Dan, Menangislah Hatta

”…Koperasilah yang mesti dianjurkan untuk mendapatkan kemajuan yang tetap dalam medan ekonomi. Tidak ada jalan bagi rakyat kita yang lemah ekonominya untuk memperbaiki hidupnya…”

Gagasan Mohammad Hatta (1902-1980) soal koperasi tiba-tiba muncul dalam pikiran saya. Tulisan Sukidi di harian Kompas, Kamis, 9 Februari 2023, berjudul ”Soekarno-Hatta dan Indonesia Hari Ini” mendorong rasa penasaran saya.

Sukidi menulis, Hatta adalah arsitek utama UUD 1945, khususnya bidang ekonomi. Gagasan ekonomi Hatta tecermin, misalnya dalam Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945 yang ditulis, ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan.” Itulah fondasi koperasi. Adapun kutipan itu saya petik dari tulisan berjudul ”Koperasi dan Perekonomian” dalam buku Beberapa Fasal Ekonomi: Djalan ke Ekonomi Kooperasi” (Hatta, 1954).

Hatta adalah arsitek koperasi Indonesia. Bagi Hatta, koperasi adalah jalan menyelesaikan ekonomi rakyat, yang tidak stabil dan mengutamakan semangat kekeluargaan. Keseriusan Hatta dan pemerintah membentuk koperasi ditandai dengan diselenggarakannya Kongres Koperasi Pertama di Tasikmalaya, Jawa Barat, pada tahun 1947 dan ditetapkan 12 Juli sebagai Hari Koperasi.

Gagasan Hatta membangun koperasi sebagai alat perjuangan dan memakmurkan rakyat seperti menjadi cerita getir melihat sepak terjang Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya. KSP Indosurya yang diketuai Henry Surya mengkhianati gagasan Hatta, mengkhianati konstitusi. Dengan mengumpulkan dana masyarakat—apakah anggota atau non-anggota—yang tergiur mendapatkan bunga lebih tinggi, uang itu lenyap. Itu menghancurkan kehidupan rakyat.

Dikutip dari laman Kompas.com, KSP Indosurya gagal mengembalikan dana orang yang menitipkan dana hampir 23.000 nasabahnya dengan total kerugian Rp 106 triliun. Sayangnya, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat—Safrudin Ainor, Eko Aryanto, dan Sri Hartati—membebas-murnikan Henry Surya. Alasan hakim, perkara Indosurya bukan pidana melainkan perdata! Padahal, jaksa menuntut 20 tahun. Kemandirian kekuasaan kehakiman menjadi tameng!

Ricky Firmansyah Djong, Wakil Ketua Aliansi Korban Indosurya, kepada saya mengatakan, sejak awal sudah mencium gelagat kurang baik dari persidangan. Terdakwa Henry Surya, menurut pengakuan Rifky yang juga menjadi korban dengan kerugian Rp 4 miliar, hanya sekali datang ke persidangan. Selanjutnya, dia hadir secara daring. ”Korban meminta, tetapi majelis hakim terkesan melindungi,” ujarnya.

Ricky tidak tahu apakah ada orang kuat di balik Henry. ”Saya tidak punya bukti apa pun,” ujarnya. Kejahatan keuangan melalui Koperasi Indosurya adalah pengkhianatan terhadap gagasan koperasi yang dipikirkan Hatta. Koperasi Indosurya dan mungkin juga yang lain telah diselewengkan untuk memupuk kekayaan pengurusnya. Jauh dari bayangan Hatta untuk memakmurkan anggotanya. Itu adalah langkah subversif dalam upaya menyejahterakan rakyat. Jika Hatta masih ada, boleh jadi menangis melihat nasib koperasi. Sebagaimana dikatakan Presiden Jokowi saat bertemu pimpinan Otoritas Jasa Keuangan, rakyat juga menangis melihat banyak kejahatan keuangan yang menyengsarakan rakyat. Bisa lewat asuransi, ekonomi digital, dan kini koperasi.

”Rakyat itu hanya minta uang saya balik, duit saya balik, hanya itu,” ujar Presiden Jokowi yang menekankan perlunya pengawasan pada level mikro.
Kejahatan keuangan begitu sempurna. Dan, Indonesia adalah surga. Kejahatan itu terus terjadi, terpola dan ada siklusnya. Surga karena pelaku memahami aparat hukum lembek dan bisa disuap. Elite politik kadang bisa diajak bermain mendapatkan bancakan dana rakyat yang ingin modalnya cepat terakumulasi.
Sejarah juga mencatat kejahatan keuangan bisa melibatkan orang besar.

Publik masih ingat tahun 1997-1998 terjadi skandal Bank Bali. Sejumlah elite negeri terseret-seret. Menyusul kemudian skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) (1998-2002) yang sampai sekarang juga belum tuntas. Kasus BLBI seakan menjadi ”tahanan luar” pihak terkait dan menjadi komoditas politik

Pada tahun 2002-2003 terjadi pembobolan Bank BNI sebesar Rp 1,7 triliun dengan terdakwa Maria Pauline Lumowa. Saat wawancara dengan wartawan Kompas di Singapura, Pauline mengatakan, kasus ini dikaitkan dengan Pemilu 2004. ”Bagaimana saya tidak takut. Belum apa-apa saya dituduh melakukan penipuan, melakukan pencucian uang, menculik pengacara saya (Dody Kadir), bahkan dituduh mengucurkan dana kepada para calon presiden…. Apa semua tuduhan itu betul,” kata Maria saat diwawancara pada Minggu, 7 Desember 2003. Kejahatan perbankan juga muncul tahun 2008 yang dikenal sebagai skandal Bank Century. Dalam format berbeda, kejahatan keuangan muncul menggunakan asuransi, seperti asuransi Jiwasraya dan Asabri. Dua kasus itu dibongkar Kejaksaan dan Menteri BUMN Erick Thohir.

Kejahatan adalah bayangan dari peradaban yang sedang berkembang. Pemujaan berlebihan pada uang adalah ibu dari kejahatan. Pada era digital, kejahatan pun berkembang. Kebutuhan uang yang besar untuk memenuhi dana politik dan kebutuhan lain bisa menjadi faktor pemicu. Muncullah kejahatan keuangan digital semacam robot trading, binary option, dan kripto. Usaha perdagangan kripto kadang melibatkan elite politik atau keluarga mereka.

Melihat tren yang ada, penggalian dana publik dan digelapkan bisa saja melibatkan mafia pengumpulan dana politik. Mungkin itu yang menjelaskan mengapa sejumlah ”bos” terlindungi. Ada yang dilepaskan, ada yang kabur ke luar negeri. Follow the money adalah cara untuk membuktikannya. Negara tak boleh kalah. Seseorang bertanya kepada saya, apakah masih ada hukum di Indonesia. Saya menjawab sekenanya: ada tapi sedang sakit.

(Esai ini telah dimuat Kompas, 11 Februari 2023)


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *