“…Daripada keluar uang untuk pemilu, kan, enak dapat kekuasaan dua atau tiga tahun lagi. Gratis lagi…”
Litani penundaan Pemilu 2024 mulai disuarakan oleh mulai dari Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia (Januari 2022), Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar (23/2), Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (24/2), hingga Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan (25/2). Padahal, 24 Januari 2022, DPR bersama pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum menyepakati hari pemungutan suara Pemilu 2024 digelar 14 Februari 2024.
Saya mengirimkan tautan berita usulan penundaan Pemilu 2024 kepada seorang pengusaha. Ia merespons, ”Bisa saja itu strategi buying time untuk menaikkan elektabilitas capres. Mereka itu sudah lama kampanye, tetapi namanya tidak masuk radar survei. Tetapi, bisa juga memang ada yang mengorkestrasi ’kebulatan tekad’ seperti Orde Baru.” Namun, pengusaha itu mengingatkan, apakah pembatasan kekuasaan yang dikoreksi gerakan reformasi 1998 akan diubah menjadi tiga periode, tiga tahun, atau seumur hidup untuk memenuhi hasrat berkuasa.
Ia mengirimkan kisah George Washington pada abad-18. Presiden pertama Amerika Serikat yang dicintai rakyatnya itu sempat digoda masa jabatan ketiga, tetapi George Washington menolaknya. Ia mengatakan, ”Kalau sebagai founder kita tidak meninggalkan keteladanan, mau jadi apa demokrasi negara kita.”
Esensi menunda Pemilu 2024 adalah memperpanjang kekuasaan yang sedang berkuasa. Memperpanjang kekuasaan Presiden, memperpanjang jabatan anggota DPR, memperpanjang jabatan anggota DPD, dan memperpanjang jabatan belasan ribu anggota DPRD. Seorang anggota DPR yang saya tanya berkomentar, ”Daripada keluar uang untuk pemilu, kan, enak dapat kekuasaan dua atau tiga tahun lagi. Gratis lagi.” Enteng jawabannya.
Inilah model pemerintah rule by law. Memerintah dengan hukum. Itu adalah gratifikasi politik yang dibungkus aspek konstitusionalitas. Rasanya tetap kurang pas dan kurang etis ketika pimpinan parpol dengan tangan DPR dan DPD bersepakat menunda pemilu demi memperpanjang kekuasaan, tanpa bertanya kepada rakyat, pemilik kedaulatan. Langkah konstitusional perpanjangan kekuasaan sudah didahului perpanjangan usia pensiun hakim konstitusi. Belum tahu apakah wacana penundaan pemilu disertai dengan perpanjangan jabatan kepala daerah. Masa jabatan Gubernur Banten Wahidin Halim habis Mei 2022, masa jabatan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan habis Oktober 2022, dan banyak lagi kepala daerah yang habis jabatannya pada 2022.
Usulan penundaan Pemilu 2024 menabrak konstitusi. Benar kata Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto yang menegaskan, tidak ada ruang penundaan Pemilu 2024. Pemilu merupakan syarat fundamental dalam politik yang memerlukan syarat kedisiplinan dan ketaatan pada konstitusi. ”Sumpah Presiden juga menyatakan pentingnya memegang teguh UUD 1945,” kata Hasto. Itu posisi PDI-P sekarang. Kalau merujuk pada survei nasional, Indikator Politik Indonesia, Desember 2021, 67,2 persen responden ingin Pemilu tetap digelar 2024.
Pasal 7 UUD 1945 berbunyi, ”Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.” Dalam Pasal 22E (1) disebutkan, pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
Saya masih ingat pernyataan Presiden Joko Widodo soal wacana amendemen UUD 1945 saat bertemu pemimpin redaksi, 2 Desember 2019, ”Yang ngomong presiden itu tiga periode, itu artinya tiga. Satu, ingin menampar muka saya. Kedua, ingin cari muka, padahal saya sudah punya muka. Ketiga, ingin menjerumuskan.”
Kekuasaan itu nikmat. Kekuasaan itu memesona. Kekuasaan itu menggetarkan, tetapi juga memabukkan. Orang yang sudah menikmati kekuasaan atau cipratan sedikit kue kekuasaan selalu berpikir bagaimana mempertahankan kekuasaan selama mungkin.
Perubahan konstitusi diberi jalan oleh Pasal 37 UUD 1945. Pasal itu mengatur, (1) Usul perubahan pasal UUD dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya sepertiga dari jumlah anggota MPR. Anggota MPR ada 711 orang, yang terdiri dari 575 anggota DPR dan 136 anggota DPD. Sepertiga anggota MPR artinya butuh minimal 237 anggota MPR untuk mengajukan usulan perubahan UUD 1945. Kursi Golkar, PKB, dan PAN di MPR ada 187. Butuh dukungan partai lain atau anggota DPD untuk mengegolkan usulan perubahan UUD 1945. Dan, itu mudah.
Publik masih menanti apakah Golkar, PKB, atau PAN akan menjadi jenderal lapangan perubahan UUD 1945. Selanjutnya, Pasal 37 Ayat (3) menyebutkan, ”Untuk mengubah pasal UUD, sidang MPR dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota MPR.” Butuh kehadiran 474 anggota MPR. Dan, putusan mengubah pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR. Sekali pintu perubahan terbuka, semua kepentingan akan masuk.
Dalam dunia hukum dikenal prinsip nemo judex idoneus in propria causa yang berarti, ”tidak seorang pun dapat menjadi hakim dalam perkara tersendiri.” Jika diterapkan dalam perpanjangan kekuasaan melalui MPR, tidak pantas dan kurang pas secara etika ketika MPR memperpanjang kekuasaan mereka sendiri.
Penggalangan opini yang diorkestrasi pernah terjadi di Orde Baru. Ketua Umum Golkar Harmoko pada 1997 meminta Presiden Soeharto maju lagi untuk ketujuh kalinya karena disebut rakyat menghendaki. Yang terjadi, gerakan reformasi memuncak 20 Mei 1998 dan Orde Baru pun berakhir. Saatnya, elite bijak melempar wacana agar tak menyakiti rakyat.
(Artikel ini telah dimuat Kompas, 26 Februari 2024)
Leave a Reply