”…Sekarang Saudara menoleh ke mana saja ada korupsi kok. Nengok ke hutan, ada korupsi di hutan. Nengok ke udara, ke pesawat udara, ada korupsi di Garuda. Asuransi ada korupsi di asuransi. Ke koperasi, ada korupsi di koperasi. Semuanya ada korupsi…”
Mahfud MD
Pengakuan terbuka Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD luar biasa. Biasanya, pejabat negara selalu menyangkal jika dikatakan di wilayahnya disebut penuh korupsi. Namun, Mahfud mengambil posisi berbeda. Ia memilih terus bersuara dan membuka apa yang dirasakan. ”Fenomena korupsi sudah gila,” katanya. Keterbukaan Mahfud terhadap isu-isu sensitif memang memunculkan banyak tanya. Apakah Mahfud sedang mencari panggung politik? Pertanyaan publik bahwa Mahfud sedang mencari panggung wajar-wajar saja apalagi di tahun politik. Namun, Mahfud memilih untuk tetap dan terus bersuara.
Bagi sebagian orang, termasuk saya, pengakuan jujur bahwa banyak korupsi di Indonesia lebih baik daripada menyangkal bahwa negeri ini dalam kondisi baik-baik saja. Membuka arsip berita-berita lama, dalam debat calon presiden 2019, tepatnya 30 Maret 2019, calon presiden Prabowo Subianto sudah mengatakan korupsi di Indonesia sudah mencapai stadium empat. ”Saya berpandangan bahwa korupsi di Indonesia sudah dalam taraf yang sangat parah. Kalau penyakit, saya kira ini sudah stadium empat,” ujar Prabowo. Seraya melanjutkan, masyarakat yang ia temui menyampaikan bahwa mereka tak ingin situasi seperti itu. Rakyat ingin memiliki pemerintahan yang kuat, tidak korup, dan tidak terjadi praktik jual-beli jabatan.
Membaca pernyataan Prabowo tahun 2019 dan pernyataan Mahfud tahun 2023, seiring sejalan dan seirama. Putusan hakim diperdagangkan. Kursi jabatan diperjualbelikan. Kursi kampus universitas juga dijual kepada mahasiswa. Dari semua cabang kekuasaan sudah ada perwakilan koruptor. Di cabang kekuasaan eksekutif ada menteri, gubernur, bupati/wali kota meringkuk di penjara karena korupsi. Di cabang kekuasaan legislatif, banyak anggota DPR dan DPRD mendekam di lembaga pemasyarakatan karena menilap uang rakyat. Di cabang kekuasaan yudikatif sami mawon. Baik hakim agung maupun hakim konstitusi, hakim pengadilan negeri punya perwakilan koruptor di penjara. Dari kalangan advokat, polisi, dan jaksa juga punya perwakilan koruptor di penjara. Dilihat dari sisi partai politik, hampir semua parpol, yang berbasis agama atau nasionalis, juga punya perwakilan korupsi. Dari lingkungan dunia akademis ada juga rektor yang masuk penjara karena makan dana mahasiswa dan dianggap korupsi. Tentunya ada representasi pengusaha.
Korupsi telah menjadi jalan pintas jadi kaya. Korupsi menjadi jalan pelampiasan ciri jiwa tak punya syukur (ingratitude of the soul) yang mendorong manusia mengejar kemewahan hidup untuk kemudian dipamerkan. Gejala itu tampak dari fenomena pamer kemewahan para pejabat dan keluarganya di berbagai media sosial. Kerakusan para pemburu kenikmatan dan kemewahan itu menempatkan ”uang sebagai mahakuasa”. Gejala memupuk kekayaan melalui korupsi seakan mengingkari kodrat manusia dalam perjalanannya menuju kematian. ”Wong cuma mau mati kok, ya, numpuk harta sedemikian rupa,” ujar seorang teman.
Melihat diskursus soal korupsi yang teringat tulisan Rimawan Pradiptyo PhD. Ia dosen Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, yang menulis ”Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Ilmu Ekonomi”, dalam buku Korupsi Mengorupsi Indonesia. Dalam penelitiannya, kerugian negara akibat korupsi dalam periode 2001-2008 mencapai Rp 67,55 triliun. Namun, nilai hukum finansial yang diperintahkan pengadilan hanya Rp 4,76 triliun. Artinya, kerugian negara langsung sebesar Rp 62,79 triliun harus dibebankan kepada pembayar pajak. Namun, lembaga pajak lagi bermasalah.
Saya menemui Rimawan di Yogyakarta, sambil makan siang, di akhir pekan ini. Ia mengintroduksi biaya sosial korupsi harus menjadi kebijakan penuntutan dari jaksa. Gagasan itu telah diterapkan dalam kasus Surya Darmadi, di mana Rimawan ikut menjadi saksi yang menghitung biaya sosial korupsi dan dikabulkan hakim. Rimawan mempertanyakan, apakah hukuman terhadap koruptor dengan penuntut model mengganti kerugian negara sudah memenuhi kaidah incentive compatibility sehingga akan menimbulkan efek jera? Jawabannya jelas tidak!
Penegakan hukum kasus korupsi tidak bisa lagi hanya mengandalkan pendekatan legal-normatif. Perlu dipikirkan langkah progresif dengan membebankan biaya sosial akibat korupsi yang ditanggung koruptor. Korupsi memang bukan hanya merugikan keuangan negara, melainkan juga merusak lingkungan hidup, merusak tatanan ekonomi. Pada era Orde Baru, pemerintahan otoriter Orba pernah menerapkan pasal subversif untuk kasus korupsi, misalnya diterapkan kepada Kepala Dolog Kaltim Budiadji.
Ketika RUU Perampasan Aset masih menjadi wacana elitis, strategi penuntutan dengan membebankan biaya sosial korupsi kepada terpidana sangat layak dipertimbangkan. Penggantian biaya sosial korupsi itu bisa dimanfaatkan untuk menyelesaikan problem-problem sosial kemasyarakatan di mana korupsi itu terjadi. Ketika seorang bupati melakukan korupsi dan biaya sosial bisa ditarik, dana itu bisa digunakan untuk merehabilitasi dampak-dampak sosial akibat korupsi. Dampak sosial akibat korupsi adalah kemiskinan, anak-anak kurang gizi, jalanan rusak, fasilitas kesehatan tak memadai, atau masalah mendasar yang ada di tengah masyarakat.
Langkah progresif dalam penindakan korupsi dengan menerapkan biaya sosial akibat korupsi bisa dilakukan untuk membantu mentransformasikan ”Republik Korupsi” menjadi ”Republik Kesejahteraan”. Korupsi itu memiskinkan bangsa. Korupsi adalah masalah bangsa yang tak kunjung bisa diselesaikan. Gagasan memerangi korupsi di negeri ini perlu dipikirkan oleh siapa pun yang berniat ikut dalam kontestasi Pemilu Presiden pada 14 Februari 2024. Apakah itu Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Erick Thohir atau Airlangga Hartarto atau Puan Maharani? Atau jangan-jangan ada yang mengusulkan Mahfud MD untuk ikut berkontestasi….
(Esai ini telah dimuat Kompas,25 Maret 2023)
Catatan: Mahfud MD ikut pemilu presiden bersama Ganjar Pranowo dan mendapat suara 16 persen. Kontestasi dimenangkan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dengan perolehan 58 persen suara.
Leave a Reply