah leader. Makanya saya bilang leadership.

Leader, yang bersih dan berani?

Iya.

Susahnya adalah mencari orang yang bersih sekarang?

Iya. Mencari orang yang bersih, banyak orang bersih. Tapi mereka tidak punya kekuasaan dan tidak berani. Ada orang berani, tapi tidak bersih. Nah itu yang nekat. Maka orang yang berani dan bersih itu harus pasangan. Kalau hanya bersih itu bermanfaat untuk diri sendiri. Kalau berani, tapi tidak bersih, itu membahayakan orang lain.

Itu yang bersih dan berani itu diciptakan, atau lahir sendiri?

Bisa diciptakan, itu kan banyak teorinya. Ada yang lahir sendiri. Tapi ada juga yang diciptakan.

Tapi masalahnya dipilih atau tidak dipilih, gitu ya?

Iya.

Mimpi Anda di 100 tahun Indonesia?

Mimpi saya sudah diwakili pendiri negara. Ketika menulis alenia kedua UUD 1945. “Dan pergerakan perjuangan di Indonesia telah sampailah ke pada saat yang berbahagia, mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu, adil, makmur.” Kan ini syaratnya. Itulah mimpi Indonesia. Dan ini juga yang ditulis untuk mimpi Indonesia Emas, kan itu.

Tahun 1945 kita bicara jembatan emas Bung Karno. Itu kan rumusannya?

Sekarang menuju Indonesia Emas tahun 2045, itu juga kan acuannya.

Pada pidato Soekarno 1 Juni disebutkan dalam kemerdekaan tidak ada lagi orang miskin.

Tapi faktanya kemiskinan makin nampak?

Iya. Itu kan janji Bung Karno dulu. Harus kita yang mewujudkan. Di Indonesia tidak boleh ada orang miskin, tidak boleh ada orang lapar. Sekarang kan masih banyak. Ini tugas kita. Bung Karno sudah berhasil memberikan visi, dan memberikan contoh keteladanan bagaimana memberikan keutuhan negeri ini. Lalu berikutnya mari kita wujudkan. Kan harus pelan-pelan ini. Kita pun menghitungnya 100 tahun. 100 tahun dari pidato Bung Karno masih tahun 2045.

Kalau for better Indonesia, untuk Indonesia yang lebih baik sekarang ini, apa yang Anda sarankan kepada rakyat maupun kepada elite?

Tadi sudah saya katakan, kunci yang paling pokok dari semuanya ini adalah cara kita berhukum.

Cara kita berhukum?

Cara kita berhukum. Bagaimana membuat hukum yang benar kemudian menegakkan secara benar. Itu yang paling pokok. Tapi kalau yang sifatnya filosofi terhadap seluruh rakyat, begini saja, mari jaga negara ini dengan sebaik-baiknya, karena negara yang merdeka ini adalah anugerah yang sangat besar dari Tuhan yang Maha Kuasa. Iya kan?

Coba Anda bayangkan, kalau negara Indonesia tidak merdeka, saya tidak mungkin jadi profesor, tidak mungkin jadi menteri, tidak mungkin dapat pendidikan tinggi. Sekarang itu orang-orang sudah bisa semua. Kemudian kita bingkai dengan cara berhukum yang benar.

Terkadang orang berpikir, cara berhukum itu harus kuliah di fakultas hukum. Enggak begitu. Siapapun bisa. Taati aturan. Hidup dengan tertib. Kan tidak harus kuliah di fakultas hukum untuk tahu begitu itu. Nah itulah cara berhukum menurut saya.

Itu yang seharusnya dipahami oleh seluruh bangsa Indonesia?

Yes.

Cukup mengenal dekat Pak Jokowi. Setelah 20 Oktober 2024, Pak Jokowi sebaiknya di mana?

Setelah 20 Oktober 2024, ya terserah beliau saja kalau menurut saya. Saya tidak punya saran. Tapi seorang presiden pasti akan sangat berpengaruh, pasti akan tetap dihormati. Jadi dimana pun Pak Jokowi berada, pasti akan didengar suaranya tanpa harus menata posisi dari sekarang. Tapi terserah juga, itu setiap orang punya hak untuk menentukan masa depan dan posisinya.

(Budiman Tanuredjo-Habis)


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *