Magnet Kekuasaan

“…Negeri ini sepertinya tenang, tetapi punya banyak pekerjaan. Dunia berubah. Populisme dan politik identitas dikapitalisasi untuk kepentingan kekuasaan. Demokrasi dalam tren mundur...”

Kolom Sabtu berjudul ”Bongkar Jangan ’Ambyar’”, Kompas, 1 Februari 2020, mengundang reaksi. Seorang purnawirawan tentara yang menjadi anggota DPR mengatakan, rasa perasaan publik memang demikian adanya. Perlu ada pihak yang mengingatkan kondisi ini. Menyusul, di hari yang sama, seorang profesional di bidang kehumasan mengirim pesan via Whatsapp. Dia menulis, ”Harus ada yang mulai menyampaikan sesuatu yang penting yang kelihatannya adem ayem, seperti kesirep.”

Negeri ini sepertinya tenang, tetapi punya banyak pekerjaan. Dunia berubah. Populisme dan politik identitas dikapitalisasi untuk kepentingan kekuasaan. Demokrasi dalam tren mundur. Kompetisi negara besar kian menguat. Di sisi lain, dunia dihadapkan pada isu semisal perubahan iklim dan terakhir merebaknya virus korona.

Di Tanah Air, isu tak kalah banyak. Terorisme masih jadi ancaman. Akan tetapi, diskursus bangsa terjebak dalam wacana pro dan kontra memulangkan 600 WNI terkait Negara Islam di Irak dan Suriah. Peraturan Pemerintah tentang UU Terorisme belum semua dibuat. Sementara kabinet tak satu suara. Korupsi merajalela. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi menderita sakit parah. Anggaran negara terbatas, tetapi program populis digelar. Bencana alam merebak di sejumlah daerah di Tanah Air, tetapi diskursus publik cepat bergerak ke arah politik. Paradoks.

Media sosial, meski bisa digunakan untuk hal produktif, kadang dipakai menyebarkan kabar palsu. Media sosial digunakan untuk membunuh karakter. Kehidupan pribadi, bahkan peristiwa yang sudah terjadi belasan tahun, diumbar di ruang publik untuk meredam sikap kritis. Padahal, we are no angel. Politik segala cara digunakan untuk mendongkrak popularitas atau menekan sikap kritis.

Situasi ini sebenarnya disadari. Hanya pilihan pada mereka adalah: diam! Inilah kondisi akibat memudarnya kekuatan tengah dan persilangan kepentingan partai politik. Kekuatan tengah yang tidak terjebak pada pilihan kawan atau lawan. Kekuatan yang bisa merangkul kekuatan politik dan menjaga kewarasan publik. Cendekiawan bisa memainkan peran itu.

Namun, realitas menunjukkan arah berbeda. Cendekiawan tertarik atau ditarik dalam kekuasaan. Mereka ada di Kantor Staf Presiden, di lingkungan Sekretariat Negara, menjadi tim ahli atau penasihat menteri dan jabatan petinggi negeri lainnya. Setiap menteri atau kepala badan didampingi ahli hukum, ahli komunikasi, ahli ekonomi, ahli sosiologi. Bahkan, ada yang merangkap tim ahli di sejumlah posisi.

Gejala itu tidak salah! Orang baik dan orang pintar memang harus ada dan berada di lingkar kekuasaan. Kehadiran cerdik cendekia bisa mengawal proses pengambilan kebijakan publik yang benar, yang prorakyat, tetapi bukan sekadar pembenar hasrat kekuasaan. Inilah relasi baru cendekiawan dan kekuasaan.

Namun, yang harus dijaga, bagaimana kecendekiawanan tidak terkooptasi kenikmatan birokrasi. Budaya birokrasi yang memberikan kemewahan bisa membikin terlena. Ibaratnya, tas ada yang membawakan, minta cerutu tinggal disodorkan, masuk mobil ada yang membukakan. Kemewahan birokrasi ditambah penghasilan lain bisa saja membuat akal sehat dikalahkan. Abraham Lincoln (1809-1865) pernah mengatakan, ”Semua orang bisa tahan dengan kesengsaraan. Namun, jika kau ingin mengetahui karakter seseorang, berilah dia kekuasaan.” Sejalan dengan itu, ada pepatah kuno, honores mutant mores. Saat mulai berkuasa, berubah pula perilakunya.

Menjadi tim ahli, dalam lingkar kekuasaan, adalah kekuasaan itu sendiri. Sejumlah hak melekat pada posisi itu. Berbagai kemudahan diperoleh. Jangan sampai kemudian pikiran progresif, pikiran mengawal akal sehat, terkooptasi. Di situ kritisisme memudar.

Kekuatan tengah rasanya perlu dibangun. Kekuatan tengah menjadi intermediasi antara rakyat dan pemerintah. Kekuatan tengah yang bekerja berdasarkan prinsip kemanusiaan, prinsip kemajemukan, dan nonpartisan. Sebuah kelompok pemikir kritis yang punya komitmen pada bangsa.
Relasi cendekiawan dan kekuasaan pasang surut. Pada Rabu 19 Maret 1997, seperti diberitakan Kompas, Presiden Soeharto saat membuka Kongres VII Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial mengatakan, ”…analisis sosial yang didengar selalu datang setelah peristiwa terjadi, dengan dampak yang tidak positif.” Selanjutnya, Presiden Soeharto mengatakan, ”Yang lebih diperlukan adalah analisis sosial yang dapat menghindarkan terjadinya hal yang merugikan masyarakat dan bangsa ini.”

Pandangan Soeharto soal peranan ilmu sosial mengundang kritik pada masanya. Namun, pada realitas saat ini, pandangan Soeharto menemukan beberapa kebenaran. Komentar datang ketika peristiwa terjadi. Ketika bencana datang. Namun, kekuasaan kadang juga tak mau mendengar. Banyak peringatan dini akademis tak digubris. Ada harapan, cendekiawan di sekitar kekuasaan bisa menjadi early warning system tentang kondisi bangsa, sambil terus dibangun kekuatan tengah yang menjaga kewarasan dan menjadi suara nurani bangsa.

(Artikel ini dimuat Kompas 8 Februari 2020)


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *