Membangun Mimpi Bersama

“…Kalau Amerika ada American dream, mengapa kita tak bisa membangun Indonesian dream. Sebuah mimpi bersama tentang masa depan bangsa…”

Saya membayangkan Indonesia 100 tahun adalah Indonesia yang kuat karena perbedaan dan unggul karena keberagaman. Sebuah negara tanpa korupsi, pelayanan publik, pendidikan, dan transportasi gratis. Mimpi itu disampaikan anak muda yang menjadi tamu saya di kanal YouTube ”Backtobdm” di Harian Kompas. Litani mimpi Indonesia 2045 itu berderet-deret.

Pertanyaan seragam memang saya ajukan kepada tamu ngobrol saya. Sudah lebih dari delapan puluh orang, dari berbagai latar belakang, dari berbagai profesi, saya ajak ngobrol mengenai mimpi mereka tentang Indonesia, tentang negara yang diimpikan. Termasuk juga tentang akar masalah bangsa ini sehingga kondisinya begini-begini saja.

”Bangsa ini suka berantem,” kata Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Jawaban Ridwan Kamil sejalan dengan jawaban spontan Ketua MPR Bambang Soesatyo untuk pertanyaan yang sama. Sementara intelektual Sukidi mengidentifikasi ”penyakit” bangsa ini adalah ”weak society” sebagaimana disampaikan Gunnar Myrdal. Ada yang menyebut kapitalisme yang rakus sebagai penyakit bangsa. Ada yang mengidentifikasi penyakit korupsi yang tak kunjung henti sebagai biang keladi Indonesia tetap begini-begini saja.

Ngobrol dengan sejumlah tamu tentang mimpi Indonesia 2045 terasa ada semangat optimisme. Namun, dalam ruangan berbeda dan dalam kesempatan berbeda dan dalam audiens berbeda, terasa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Baru tujuh hari di tahun politik 2023 kita lalui, tetapi tensi politik mulai menghangat. Ada teriakan agar Presiden Jokowi merombak kabinet. Ada ketidakpastian soal ”nasib” Perppu Cipta Kerja yang ditandatangani Presiden Jokowi akhir Desember 2022.

Perppu itu memicu protes banyak kalangan. Ada perasaan merasa ditinggalkan, ada perasaan merasa tidak diajak bicara, sebagai sesama elite anak bangsa. Ada juga perdebatan soal sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup. Perdebatan itu sah saja, tetapi jangan sampai Pemilu 14 Februari 2024 menjadi tertunda atau ditunda.

Suasana batin di awal tahun terasa berbeda dengan suasana batin di akhir tahun 2022. Saat itu, saya ngobrol dengan sejumlah aktivis 1980-an di sebuah hotel di Jakarta. Aktivis 80-an lebih banyak berasal dari kelompok diskusi di sejumlah kampus. Kekuatan intelektualitas menjadi ciri dominan dari aktivis 80-an. Berbagai ideologi dibahas dan dipelajari, berbagai teori pembangunan didiskusikan. Apa yang pas untuk membangun Indonesia yang majemuk dan merupakan negara kepulauan.

Para aktivis ini sedang menyiapkan platform Indonesia 45 dengan titik berat pada sandang dan energi. Dalam kesempatan lain, saya diundang kelompok lain dengan tujuan yang sama membuat semacam ”mimpi” Indonesia 2045. Isu Indonesia Emas, Indonesia 2045, tampaknya menjadi bahan diskusi hangat. Diskusi di sejumlah lembaga pemikir dikerjakan untuk mendesain Indonesia 2045. Tentu banyak lembaga yang membuat proposal Indonesia 2045. Tentu ada juga tim sukses bakal calon presiden menyiapkan platform Indonesia 2045.

Membangun platform Indonesia 2045 atau lebih lama lagi penting agar Indonesia punya kompas ke depan, punya tahapan menuju tujuan berbangsa dan bernegara sebagaimana tercantum pada Pembukaan UUD 1945. Bagaimana mimpi Indonesia 2045 menjadi mimpi bersama bangsa ini. Bukan mimpi seorang presiden, mimpi orang per orang, bukan mimpi tim sukses, bukan pula mimpi para konsultan politik demi dan untuk memenangkan kandidatnya. ”Kalau Amerika ada American dream, mengapa kita tak bisa membangun Indonesian dream. Sebuah mimpi bersama tentang masa depan bangsa,” ujar seorang aktivis.

Politik gagasan yang dibangun bersama dan menjadi mimpi bersama menjadikan politik lebih rasional. Politik gagasan yang diawali dengan identifikasi kelemahan bangsa, pelemahan konsep negara hukum, korupsi yang merajalela, politik uang yang marak, upaya mengesampingkan konstitusi, serta kehancuran ekologi. Dari fondasi itulah bagaimana kita membangun Indonesia. Menjadi ciri bangsa ini, tidak pernah ada kesinambungan. Sebuah proyek dibangun dan ketika pemimpin berganti diubah dan akhirnya mangkrak. Akibatnya: rakyat yang jadi korban karena pembangunan menggunakan pajak dari rakyat. Menjadi ciri pemimpin kita mendekonstruksi pekerjaan pemimpin terdahulu. Seorang elite negeri ini pernah berkata, ”Setelah kita SMA, kita kembali ke TK. Kapan kita akan sampai.”
Kontestasi Indonesia 2045 adalah kontestasi gagasan dari berbagai kelompok masyarakat dan lembaga. Namun, pertanyaannya: apakah mimpi Indonesia 2045 sepenuhnya akan diserahkan kepada para politisi di MPR atau anggota DPR. Rasanya tidak demikian.

Platform Indonesia 2045 haruslah menjadi dokumen politik yang menjadi panduan pemimpin bangsa. Kini, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 soal Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025 segera akan berakhir. Dan, tentu perlu ada cermin diri untuk mengetahui di mana kita berada dalam RPJP. Jika RPJP 2005-2025 menggariskan perlunya penguatan demokrasi dan masyarakat sipil, mengapa yang ada sekarang terkesan sebagai demokrasi waswas. Sebuah anomali. RPJP 2025-2045 haruslah menjadi mimpi bersama yang harus dikawal bersama.

Pekerjaan itu terasa teknokratik-politik. Berbagai gagasan Indonesia 2045 perlu dikontestasikan, untuk menjadi mimpi bersama Indonesia 2045. Mimpi kelompok harus dibaur menjadi mimpi bersama soal Indonesia.

(Artikel ini telah dimuat Kompas, 7 Januari 2023)


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *